Jakarta, Bakaba.co – Pemerintah Jepang di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Shigeru Ishiba dijadwalkan menyetujui paket stimulus ekonomi senilai US$140 miliar atau sekitar Rp2.226 triliun. Langkah ini diambil untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi Jepang pasca-penurunan mayoritas suara di parlemen.
Koalisi Ishiba mengalami kekalahan besar dalam pemilu pada 27 Oktober 2024, menandai performa terburuk Partai Demokrat Liberal (LDP) dalam 15 tahun terakhir. Isu korupsi dan inflasi disebut sebagai penyebab utama menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Detail Paket Stimulus Ekonomi
Juru bicara pemerintah Jepang, Yoshimasa Hayashi, mengungkapkan bahwa paket stimulus ini akan memberikan dampak ekonomi sebesar 39 triliun yen atau sekitar Rp3.978 triliun. Tambahan belanja anggaran dalam paket ini mencapai 13,9 triliun yen atau sekitar Rp1.417 triliun.
“Kami berupaya keluar dari ekonomi berbiaya rendah menuju penciptaan nilai tambah yang tinggi,” ujar Hayashi dalam pernyataannya kepada media.
Isi Paket Stimulus
Paket stimulus ekonomi yang diajukan mencakup beberapa langkah penting:
- Subsidi Energi: Mengurangi biaya energi bagi masyarakat dan bisnis.
- Bantuan Tunai: Sebesar 30.000 yen (sekitar Rp4,4 juta) akan diberikan kepada rumah tangga berpenghasilan rendah.
- Investasi Teknologi: Pemerintah berencana mengalokasikan dana besar untuk sektor teknologi, seperti semikonduktor dan kecerdasan buatan.
- Dukungan Proyek Rapidus: Pembelian saham senilai 200 miliar yen untuk proyek chip generasi terbaru guna meningkatkan daya saing teknologi Jepang di pasar global.
Selain itu, pemerintah berencana menginvestasikan 10 triliun yen hingga 2030 untuk mengembalikan keunggulan teknologi Jepang yang pernah mendominasi dunia pada 1980-an.
Anggaran Tambahan dan Kebijakan Pajak
Untuk membiayai stimulus ini, pemerintah akan mengajukan anggaran tambahan. Salah satu langkah yang diusulkan adalah penghapusan ambang batas pajak penghasilan, yang didorong oleh Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP). Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pekerja paruh waktu untuk meningkatkan jam kerja dan pendapatan.
Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dikhawatirkan akan mengurangi pendapatan pajak hingga triliunan yen. Hal ini berpotensi memperburuk utang Jepang, yang kini mencapai 200% dari PDB.
Ekonom Yoshimasa Maruyama dari SMBC Nikko Securities menekankan pentingnya menemukan sumber pendapatan tetap untuk menutupi pengurangan pajak ini.
Inflasi dan Kenaikan Harga Pangan
Selain utang dan isu korupsi, inflasi menjadi tantangan serius bagi Jepang. Data pemerintah menunjukkan tingkat inflasi pada September 2024 mencapai 2,3%, sementara harga beras melonjak hampir 60% akibat cuaca ekstrem dan kekurangan air.
Kondisi ini diperburuk oleh kepanikan pasca-peringatan “mega gempa” pada Agustus lalu, yang membuat masyarakat memborong kebutuhan pokok secara besar-besaran.
aky | bkb