Puncak Kejenuhan Sebuah Berita

redaksi bakaba

Hari-hari ke depan kita mulai merasakan ada kejenuhan bila berita ditawarkan itu ke itu saja. Penambahan korban terpapar, simpang siur boleh tidak boleh pulang kampung

Gambar oleh Michael Bußmann dari Pixabay
Gambar oleh Michael Bußmann dari Pixabay
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA

BERITA punya usia. Berita baru selalu menggilas berita lama. Berita lama tenggelam, terlupakan. Sesekali muncul lagi, jika ada yang baru. Diolah ulang oleh awak media, netizen, atau orang-orang berkepentingan di balik berita itu.

Begitulah adanya, termasuk berita tentang Covid-19. Di suatu tempat bisa jadi mengalami kejenuhan tetapi di tempat lain baru saja dimulai. Ketika pertama kali masuk ke Indonesia, gegap gempita berita setiap saat menjadi headline. Hingga kini belum juga tampak segera berhenti.

Kini Covid-19 merambah ke kota dan kabupaten. Begitu heboh dan seperti baru sadar, semua orang punya potensi sama bisa terkena wabah ini. Ketakutan, kekesalan, kebencian, muncrat ke media sosial akun-akun publik daerah. Semua itu tidak bisa dikendalikan melalui satu corong pejabat yang ditunjuk. Guncangan sosial karena kegaduhan virtual begitu terasa amat dekat.

Isu punya usia, serupa berita. Kejenuhan selalu tiba pada waktunya. Seperti lagu baru dirilis, hari pertama hingga satu dua minggu, akan bertahan di puncak tangga (chart nada) lagu di radio-radio. Berita yang bertahan cukup lama menjadi headline surat kabar, berita utama di televisi berita, biasanya berita yang cukup besar pengaruhnya terhadap kepentingan publik.

Hari-hari ke depan kita mulai merasakan ada kejenuhan bila berita ditawarkan itu ke itu saja. Penambahan korban terpapar, simpang siur boleh tidak boleh pulang kampung, kelonggaran pembatasan sosial berskala besar, bantuan yang entah di mana berada, dst. Berputar-putar pada isu yang sama akan membuat sikap keterkejutan publik akan imun. Isu Covid-19 tidak lagi seksi pada waktunya. Apalagi bila ada ada isu seksi paling baru tiba.

Khusus persoalan informasi seputar Covid-19, dapat dilihat gagapnya koordinasi dan komunikasi pemerintah. Pejabat yang satu menyatakan boleh mudik, sedangkan yang lain tidak boleh. Begitu pula bantuan kepada mereka yang terdampak, di daerah-daerah yang pemimpinnya tanggap, berani, begitu cepat digulirkan dana sosial. Sedangkan di daerah-daerah pemimpinnya gagap, tak berani mengambil resiko, sangat lamban diterima masyarakat terdampak.

Semua itu telah menjadi berita yang terus menerus beberapa minggu terakhir. Kegaduhan di jagad media sosial membuat guncangan tapi bergeming. Realitasnya, masyarakat ada yang peduli ada yang tidak. Kehidupan harus dilanjutkan, sebab apapun resiko yang terjadi, hampir-hampir tak ada harapan untuk disandarkan kepada pemerintah yang sibuk berkecamuk sehingga memberi gambaran betapa wibawa pemimpin kita sedang diuji oleh kerja mereka sendiri.

Pada sisi lain, persoalan pengelolaan informasi memang berhubungkait dengan kreativitas awak media, didukung bagaimana pemerintah membangun informasi yang benar, kebijakan yang tepat, serta kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan yang dikerjakan. Masyarakat tidak mau menunggu, tidak bisa dihentikan, dari segala aktivitas untuk memenuhi hajat hidup yang kian sulit dan mahal. Pada konteks itu, pemerintah tak berani, tak mampu menjawab, memberi harapan, sebagai pihak yang punya kewajiban, diamanatkan perundang-undangan.

Begitu banyak pernyataan keras dari kalangan terdidik di media massa, di media sosial, pemerintah tidak mendengar. Alih-alih mendengar dan mengiyakan, mengikuti petunjuk aspirasi, yang ada justru sebaliknya, siapa yang bersuara keras dan kritis akan dijebak dalam diperangkap hukum.

Arus informasi tentang Covid-19 masih membanjiri lini masa, masih menjadi isu utama tetapi akan tiba waktunya publik akan terbiasa. Angka-angka kematian tak lagi menakutkan, serupa awal-awal ketika ia hadir mengejutkan. Orang-orang terbiasa, tidak takut, lalu tetap waspada, memakai masker, hidup bersih, tiap sebentar mencuci tangan. Aktivitas harus terus dilanjutkan, sebab berharap pada pemerintah hampir tidak lagi bisa disandarkan. Bantuan tiba ketika semua berita telah basi, ketakutan telah hilang.

Pembatasan sosial berskala besar tidak sekeras yang diberitakan. Awalnya memang menakutkan, setelah itu, aparat yang bertugas pun jenuh, masyarakat juga jenuh. Sekeras apapun kejutan hendak ditawarkan, jika masyarakat menganggap sudah biasa, pemerintah tak memberikan apa-apa, Covid-19 hanyalah berita angin lalu semata. Masyarakat sudah terbiasa susah, imbauan juga angin lalu sebab sudah basi dan tak punya wibawa apa-apa.

Begitulah, pelajaran penting harus diambil segera, jika setiap prosedur penangkal, pengamanan sosial, terlambat tiba dari seharusnya terimalah akibatnya yang sia-sia. Pun sebuah berita segera basi pada waktunya ketika tak dikelola dengan kreativitas yang menggoda selera. []

~ Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Gambar oleh Michael Bußmann dari Pixabay 

Next Post

Pegawai Puskesmas Lasi, Agam Positif Covid-19

"Informasi semacam ini tidak perlu ditutup-tutupi. Penderita Covid-19 bukanlah aib, keterbukaan dan gerak cepat serta kerjasama semua pihak amat sangat dibutuhkan untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini," kata Firdaus, Walinagari Bukik Batabuah.
Petugas dengan APD lengkap jemput pasien positif covid-19 foto. doc. istimewa

bakaba terkait