SEBAGAI Nabi dan Rasul, Muhammad S.A.W sekaligus menjadi pemimpin ummah yang dibangunnya dengan jiwa monoteistik yang bersumberkan kepada ajaran Ibrahim, khususnya semenjak ia menetap di Madinah. Nama Madinah diberikan Muhammad S.A.W untuk mengganti nama kota sebelumnya di masa jahiliyyah yang populer dengan Yastrib.
Penggantian Yastrib menjadi Madinah oleh Muhammad S.A.W didasari visi menyatunya kaum Anshar dan Muhajjirin sebagai simbol civil society di bawah kepemimpinan Muhammad S.A.W. Simbol-simbol masyarakat Madinah yang religius, ber-hukum, ber-kepemimpinan, demokratis, ekonomi yang berkeadilan dan komitmen politik keberagaman dalam satu konstitusi “Piagam Madinah” yang dibuat oleh 12 perwakilan kelompok masyarakat di Madinah.
Mac Iver menyebut proses perubahan masyarakat dari pra-adab menjadi berkeadaban, yang disebut John L. Esposito sebagai perasaan keagamaan.
Masyarakat berkeadaban yang dipahami dari istilah “Madinah”, berasal dari kata “diin” yang berarti utang, orang berutang disebut dengan “da’inu”, sedangkan orang yang tidak komitmen dengan utangnya, ada perjanjian maka ada pula hukuman “dinuunah”, serta adanya perasaan bersalah “idaanah”. John Locke menyebutnya dengan “kontrak politik”, sementara Muhammad menyebutnya dengan “Madinah” yang berarti masyarakat yang terorganisir dan masyarakat terorganisir itulah yang disebut dengan “tamaddun” atau masyarakat berperadaban. (Sidi Gazalba, 1978; 97).
Kepemimpinan Muhammad S.A.W sebagai kepala negara di Madinah murni bersifat politis, bukan atas perintah wahyu yang bersifat khusus menunjuk Muhammad sebagai kepala negara, melainkan secara implisit dipahami dari perintah Al-Qur’an untuk “taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya”, sebagai gejala alamiah yang tumbuh dari kepatuhan monoteistik. Sekaligus membangun kesadaran sosial masyarakat yang plural untuk disatukan dalam kepemimpinan yang ber-Ketuhanan.
Esposito menyimpulkan bahwa keberhasilan Muhammad S.A.W membangun tradisi politik yang jauh perbedaannya dengan kekaisaran ataupun kekuasaan gereja, baik di bawah imperium Parsi maupun Roma. Muhammad S.A.W menjadi pemimpin yang sekaligus menempatkan dirinya menjadi “sahabat” rakyatnya. Negara yang dipimpin oleh Muhammad S.A.W dikatakan Montgomery Watt sangat modern di era itu.
Terintegrasinya kepemimpinan politik dan sekaligus kenabian serta kerasulan dalam diri Muhammad S.A.W, diakui berhasil menciptakan model kepolitikan yang berkeadaban dan menjunjung tinggi keadilan, demokrasi, serta kepatuhan terhadap Tuhan.
Baca juga: Muhammad S.A.W dan Praktik Demokrasi di Kota Madinah
Masyarakat sipil Madinah yang religius, Islam maupun non-Islam, menjadi penopang terlaksananya sistem politik yang kuat di bawah kepemimpinan Muhammad S.A.W. Faktor kepribadian manusiawi, nabi dan rasul yang melekat pada diri Muhammad S.A.W membuat otoritasnya bersifat tunggal. Yang dalam banyak hal, Muhammad S.A.W selalu berdiskusi, berkonsultasi dan meminta pemikiran para sahabat terkait dengan kebijakan penyelenggaraan negara.
Personifikasi Muhammad S.A.W sebagai pemimpin “al-amin” secara sosiologis, politis dan psikologis menjadi wadah “pendidikan politik” bagi umat Islam di Madinah. Sekalipun kewenangan politik, hukum, pemerintahan, hakim dan pembentuk hukum berada di tangan Muhammad S.A.W, tidak lantas memerankan Muhammad S.A.W seperti seorang raja monarchis yang absolut. Muhammad menjalankan misi politiknya itu berdasarkan kewenangan yang diberikan al-Qur’an “taatilah Allah dan Rasul-Nya”.
Keterbatasan metodologi science modern dalam menganalisa peristiwa ketatanegaraan pada tahun 622 M sampai 632 M sebagai model politik terbaik dalam sejarah peradaban umat manusia. Dipimpin oleh seorang nabi dan rasul namun tidak dibarengi dengan kelebihan-kelebihan supra natural untuk mendapatkan kepatuhan manusia.
Muhammad S.A.W berbeda dengan Sulaiman yang dengan kekuasaan luar biasa terhadap manusia dan binatang, Sulaiman menjadi raja yang tidak terbatas. Masyarakatnya tidak saja manusia, namun juga hewan dan makhluk-makhluk gaib yang kasat mata. Sementara Muhammad S.A.W memimpin dan berkuasa secara alamiah atas manusia tanpa kelebihan-kelebihan adi kodrati yang sulit diterima akal sehat manusia.
Ali Abd al-Raziq maupun Muhammad Imara gagal memahami karakteristik negara yang dibangun oleh Muhammad S.A.W, sehingga ia menyimpulkan Muhammad S.A.W bukanlah seorang kepala negara. Muhammad S.A.W baginya hanya sebagai nabi dan rasul yang tidak memiliki kewajiban untuk menciptakan sebuah negara. Husein Heikal pengikut al-Raziq, kemudian menolak gagasan al-Raziq dan membenarkan konsep politik kenabian melalui karyanya “Daulat Islamiyah”.
Selama memimpin Madinah, problem menghadapi nilai-nilai tradisi masyarakat yang biasa “tak bernegara” kemudian menjadi terorganisir di bawah kepala negaranya Muhammad S.A.W, menggeser perilaku masyarakat individualitas ke komunalitas, persaingan produktif, serta kompleksitas ke tradisional, kebebasan yang tidak dikekang, serta kontrol dari masyarakat maupun kepatuhan kepada hukum, bukanlah perkara mudah untuk mentransformasikannya menjadi modern.
Objektifikasi Islam serta kekuatan “kehormatan” kepribadian Muhammad S.A.W yang luar biasa, sebagai “ideologi dasar” yang dimiliki Muhammad S.A.W menciptakan otoritas kepemimpinannya di mata masyarakat Madinah dan masyarakat lainnya di jazirah Arab. Sulit untuk menafikan praktik bernegara yang telah dilaksanakan oleh nabi selama lebih kurang 10 tahun di Madinah.
Negara kenabian yang dibangun Muhammad S.A.W di Madinah adalah negara transformatif dan berkeadaban dengan basis masyarakat sipil yang memiliki karakteristik modern dan maju. Dengan pemenuhan prasyarat-prasyarat modalitas politik berkeadaban, berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkepemimpinan yang demokratis, dan ekonomi yang berkeadilan, menempatkan negara kenabian sebagai simbol dari penerapan kekuasaan model “dawlah nubuwah”.
~ Penulis, Irwan, S.H.I., M.H, Peneliti Pusat Kajian PORTAL BANGSA
~ Image by Abdullah Shakoor from Pixabay