INFORMASI datang setiap saat tanpa bisa ditolak. Setiap menit mengabarkan peristiwa terbaru. Peristiwa berulang. Kadang mencengangkan, kadang mengoyak kantong air mata. Begitu benarlah tukang kabar melakukan tugasnya untuk publik. Banjir informasi sedang dirayakan seiring dengan kedatangan wabah!
WHO memberi peringatan agar kesehatan mental saat pandemi ini perlu terjaga. Terlalu lama #DirumahAja, pendapatan berkurang, PHK, sedikitnya memengaruhi sikap mental. Perlu ada pikiran-pikiran dari cendikiawan yang bergerak di bidang konseling agar informasi bukan menjadi sumber penyakit jiwa bagi banyak orang.
Secara sederhana, melalui optimisme, waspada setiap saat, meyakinkan diri, adalah salah satu sikap yang penting hadir. Jangan pergi, jangan hilang. Percayalah, wabah ini akan berlalu seiring waktu. Begitulah salah satu cara baik agar tetap bisa bertahan #DirumahAja.
Hingga hari ini belum ada nada berita yang datang membangun optimisme. Sekalipun dari istana memberikan ini dan itu agar perekonomian tidak jauh terpuruk. Belum juga terasa membahagiakan. Ketakutan masih meraja di ruang publik. Hebatnya, ada yang takut ada pula yang tidak.
Mereka yang tak mengikuti detik per detik berita, santai saja. Terus bekerja, terus keluar rumah. Lawan petugas. Hidup terlanjur susah, jika tidak kerja tak makan. Jika tidak jualan, tidak makan. Mengharap bantuan, entah bila tiba di depan pintu rumah. Tiba juga, ketika semua terlambat. Jumlahnya, tidak pula memadai.
Indonesia terus menghalau wabah corona dengan berbagai cara. Kadang berbeda pendapat, kadang digoreng dengan isu sentimen. Misalnya, ada meme suatu negara, kebijakannya bagus, baik, dipuji. Sedangkan di negeri +62 kebijakannya melepas nara pidana, lalu ditertawai, dicaci, dimaki. Padahal, kebijakan serupa itu hampir ada di semua negara sesuai dengan skala masing-masing.
Kenapa meme serupa itu mengasyikkan dikirim-kirim? Lagi-lagi ada kepentingan pesan agar terus digerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Itu pula mungkin, yang membuat bahagia bagi si pembuat meme tersebut. Ini sisi lain, dimana politik kepentingan menyaru ke dalam suasana kemanusiaan yang harus bersatu melawan benda kecil yang diberi nama Corona.
Angka korban kematian akibat Covid-19 terus bertambah. Hampir-hampir tak disadari dampak psikologis dari sebuah berita. Tak ada yang peduli soal itu. Semuanya seperti merayakan kematian, sehingga sulitnya mencari berita yang optimis akan berakhirnya wabah ini.
Wabah ini memang membahayakan tetapi tak perlu pula merayakannya. Kalau begitu, tak perlu diberitakan? Tentu saja perlu, persoalannya, bagaimana cara memberitakannya. Di situlah kewajiban media mengemasnya dengan baik dan benar menurut kode etik jurnalistik.
Sumber-sumber berita otoritatif seperti pemerintah, tenaga medis, hampir setiap saat diberi kesempatan untuk menjelaskan keadaan. Para pekerja sosial, tokoh agama, tokoh pergerakan, tokoh politik, ikut ambil bagian berbuat. Sekecil apapun itu perlu dihargai. Mereka mengumpulkan dana untuk para kaum papa yang terdampak. Semua orang terdampak, sesuai dengan keadaan masing-masing. Gerakan sosial harus terus diupayakan. Pemerintah harus mengapresiasikan itu karena ada elemen-elemen lain ikut membantu.
Baca juga: Tauhid Kepemimpinan dalam Melawan Covid-19
Berbagai satuan tugas didirikan, dengan diksi “Melawan Covid-19” seperti ingin menyatakan, betapa kesatuan sosial kita bisa bangkit segera. Ada pengamat yang mengatakan, kabarkan melalui adat budaya, modal sosial komunal, ayo bangkit melawan wabah! Inilah kabar baik yang perlu didengar di hari-hari kita sedang berdiam di rumah. Ketakutan harus dilawan dengan optimisme, keberanian untuk bangkit dari keterpurukan mental karena informasi yang sejak sebulan silam terus menggempur.
Cara baik melawan gempuran informasi negatif adalah menerima dan mencari lebih banyak informasi yang positif. Menambah pengetahuan tentang wabah, menambah wawasan tentang kreativitas di rumah. Begitu banyak kesempatan, begitu banyak waktu untuk melakukan sesuatu. Lihatlah, para seniman berkarya, penyanyi melakukan siaran langsung untuk program amal, para youtuber membuat konten masak memasak, serta berbagai hal yang bisa membuat gempuran informasi yang merusak mental bisa segera pergi dengan sendirinya.
Mereka yang jarang menulis, kini rajin menulis, mereka yang tak pernah menulis, diajak menulis pengalaman. Para peneliti mulai sibuk mengirim pertanyaan penelitian melalui ruang percakapan, sebentar lagi akan lahir sebuah kajian di jurnal akademik. Atau buatlah konten youtube, hal-hal bermanfaat, jika tak mau menulis. Konten informasi negatif mesti dilawan dengan konten informasi positif. Bermacam-macam cara untuk berbuat agar hidup menjadi bermanfaat. Berhenti menceracau tak menentu, berhenti mengunyah informasi yang secara tak sadar membuat kesehatan mental bisa terganggu.
Selamat menikmati rumah sebagai mana dijanjikan sebagaimana mestinya. Rumahku, surgaku. Amin. []
*Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
*Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay