bakaba.co | Agam | Seniman tradisi Minang: Dendang-Saluang, Sawir Sutan Mudo meninggal, hari ini, Selasa, 9 Juni 2020. Mak Sawir, begitu sering dipanggil, meninggal di kediaman keluarga di Tangah Sawah, Bukittinggi, pukul 06.00 WIB tadi, dalam usia 78 tahun.
“Almarhum Sawir Sutan Mudo pendendang saluang yang sangat piawai membuat pantun-pantun spontan, dengan kiasan yang kuat. Juga menciptakan sejumlah lagu saluang. Semoga jasa Mak Sawir sebagai penerus tradisi budaya Minangkabau menjadi amal saleh hendaknya,” tulis Budayawan Edy Utama di group WA ‘diBudaya Nusantara’, Selasa, 9 Juni 2020.
Sawir Sutan Mudo, lahir tahun 1942, di Koto Kaciak, Maninjau. Sejak kecil sudah akrab dengan seni tradisi. Menjadi anak randai. Saat usia menjelang baligh, 15 tahun, telah tampil sebagai pendendang. Sejak usia kanak-kanak, Sawir sudah piatu.
Tidak lama setelah merdeka, tahun 1951, saat kehidupan masih sulit, Sawir merantau ke Palembang, Sumatera Selatan. Di rantau, dia berdagang di kaki lima dan tetap aktif berkesenian tradisi. Dua juga pernah berpindah rantau ke Lubuk Linggau, dan Padang.
“Saya menyintai kesenian tradisi randai dan saluang jo dendang,” kata Sawir, dalam wawancara wartawan Kompas, Yurnaldi (Sabtu, 13 November 2000).
Sawir menilai, pantun-pantun dan syair dalam kesenian itu sangat menarik dan mengandung unsur pendidikan. Sawir selalu tertantang membuat pantun yang bisa membuat penikmat kesenian dendang-saluang puas dan terkesan.
Tahun 1968, Sawir pulang ke kampung halamannya dan menikah. Memiliki satu anak perempuan. Tahun 1972, kembali menikah, menetap Nagari Gadut dan memiliki tujuh anak.
Ratusan Pantun
Ratusan pantun diciptakan Sawir dan menjadi lagu yang akrab dalam berbagai arena gurau saluang tradisi, seperti ‘Suntiang Patah Batikam’, ‘Banda Guntuang’, ‘Hujan Baribuik’, ‘Danau Mamukek’, dan ‘Talempong Anam Koto’.
Dalam film dokumenter Maestro yang diproduksi Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), Sawir Sutan Mudo mengatakan, pantun dendang yang diciptakannya sering terinspirasi dari peristiwa penting. Isi pantun dari suatu peristiwa itu bisa jadi peringatan atau nasehat bagi orang. Dia juga belajar dari alam; alam takambang jadi guru. “Dalam berpantun, yang penting isi, sampiran bisa bebas,” begitu prinsip karya Sawir.
Seniman tradisi dengan spesialisasi dendang-saluang, Sawir Sutan Mudo termasuk profesional. Jadwal tampilnya cukup tinggi. Sawir memiliki penggemar banyak, juga jaringan pertemanan yang luas.
Pada tahun 1970, Sawir Sutan Mudo sudah merekam suaranya pada piringan hitam. Sejak tahun 1972 rekaman di pita kaset. Tidak kurang 100 kaset rekaman saluang dan dendang telah dirilis Sawir. Kasetnya beredar luas, di ranah dan rantau, jadi koleksi penggemar saluang dan peneliti.
Dalan perjalanan profesi kesenimannya, Sawir pernah empat kali juara pertama festival saluang dan dendang. Dia juga pernah jadi dosen tamu di Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang ISI) Padangpanjang.
Ke Luar Negeri
Tahun 1999 lalu, Sawir merekam suara dan penampilannya dalam bentuk VCD, diproduksi orang Jerman. VCD Sawir sangat diminati orang Jerman. Sawir pun melawat ke Jerman dan tampil di sejumlah kota di Jerman. Bulan Maret 2001, bersama Kelompok Talago Buni, pimpinan budayawan Edy Utama, Sawir Sutan Mudo diundang tampil di Perancis.
Setelah melanglang buana, dalam masa tua, Sawir Sutan Mudo bersama keluarganya hidup sederhana. Di Kota Bukittinggi, Mak Sawir membuka usaha pakaian eks. luar negeri, istrinya membuka usaha berbagai jenis makanan ringan dan kerupuk di Pasar Bawah Bukittinggi.
Maestro dendang-saluang itu, Mak Sawir Sutan Mudo, sudah menuntaskan perjalanannya. Suara dan pantun karya Sawir Sutan Mudo tetap bisa dinikmati penggemarnya melalui VCD atau YouTube. Tetapi tidak bisa lagi berteriak meminta lagu: Parak Tabu Ciek…”
~ Asraferi Sabri