Jakarta, Bakaba.co – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia telah mencapai 64.751 orang sejak Januari hingga 18 November 2024. Angka ini meningkat 804 pekerja dibandingkan data per Oktober 2024 yang mencatat 63.947 pekerja ter-PHK.
“Total PHK per 18 November 2024 mencapai 64.751 tenaga kerja,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemenaker, Indah Anggoro Putri, saat dihubungi, Senin (18/11/2024).
DKI Jakarta Menjadi Wilayah dengan PHK Tertinggi
Berdasarkan data, DKI Jakarta menjadi wilayah dengan jumlah pekerja ter-PHK terbanyak, yaitu 14.501 orang. Angka ini stagnan sejak Oktober 2024, yang menunjukkan belum ada perusahaan baru yang melakukan PHK selama bulan November.
Di posisi kedua, provinsi Jawa Tengah mencatat 12.492 pekerja ter-PHK, meningkat tipis dari Oktober sebanyak 12.489 pekerja. Sementara itu, Banten mencatatkan peningkatan signifikan, dengan 10.992 pekerja ter-PHK, naik 290 pekerja dibandingkan Oktober yang sebanyak 10.702 pekerja.
Sektor Pengolahan Mendominasi Angka PHK
Data Kemenaker menunjukkan bahwa sektor pengolahan menjadi penyumbang terbesar angka PHK sepanjang 2024, dengan 28.336 pekerja kehilangan pekerjaan.
Sektor ini diikuti oleh:
Aktivitas jasa lainnya: 15.629 pekerja.
Perdagangan besar dan eceran: 8.543 pekerja.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa industri pengolahan menghadapi tantangan berat di tengah melemahnya permintaan domestik dan tekanan dari produk impor.
Industri Manufaktur Indonesia dalam Kondisi Genting
Para pengamat ekonomi menilai peningkatan angka PHK merupakan tanda bahwa sektor manufaktur Indonesia sedang dalam kondisi tidak stabil. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa situasi ini menunjukkan sinyal deindustrialisasi atau penurunan peran industri dalam perekonomian.
“Industri manufaktur kini menghadapi tekanan dari produk impor yang lebih kompetitif. Sementara itu, permintaan dalam negeri terus menurun, terlihat dari penurunan harga barang dan jasa serta berkurangnya rata-rata tabungan masyarakat Indonesia,” ujar Wijayanto.
Lebih lanjut, Wijayanto mengungkapkan bahwa beberapa pengusaha mulai menyerah pada tekanan ini. Banyak yang beralih menjadi pedagang produk asing, khususnya barang dari China, karena dianggap lebih menguntungkan dan minim risiko.
“Ini adalah lampu kuning bagi industri manufaktur Indonesia. Jika tidak segera ditangani, kita bisa kehilangan sektor industri yang vital,” tambahnya.
Proporsi Industri Manufaktur terhadap PDB Menurun
Senada dengan Wijayanto, Direktur Digital Celios, Nailul Huda, menyebutkan bahwa proporsi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun selama 10 tahun terakhir.
“Dulu proporsi industri manufaktur terhadap PDB mencapai lebih dari 20 persen, namun kini terus menurun. PMI (Purchasing Managers’ Index) juga menunjukkan perlambatan dalam beberapa bulan terakhir, yang semakin menekan sektor ini,” ungkap Nailul.
Selain itu, arus masuk produk impor yang semakin deras memperburuk situasi industri manufaktur dalam negeri, membuat daya saing produk lokal semakin melemah.
Tantangan Besar untuk Industri Manufaktur
Meningkatnya angka PHK menjadi sinyal serius bagi pemerintah dan pelaku industri untuk segera mengambil langkah strategis dalam menyelamatkan sektor manufaktur. Dukungan kebijakan yang memperkuat daya saing produk lokal, menekan produk impor, serta mendorong investasi di sektor industri menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini.
rst | bkb