Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) merupakan instansi yang besar dengan membawahi banyak kegiatan termasuk membangun fasilitas olah raga. Dengan adanya kegiatan itu, otomatis akan membutuhkan anggaran yang besar sehingga memunculkan proses pengadaan. Dalam pengadaan itulah kemudian akan memunculkan commitment fee antara pejabat pemangku kewenangan dengan pemegang tender pembangunan fasilitas.
Proses pembangunan fasilitas olahraga tidak dibangun oleh Kemenpora secara langsung. Namun dilakukan oleh pihak ketiga (kontraktor) yang menang tender. Dalam proses menentukan perusahaan mana yang akan dipercaya Kemenpora untuk membangun merupakan ruang terbuka untuk menjalin komitmen antara pengusaha dengan para pejabat.
Kasus di Kemenpora
Kasus di atas pernah dialami Mantan Menpora era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yakni Andi Alfian Mallarangeng dalam kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor.
Kasus korupsi Hambalang masuk dalam kategori skandal korupsi besar yang pernah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nilai kerugian negara mencapai 706 miliar rupiah.
Akibat skandal tersebut gedung-gedung P3SON di Hambalang mangkrak dan tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya. Terlihat mirip “rumah hantu”, padahal tujuan awalnya mulia, untuk dijadikan pusat pendidikan bagi para pemuda dalam bidang olahraga supaya bisa mengharumkan nama bangsa dikancah internasional.
Ternyata niat baik saja tidak cukup karena integritas dibutuhkan oleh semua pihak, baik pemegang proyek maupun pejabat dan elit politik, sehingga niat mulia itu terwujud.
Kasus Hambalang belum hilang dari ingatan, lingkungan Kemenpora dirundung musibah korupsi lagi dengan ditetapkannya Imam Nahrowi Menteri Pemuda dan Olahraga sebagai tersangka.
- Baca juga: Sengkarut Korupsi Politik
Meskipun nilai kerugian negara pada masa Imam Nahrowi tidak sebesar pada waktu kepemimpinan Andi Mallarangeng, namun yang namanya korupsi tetaplah korupsi yang harus diberantas.
Perbedaan nilai dugaan korupsi itu karena adanya perbedaan objek korupsi, zaman Andi Mallarangeng terkait dengan pembangunan fasilitas di mana jumlah anggarannya juga disetujui anggota Dewan sedangkan kasus yang menjerat Imam Nahrowi adalah soal dana Hibah yang diberikan untuk pembiayaan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Korupsi dana hibah KONI
Hibah potensi dikorup, bukan rahasia lagi model pembiayaan yang menggunakan dana hibah berpotensi memunculkan perilaku koruptif karena diawali dengan ketidakpastian anggaran, sehingga besar kecilnya dana hibah ditentukan oleh kecerdikan lobi para pihak.
Sedangkan dalam proses lobi tentu ada tawar menawar yang tidak bisa terbantahkan.
Meniadakan dana hibah untuk KONI juga hal yang tidak bisa dihindarkan karena KONI membawahi banyak cabang olahraga. Dan untuk merawat setiap cabang olahraga tetap eksis membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.
Perlu diketahui olahraga di Indonesia masih tergantung pada dana hibah yang digelontorkan oleh pemerintah. Olahraga di Indonesia belum mampu menjadi industri yang bisa menjadi pemasukan bagi negara layaknya olahraga di belahan dunia barat yang mampu memberikan pemasukan bagi negara, seperti sepak bola di Inggris dan Brazil.
Olahraga di Indonesia dalam melakukan pembinaan masih mengandalkan bantuan negara melalui dana hibah. Selama masih ada dana Hibah yang diberikan pemerintah kepada KONI maka potensi pihak terkait melakukan tindakan koruptif akan terjaga karena masih memberikan ruang untuk melakukan tawar menawar dalam lobi.
KONI Daerah
Perlu diketahui juga, model dana hibah bukan hanya dilakukan KONI Pusat dengan Kemenpora. Tetapi juga dilakukan di daerah antara KONI daerah dengan Pemerintah Daerah setempat, dan dalam pelaksanaan ditemukan dugaan tindak pidana korupsi seperti dalam kasus korupsi dana hibah KONI Kabupaten Bekasi.
Artinya di mana ada KONI maka potensi dugaan adanya tindak pidana korupsi besar mengingat KONI bukanlah instansi negara akan tetapi pendanaannya tergantung pada pembiayaan dari negara. Sehingga besar-kecilnya anggaran untuk KONI tidak bisa langsung ditentukan oleh pemegang kebijakan, melainkan harus ada proses tawar menawar terlebih dulu.
Ketidakpastian besar kecilnya anggaran untuk KONI adalah wajar mengingat KONI bukanlah instansi negara yang mana jumlah anggarannya bisa langsung ditentukan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
KONI menjadi satuan kerja
Banyak kejadian tindakan korupsi terkait dengan pembiayaan KONI melalui dana hibah seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah.
Tidak ada salahnya jika KONI dijadikan sebagai satuan kerja dalam pemerintahan, menjadi instansi resmi negara karena selama ini meskipun KONI bukan sebagai instansi pemerintahan tetapi banyak yang masih menggunakan gedung milik negara untuk kantor, biasa masih dalam area Gelora Olahraga (GOR) yang dibangun dan dibawah tanggung jawab pemerintah.
Dengan KONI menjadi satuan kerja pemerintah maka akan meminimalisir tindakan korupsi karena ada pencegahan proses tawar menawar persoalan jumlah hibah ke KONI. Proses tawar menawar itu bisa ditiadakan karena jumlah anggaran sudah diputuskan melalui APBD/APBN sehingga pemerintah tinggal melakukan pencairan.
KONI menjadi satuan kerja pemerintah juga dibenarkan dalam sistem administrasi negara karena ada kejelasan hierarki kepemimpinan. Dalam asas administrasi negara ada asas actus contrarius reactus, dimana Pejabat Tata Usaha Negara (PTUN) yang berhak menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya.
Sumber Dana Koni
Selama ini KONI merupakan organisasi diluar pemerintah namun pembiayaannya masih menggunakan dana pemerintah. Meskipun menggunakan dana pemerintah tetapi pemerintah tidak bisa ikut mencampuri urusan KONI mengingat pengurus KONI tidak diangkat oleh pemerintah melalui keputusannya (beschiking).
Apabila KONI masuk dalam jajaran pemerintah maka pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pengurus KONI dan ini akan berbanding lurus dengan pembiyaan untuk KONI. Dan bisa jelas dan terukur sesuai dengan pagu yang dibuat oleh pemerintah.
KONI merupakan kumpulan organisasi yang diisi oleh banyak cabang olahraga dimana pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk melakukan pembinaan karena ketika olahraga Indonesia berjaya maka lagu Indonesia Raya akan sering terdengar di pentas-pentas internasional. Sehingga nama Indonesia menjadi harum karena simbol kejayaannya sering didengarkan oleh warga negara lain. (*)
*Penulis, Muhtar Said, Dosen HAN Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi (PUSDAK)