~Nur Azmi Alwi
DUNIA Anak saat ini memperlihatkan wajah paradoks. Anak yang semestinya menjalani kehidupannya dengan jiwa yang bersih, tiba-tiba menjadi brutal. Sejak 2011 sampai 2019, jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum yang dilaporkan ke Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencapai 11.492 kasus. Artinya, darurat moral tengah terjadi di dunia anak.
Fenomena darurat moral di dunia anak mengisyaratkan jika pendidikan karakter pada anak harus dilakukan secara lebih serius. Anak-anak mesti diselamatkan dari bencana kerusakan moral. Berbagai strategi mesti dilakukan. Selain keteladanan sebagai kunci sukses pendidikan karakter, dibutuhkan media yang dapat menghidupkan nalar dan menggugah jiwa ketika menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak.
Kenapa Sastra Anak?
Salah satu media yang dapat digunakan untuk menopang upaya pendidikan karakter pada anak adalah melalui sastra anak. Istilah sastra anak mengacu kepada karya sastra yang ditujukan untuk anak sebagai pembaca utamanya. Selama ini pendidikan karakter di ruang kelas bertumpu pada pembelajaran melalui pendidikan agama dan budi pekerti.
Kekurangannya adalah ketika aktivitas belajar anak lebih dominan menghafal (rote learning) dan berorientasi buku teks. Padahal untuk membentuk karakter anak, pengetahuan moral mesti disempurnakan oleh penghayatan moral. Muaranya adalah terwujudnya tindakan moral melalui perilaku keseharian anak.
Karya sastra anak dapat menutup kekurangan yang terdapat dalam pendidikan karakter. Alasan paling fundamental adalah karena nilai-nilai moral akan lebih mudah ditransmisikan kepada anak melalui cerita. Apalagi dunia anak adalah dunia bercerita.
Anak-anak sangat menyukai cerita terutama yang sejalan dengan perkembangan mereka. Di sisi lain, fakta yang tak terbantahkan adalah ketika cerita menjadi media terdahsyat untuk menggugah jiwa manusia. Bahkan, al-Qur’an sendiri mengandung 1000 ayat tentang kisah. Hikmahnya adalah ternyata Allah Ta’ala menyampaikan kisah sebagai salah satu cara dalam mendidik perilaku manusia. Al-Qur’an juga memiliki satu surat yang dinamakan dengan surat al-Qashash, yang berarti kisah-kisah.
George W. Burns dalam bukunya ‘101 Kisah yang Memberdayakan: Penggunaan Metafora sebagai Media Penyembuhan’ mengemukakan bahwa sastra anak sangat ampuh sebagai media untuk pendidikan karakter.
Dicontohkan bahwa anak-anak di Nepal ternyata tidak dihukum secara fisik ketika melakukan pelanggaran moral. Sebaliknya, mereka dibina dengan menggunakan cerita. Burns menyatakan cerita bahwa ternyata cerita dapat menuntun anak untuk memiliki rasa empati, menumbuhkan sikap disiplin, memunculkan inspirasi, menumbuhkan kekuatan pikiran, dan bahkan menyembuhkan.
Sastra anak juga memiliki potensi untuk mengembangkan pemahaman anak tentang tingkah laku manusia. Dengan merefleksikan kehidupan manusia, sastra anak memiliki kekuatan untuk membentuk pengalaman hidup orang lain yang seakan dirasakan sendiri oleh anak (vicarious experience).
Pengalaman hidup manusia itu dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang peristiwa kehidupan yang belum pernah dirasakannya. Semakin banyak anak mengetahui tentang pengalaman hidup orang lain melalui internalisasi dari cerita yang dibacanya, maka semakin kuat penanaman nilai untuk berempati kepada orang lain.
Sastra Anak Indonesia dan Terjemahan
Di Indonesia, sastra anak yang mengandung tujuan untuk pendidikan karakter mulai berkembang pada tahun 1945. Saat itu, buku-buku cerita anak yang beredar didominasi oleh dongeng, komik, dan buku-buku cerita terjemahan dari luar negeri.
Meskipun terdapat konsistensi terhadap pertumbuhan sastra anak di Indonesia, namun sastra anak Indonesia terutama cerita anak asli Indonesia bukanlah suatu segmen yang cukup populer di kalangan anak-anak Indonesia. Anak-anak Indonesia cenderung menyukai cerita terjemahan karena muatan unsur menghibur dan membangun rasa keingintahuan lebih tinggi dibandingkan karya sastra negeri sendiri yang cenderung bersifat menggurui dan tidak mengembangkan imajinasi anak.
Dalam konteks pendidikan karakter, sastra anak terjemahan memiliki potensi besar untuk membangun karakter anak dalam menghargai keberagaman budaya dari berbagai belahan dunia. Melalui analisis tokoh, latar, ilustrasi, dan isi pesan dalam sebuah buku sastra anak, anak-anak dikenalkan dengan keragaman budaya dari berbagai negara.
