Di balik kemajuan pesat Indonesia, terdapat fenomena menarik di pasar tenaga kerja yang menantang logika kita. Bagaimana bisa lulusan SMK yang dilatih khusus untuk siap kerja justru lebih banyak menganggur, sementara lulusan Sekolah Dasar yang hanya mengantongi ijazah dasar malah mendominasi pasar kerja? Mari kita telusuri fenomena ini lebih lanjut.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dari laman satu Data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) memberikan gambaran yang menarik mengenai dinamika tenaga kerja di Indonesia. Fenomena ini melibatkan tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK, rendahnya pengangguran di antara lulusan perguruan tinggi, dan dominasi lulusan SD di pasar kerja.
Menurut data terbaru, pada Februari 2024 jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 7,2 juta orang dengan tingkat pengangguran lulusan SMK ada 8,62%. Sedangkan tingkat pengangguran lulusan sarjana ada 4,87%, dan tingkat pengangguran pada lulusan SD sebanyak 2,38%.
Dari data terbaru ini, kita bisa melihat bahwa tingkat pengangguran lulusan SMK masih lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi maupun lulusan SD. Lulusan perguruan tinggi tetap memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah, sedangkan lulusan SD terus mendominasi sektor informal.
Fenomena tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dibandingkan dengan lulusan Sekolah Dasar (SD) dan perguruan tinggi adalah ironi yang mengejutkan.
Mengingat tujuan utama dari pendidikan vokasional seperti SMK adalah untuk menyiapkan siswa dengan keterampilan yang siap digunakan di dunia kerja, kenyataan bahwa lulusan SMK justru kesulitan mendapatkan pekerjaan menimbulkan pertanyaan besar tentang kesesuaian kurikulum SMK dengan kebutuhan industri.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun siswa SMK memperoleh pelatihan yang lebih khusus dan praktis, hal tersebut belum tentu sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang dinamis dan terus berkembang.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah harapan bagi banyak siswa untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Namun, harapan seringkali tak seindah kenyataan.
Banyak lulusan SMK justru menjadi pengangguran. Mengapa demikian bisa terjadi? Salah satu faktornya disebabkan oleh lapangan kerja yang terbatas. Pekerjaan yang sesuai dengan keahlian lulusan SMK tidak sebanyak yang dibayangkan, banyak industri belum siap menampung lulusan SMK dengan keterampilan spesifik mereka.
Dan juga akibat teknologi yang terus berkembang, dunia kerja berubah cepat. Keterampilan yang diajarkan di SMK seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan industri yang terus berkembang. Selain itu juga disebabkan kurangnya pengalaman praktis, banyak perusahaan mencari karyawan berpengalaman. Bagi lulusan SMK yang baru merintis karir, persaingan dengan mereka yang lebih berpengalaman menjadi tantangan berat.
Hal ini mengindikasikan perlunya kolaborasi lebih erat antara SMK dan sektor industri untuk menyesuaikan kurikulum dan menyediakan pelatihan yang relevan. Selain itu, peningkatan soft skills dan program kewirausahaan bagi siswa SMK dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi tantangan ini, sehingga lulusan SMK tidak hanya siap kerja tetapi juga mampu berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan pasar.
Sementara lulusan SMK menghadapi tantangan besar, lulusan perguruan tinggi justru memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah. Hal itu disebabkan oleh salah satunya kualifikasi tinggi. Gelar sarjana membuka pintu ke lebih banyak kesempatan kerja.
Perusahaan cenderung mencari tenaga kerja dengan kualifikasi tinggi untuk posisi strategis. Yang kedua yaitu jaringan yang luas, mahasiswa perguruan tinggi sering kali membangun jaringan selama masa studi mereka, yang bisa membantu mereka dalam mencari pekerjaan.
Dan juga pada pengembangan soft skill, pendidikan tinggi tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga keterampilan lunak seperti komunikasi, pemecahan masalah, dan kepemimpinan, yang sangat dihargai oleh pemberi kerja.
Yang lebih mengejutkan adalah dominasi lulusan SD di pasar tenaga kerja, terutama di sektor informal. Mengapa bisa demikian? Salah satu penyebabnya yaitu sektor informal yang besar, banyak pekerjaan di sektor informal, seperti pertanian, perdagangan kecil, dan jasa, tidak memerlukan pendidikan tinggi.
Lulusan SD bisa bekerja di sektor ini dengan baik. Selain itu lulusan SD seringkali menunjukkan keuletan dan fleksibilitas dalam bekerja di berbagai kondisi, membuat mereka berharga dalam sektor informal. Dan juga kebutuhan untuk menghidupi keluarga mendorong mereka bekerja keras dan menjadi lebih produktif.
Fenomena unik ini menggambarkan kompleksitas pasar tenaga kerja Indonesia. Dengan banyaknya lulusan SMK yang menganggur, sedikitnya pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi, dan dominasi lulusan SD di pasar kerja, jelas diperlukan strategi pendidikan dan pelatihan yang lebih terintegrasi dan adaptif. Menghubungkan dunia pendidikan dengan kebutuhan industri adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.
Indonesia bisa maju lebih pesat jika setiap lapisan pendidikan baik dari tingkat SD hingga sampai perguruan tinggi diberdayakan dan dioptimalkan sesuai potensinya masing-masing.
Penulis | Aifanisa Rahman | Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang| Alumni Student Literacy Camp (SLC) 2024
Gambar oleh s m anamul rezwan dari Pixabay