~ Syafrizal Harun
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Langsung, telah dimulai sejak tahun 2005 silam, sejak era reformasi, seiring Pemilu Presiden dan Wapres dan Pemilu Legislatif (DPR, DPD, DPRD).
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) tahun 2020 nanti adalah kali yang keempat. Dari tiga kali pengalaman pemilukada (Gubernur dan Wakil, Bupati dan Wakil, dan Walikota dan Wakil), berbagai catatan dapat diketengahkan.
Evaluasi aspek penyelenggaraan, biasanya oleh penyelenggara, yakni Komisi Pemillihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Juga ada sebagian peserta, partai politik melakukan evaluasi internal. Dari masyarakat, beberapa tulisan bersifat evaluatif pernah muncul di beberapa media cetak/koran.
Tulisan di koran tentang pemilihan umum, biasanya dari segelintir pengamat dan/atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berafiliasi dengan kepemiluan atau demokrasi. Berbagai evaluasi itu, lazimnya terkait pelaksanaan aturan perundang-undangan di seputar pemilu, serta transparasi pengelolaan anggaran. Pada sedikit kasus, ada kajian akademis dari dosen atau mahasiswa program studi (prodi) hukum, dan menjadikan bagian dari pemilu sebagai subjek makalah atau skripsi.
Bagaimana dengan rakyat pemilih atau voter? Dari segi rakyat pemilih, sangat jarang, bahkan tidak ada evaluasi tentang pemilukada. Bahkan para partisan (anggota suatu partai peserta pemilu) langka yang melakukan evaluasi. Ketiadaan evaluasi dari rakyat pemilih wajar, karena memang tidak ada urgensinya bagi rakyat.
- Baca juga: Pilkada di Media Sosial
Hal ini akibat dari sifat elitis dari pemilu itu sendiri, yang merupakan peristiwa ketatanegaraan limatahunan. Para stakes holder pemilu/pilkada, adalah kalangan partisan level atas (ketua, sekretaris dan bendahara pada suatu partai), dan/atau mereka yang sedang duduk di kursi legislatif (DPR, DPD, dan DPRD).
Lagipula, jumlah partai peserta pemilu itu cukup banyak (puluhan) dan berubah-ubah. Setiap periode selalu ada partai baru, ciptaan elit di Jakarta. Partai-partai itu dominan peranannya di setiap pemilihan kepala daerah. Partai-partai itu pula yang berperan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah sehari-hari melalui DPRD.
Meski demikian, ada hal lucu pada penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah. Namun, lelucon itu baru diketahui jika diamati lama setelah helat pilkada selesai. Lelucon dimaksud terkait dengan penyampaian visi dan misi di masa kampanye oleh para kontestan yang merupakan calon kepala daerah. Sangat jarang visi dan misi itu bersesuaian dengan realitas di masa pemerintahan calon terpilih. Namun, sebagian besar orang enggan atau malas menyoal pepesan kosong di masa kampanye.
Menurut hemat saya, visi dan misi memang perlu, namun supaya tidak menjadi pepesan kosong, mestilah realistik. Sebetulnya, visi dan misi kepala daerah, secara normatif telah diatur pada berbagai peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang tentang Otonomi Derah. Dan, yang lebih menentukan lagi adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Visi dan misi suatu Kepala daerah hanya bermakna jika ia dapat mewujudkan visi dan misi tersebut selama masa baktinya sebagai kepala daerah, dan itu tergantung dana yang dialokasikan melalui Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pada umumnya, APBD suatu daerah bersumber dari pusat; melalui Dana Perimbangan, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), dan berbagai sumber pendapatan yang sah lainnya, serta PAD. Pada keadaan di mana PAD sangat kecil, katakanlah dibawah 5 (lima) persen) dari total APBD, maka itu artinya 95 persen APBD tergantung dari Jakarta (Pemerintah Pusat).
Bagaimana mungkin dengan PAD hanya 5 persen kontribusinya untuk APBD, seorang Kepala Daerah dapat mempunyai visi dan misi yang asli (original) dari otaknya? Secara hirarki pemerintahan, kepala daerah itu adalah bawahan Presiden, sehingga wajib selaras dengan visi dan misi presiden. Kalaupun, PAD lumayan besar, katakanlah 50 persen atau separuh dari APBD, tetap saja visi dan misi Kepala daerah harus selaras (tidak kontradiktif) dengan visi dan misi Presiden.
Dari segi tata pemerintahan, pemilukada itu sebetulnya memilih administrator pemerintah daerah, bukan memilih pemimpin rakyat di suatu daerah. Yang disebut pemimpin (formal) itu adalah orang yang mempunyai visi dan misi untuk orang banyak (rakyat), di mana visi dan misi itu mungkin diwujudkan dengan dana melalui birokrasi yang diatur dengan berbagai aturan perundang-undangan. Karena pemilik visi dan misi adalah presiden, maka presiden itulah pemimpin.
Hal ini perlu dipahami dengan tepat, supaya tidak ada dusta di antara kita, dan tidak ada lelucon bodoh di masyarakat. **
*