IDE-IDE tentang khilafah, theokrasi, Pan Islamisme, dan Darul Islam merupakan istilah politik yang identik dengan Islam politik yang dominan merujuk ke dalam sejarah politik Islam menghadapi gagasan-gagasan terbarukan.
Sebagai satu tatanan sistem politik yang bersumber dari kesadaran ke-Tuhan-an dan kemanusiaan, teori politik Islam memiliki perbedaan dengan gagasan yang dikemukakan Plato, Aristoteles, Rousseu, dan Machiavelli.
Perkembangan pemikiran politik Islam, paska persinggugannya dengan berbagai pemikiran dan proses intelektualisasi, tidak lagi murni keseluruhannya sebagai bentuk “tafsir orisinil” dari wahyu. Oleh karena persinggungan itu bersifat alamiah. Persinggugan itu kemudian melahirkan gagasan-gagasan kemanusiaan yang oleh Ibn Khaldun disebut dengan Siyasah Aqliyah yaitu politik yang berdasarkan rasio kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan.
Senada dengan gagasan Ibn Khaldun di atas, bagi Al-Ghazali berpolitik merupakan cara bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan, kemakmuran, dan kesejahteraan di masa yang akan datang.
Kehidupan sosial yang teratur merupakan aspek pokok di dalam Islam. Kehidupan yang tidak teratur akan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Tuhan. Oleh karena itu, dengan tatanan sosial yang tersusun secara sistematis itulah, maka berpolitik menjadi penting dan wajib.
Pergulatan politik Islam di Indonesia, jauh sebelum kemerdekaan sudah mengalami konflik pertentangan dengan penjajah, Inggris, Belanda dan Jepang, di mana tema-tema seperti “perang sabil” menunjukkan bagaimana kekuatan politik Islam di Indonesia sudah mengakar dan masuk ke wilayah konflik kemerdekaan dan anti penjajahan.
Pengalaman politik Indonesia secara riil mulai tersusun semenjak tahun 1945 dalam sidang-sidang BPUPK. Melalui perdebatan mengenai gagasan bentuk dan dasar negara, dalam sidang BPUPKI seperti dikemukakan Ahmad Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, di mana tokoh-tokoh Islam mencoba menggagas negara berdasarkan agama Islam. Sebab, Islam memiliki potensi yang cakap dan cukup menjadi sendi pemerintahan.
Pergumulan gagasan ini tentu bukan sekedar “copy paste” dari pergerakan Islam politik yang telah muncul di berbagai belahan dunia Islam di Timur Tengah atau pun Asia. Munculnya gagasan Islam politik merupakan ekspresi dari kesadaran religiusitas umat Islam yang telah terbentuk panjang, semenjak masuknya Islam ke Indonesia sampai kemudian kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Sekalipun ditolak, gagasan ini terus berkembang sampai pembahasan tentang dasar negara di konstitute dari tahun 1956-1959. Gagasan yang diusung M. Natsir dan Prawoto Mangkusasmito serta tokoh tokoh Islam lainnya dari NU, tetap mengemukakan Islam sebagai sebuah sistem politik yang pantas untuk dijadikan sebagai dasar bernegara.
Kegagalan memperjuangkan Islam politik secara konstitusional, bukanlah bentuk dari kegagalan umat Islam melalui tokoh-tokoh politiknya memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Tidak ada kegagalan ataupun kekecewaan sehingga kemudian semangat itu menghilang dari kehidupan bernegara umat Islam di Indonesia.
Perjalanan panjang gagasan negara Islam sampai dengan konflik politik melawan negara sekular terus menerus seakan tidak ada hentinya. Konflik penegasan identitas ini tidak pernah berhenti, sampai kemudian, kesepakatan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.
Gagasan Prof. Dr. Din Syamsuddin tentang “Darul Ahdi wa Syahadah” sebagai suatu pemikiran politik dalam konteks ke Indonesiaan adalah sebuah langkah maju dan modern, serta kontekstual dengan kondisi Indonesia ke kinian. Gagasan ini penuh dengan sikap “moderasi” untuk mengingatkan umat Islam Indonesia tentang perjuangan politik jangka panjang yang lebih urgen dan strategis.
Baca juga: Pancasila, antara ‘Weltanschauung’ dan Ideologi
Dalam pidato Din Syamsuddin di arena Muktamar 47 Muhammadiyah di Makassar, secara resmi pemikiran tentang menerima Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Membangun Visi dan Karakter Bangsa, Indonesia Berkemajuan, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir Samarinda.
Pemikiran tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif keislaman Muhammadiyah.
Dalam hubungannya dengan dinamika Islam Politik dan Indonesia, Indonesia masuk ke dalam kategori negeri kesepakatan dan persaksian (pengakuan). Konsep kesepakatan muncul dari praktik tokoh tokoh Islam, baik di BPUPKI dan Konstituante.
Dengan diterimanya Pancasila sebagai philosofhy groundslag seperti dicetuskan Soekarno serta sebagai kesadaran kalimatun sawa di antara perbedaan ideologi pendiri bangsa, menjadi bukti bahwa umat Islam telah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai “pemersatu pemahaman” untuk menjaga Islam dan Indonesia dalam satu tarikan nafas kebangsaan.
Islam politik di Indonesia yang tersusun dari berbagai paham, organisasi dan aliran pemikiran keagamaan, membutuhkan sebuah komitmen politik kebangsaan yang dapat diterima oleh semua kelompok umat Islam. Sekalipun, mengacu kepada gagasan Prof. Din Syamsuddin tersebut hanya dikhususkan untuk warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia,
Tujuan Islam politik di Indonesia sebagaimana prinsip dan kaidah mengatakan “Islam Rahmatan Lil Alamin” dan darul mafasid muqadam ala jalbil masalih, serta al-imam al manuthu bil maslahati al ra’iyyah, memberi peluang luas kepada ide-ide ke-Islaman di Indonesia untuk berkembang mencari form yang tepat dan kontekstual.
Sekalipun gagasan gagasan tradisional telah cukup mengakar di kalangan umat Islam seperti konsep khilafah, kelahiran gagasan terbaru, selama itu lebih baik, tetap dapat dirujuk sebagai konsep dan pemikiran Islam untuk kepentingan Islam dan umat Islam di masa datang dalam rangka menjawab tantangan terbaru yang selalu dinamis dan variatif.
Sikap “intelektual Islam” yang adaptif dan akomodatif, terkait dengan gagasan politik konstruktif, selama merujuk kepada kepentingan “maslahah”, jurang perbedaan mesti dipinggirkan di atas dasar kepentingan “kedaulatan rakyat” serta menciptakan dinamika politik yang demokratis dan berdasarkan kepada hukum.
~ Dr. Wendra Yunaldi. SH. MH & Irwan. SHI. MH
~ Penulis, peneliti pada Portal Bangsa Institute
~ Gambar oleh Shamsher Ali Khan Niazi dari Pixabay