Namun, kehadiran sastra anak terjemahan ternyata berpotensi membawa ancaman untuk pembangunan karakter. Ancaman itu terjadi ketika sastra anak terjemahan mengandung nilai yang berseberangan dengan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat pembacanya.
Riset yang dilakukan Mc. Cann (1998) dengan judul White Supremacy in Children’s Literature: Characterization of African Americans, dan Crippen (2012) yang bertajuk The Value of Children’s Literature menemukan bahwa buku-buku cerita anak adakalanya sengaja ditulis untuk memandang rendah budaya tertentu secara terang-terangan, dan mengandung nilai-nilai budaya yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang dianut pembacanya.
Di sisi lain, ketika sebuah karya sastra dialihbahasakan, maka unsur yang dialihkan tidak hanya bahasa, tetapi juga ideologi, nilai-nilai budaya, sejarah, isu-isu sosial dan politik, serta cara berfikir kepada pembacanya. Salah satu contoh adalah kehadiran novel Harry Potter and the Philosopher’s Stone pada 1997 di Indonesia.
Novel yang ditulis J.K Rowling ini mengisahkan tentang petualangan seorang penyihir cilik. Novel ini ternyata berhasil menjadi ikon penting kehadiran karya sastra asing bagi apresiator sastra Indonesia, khususnya kalangan anak-anak dan remaja. Dari sudut pandang pembentukan karakter, muatan nilai di dalam novel ini berseberangan dengan ajaran Islam yang menentang seluruh bentuk keyakinan dan praktek sihir.
Sastra Anak yang Direkomendasikan
Penelitian penulis bertajuk Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Sastra Anak Indonesia dan Sastra Anak Terjemahan (2020) menemukan bahwa terdapat 8 (delapan) karya sastra anak yang layak menjadi media untuk pendidikan karakter anak. Delapan karya itu terdiri dari 4 sastra anak Indonesia dan sisanya adalah sastra anak terjemahan.
Karya sastra anak Indonesia meliputi: Laskar Pelangi (Andrea Hirata, 2007), Gerobak Membawa Berkah (Gol A Gong dan Tias Tatanka, 2011), Balada Sepeda Buntut (Gol A Gong dan Tias Tatanka, 2012), dan Kebanggaan yang Hilang (Bambang Joko Susilo, 2012). Sementara itu, sastra anak terjemahan yang direkomendasikan adalah Saga no Cabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga), karya Yoshici Shimada (2011), Bridge to Terabithia (Jembatan ke Terabithia), Katherine Paterson (2016), Five Have a Wonderful Time (Lima Sekawan: Sarjana Misterius), Enid Bylton (2016), dan The Nauthiest Girl Again (Sekali Lagi Si Paling Badung), Enid Bylton (2017.
Kedelapan karya sastra anak di atas mengandung nilai-nilai moral untuk ditransmisikan kepada anak. Nilai-nilai moral dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori, yaitu nilai-nilai moral untuk pendidikan karakter religius, potensi diri, keluarga, budaya, dan lingkungan.
Agar anak memiliki karakter religius, anak perlu dibekali dengan nilai moral seperti beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersyukur, dan ikhlas. Selain itu, juga terdapat konsep nilai moral tentang karakter potensi diri, seperti disiplin, berempati, ulet, dan berkemauan keras.
Pendidikan karakter keluarga memiliki nilai inti diantaranya berpikir jauh ke depan, kasih sayang, dan terbuka. Karakter budaya dibentuk melalui nilai moral, seperti berkemauan kuat, dan ketekunan. Terakhir, pendidikan karakter lingkungan dibina dengan menanamkan nilai cinta kesehatan lingkungan dan kearifan dalam mengeksplorasi sumber daya alam.
Upaya mentransmisikan nilai-nilai moral itu kepada anak dilakukan guru dalam bingkai kognitif, afektif, dan psikomotor. Secara kognitif, anak diberikan pengetahuan tentang konsep dari setiap nilai-nilai moral itu. Hasil yang diharapkan adalah anak memiliki pengetahuan moral.
Pengetahuan moral ini berproses menjadi perasaan moral. Nilai-nilai moral itu akan dapat dirasakan, diteladani, dan akhirnya dapat menyatu dengan jiwa anak. Perasaan moral akhirnya melahirkan tindakan moral melalui prilaku keseharian anak.
Guru dan orangtua seyogyanya tidak mengabaikan karya sastra sebagai media yang strategis untuk mentransmisikan nilai-nilai moral kepada anak. Selain untuk pendidikan karakter anak, penggunaan karya sastra ini secara tidak langsung akan menggenjot etos membaca anak sejak dini. Inilah masa paling penting untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian yang akan memberi warna ketika ia menjadi dewasa.**
~ Penulis, kandidat Doktor Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang.
~ Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay