Jakarta, bakaba.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energi (PTPE) dengan nilai Rp900 miliar. Penetapan tersangka ini diumumkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada sore hari ini Senin, 03 Maret 2025.
Penetapan Lima Tersangka oleh KPK
Dalam rilis resmi yang disampaikan oleh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo, kelima tersangka terdiri dari dua direktur LPEI, yaitu DW (Direktur Pelaksana) dan AS (Direktur Pelaksana), serta tiga petinggi PTPE, yakni JM (pemilik perusahaan), NN (Direktur Utama), dan SMD (Direktur Keuangan). Penetapan ini berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor 08 tanggal 20 Februari 2025, menyusul penyelidikan yang dimulai sejak Maret 2024.
Kronologi Pemberian Kredit Bermasalah
Pemberian kredit kepada PTPE dimulai sejak Oktober 2015 dengan total nilai sekitar 60 juta USD atau setara Rp900 miliar. Kredit tersebut dicairkan dalam tiga tahap: Rp97 miliar pada 2 Oktober 2015, Rp400 miliar pada 19 Februari 2016, dan Rp200 miliar pada 14 September 2017. Namun, KPK menemukan sejumlah perbuatan melawan hukum dalam proses ini.
Dugaan Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Budi Sukmo, direksi LPEI mengetahui rasio keuangan PTPE berada di bawah standar, yakni 0,86, yang menunjukkan pendapatan perusahaan lebih kecil dibandingkan kewajiban pembayaran kredit. Meski demikian, inspeksi terhadap jaminan atau agunan tidak dilakukan. Di sisi lain, PTPE diduga membuat kontrak palsu sebagai dasar pengajuan kredit, yang ternyata diketahui oleh direksi LPEI namun tetap disetujui.
Kesepakatan Terselubung dan Kerugian Negara
KPK juga mengungkap adanya pertemuan antara direksi LPEI dan petinggi PTPE sebelum pencairan kredit. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa proses pemberian kredit senilai Rp1 triliun akan dipermudah meskipun PTPE tidak memenuhi syarat keuangan. Bukti pendukung berupa kontrak fiktif, invoice palsu, dan percakapan elektronik telah diamankan KPK. BPKP memperkirakan kerugian negara dari kasus PTPE ini mencapai 60 juta USD atau Rp900 miliar.
Modus dan Aliran Dana Korupsi LPEI
Pihak PTPE mengajukan kredit dengan tujuan bisnis bahan bakar solar, tetapi dana tersebut justru dialihkan untuk investasi di sektor lain melalui praktik streaming. KPK menyebut direksi LPEI menerima “uang zakat” sebesar 2,5% hingga 5% dari total kredit yang dicairkan, sesuai keterangan saksi dan hasil penelusuran aset.
Penyelidikan 11 Debitur LPEI
Selain PTPE, KPK tengah menyelidiki 10 debitur lain yang menerima kredit dari LPEI dengan total potensi kerugian negara Rp11,7 triliun. Sektor yang terlibat meliputi perkebunan, perkapalan, dan energi. Budi Sukmo menyatakan bahwa seluruh 11 debitur ditangani KPK, sementara Kejaksaan dan Polri menangani kasus-kasus lain terkait LPEI untuk menghindari duplikasi proses hukum.
Upaya Pengembalian Aset
Hingga kini, KPK masih melakukan asset tracing untuk melacak aliran dana dan memastikan pengembalian kerugian negara. Meskipun aset yang telah dilacak belum mencapai Rp900 miliar, KPK optimistis dapat memulihkan seluruh kerugian dari kasus PTPE. Proses serupa juga dilakukan untuk 10 debitur lainnya.
Koordinasi dengan Instansi Lain
Terkait pertanyaan jurnalis, KPK menegaskan telah berkoordinasi dengan Kejaksaan dan Polri. Penyidikan terhadap direksi LPEI akan disinkronkan agar tidak terjadi penuntutan berulang, sementara penanganan debitur dibagi sesuai tugas masing-masing instansi.
rst | bkb