Kejati Sumbar Kejar Dugaan Korupsi Proyek RSUD Bukittinggi

redaksi bakaba
Bagikan

Ya, ada beberapa ASN Pemko Bukittinggi yang dipanggil Kejati untuk dimintai keterangan terkait proyek pembangunan RSUD.

Bagikan

bakaba.co | Bukittinggi | Aroma adanya indikasi korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bukittinggi sudah tercium sejak awal. Pembangunan RSUD Bukittinggi sempat bermasalah. Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias pada akhir masa jabatannya, Senin, 18 Januari 2021, meresmikan RSUD. Aroma adanya sesuatu yang tidak sesuai aturan pada proyek RSUD Bukittinggi tidak sepenuhnya hilang.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar mulai mengejar terkait indikasi terjadinya korupsi pada proyek RSUD Kota Bukittinggi. Kejati telah mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Print-03a/L.3/Fd.1/04/2022, tanggal 19 April 2022. Sprinlidik diterbitkan Kejati terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pada pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bukittinggi yang dilaksanakan pada tahun 2018.

Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sumbar menindaklanjuti dengan memanggil pihak-pihak terkait proyek RSUD Bukittinggi. Sekurangnya, dalam bulan Mei 2022 ini, sudah ada 8 orang ASN Pemko Bukittinggi yang diperiksa Kejati Sumbar Sumbar.

“Saya memenuhi panggilan Kejati Sumbar pekan pertama bulan ini. Dipanggil dan dimintai keterangan dalam kapasitas sebagai Pelaksana Teknis Kegiatan, PTK proyek RSUD,” kata Edi Patra, ASN pada Dinas PUPR Pemko Bukittinggi kepada bakaba.co yang dihubungi, Minggu, 22 Mei 2022.

Selain Edi Patra, juga dipanggil Kejati; Ramli Andrian (PPK, Pejabat Pembuat Komitmen proyek RSUD), Mardison (Sekretaris DKK, Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi), Vera Maya Sari (Sekretaris DKK pengganti Mardison), Devi Harteti (Tim Pokja Proyek RSUD), Syaiful (PTK dari Dinas PUPR). Dua orang lagi; anggota tim Pokja Pokja dan Yandra Feri (Kadinas DKK saat proyek RSUD dilaksanakan). Menurut informasi yang diperoleh bakaba.co, Yandra Feri belum memenuhi panggilan Kejati.

Ramli Andrian, PPK proyek RSUD Kota Bukittinggi yang dihubungi bakaba.co menyatakan, saat ini dia sebagai ASN Pemko Bukitinggi. “Untuk pemberian informasi, saya tidak bisa sebelum izin tertulis dari Pemko Bukittinggi,” jawab Ramli melalui WA pada bakaba.co.

Dipanggilnya beberapa orang ASN Pemko Bukittinggi oleh Kejati Sumbar terkait proyek RSUD Kota Bukittinggi, Sekretaris Daerah Kota Bukittinggi Martias Wanto membenarkan.

“Ya, ada beberapa ASN Pemko Bukittinggi yang dipanggil Kejati untuk dimintai keterangan terkait proyek pembangunan RSUD. Semua tentu masih dalam praduga tak bersalah.  Pesan saya kepada ASN agar memenuhi panggilan Kejati dan bersikap kooperatif saja,” ujar Martias Wanto kepada bakaba.co.

Kronologis Proyek

Proyek Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bukittinggi dilaksanakan secara multiyear APBD murni tahun 2018, 2019 dan 2020. Lelang proyek RSUD Bukittinggi mulai diproses Juni 2018. Akhirnya, pemenang lelang ditetapkan PT Bangun Kharisma Prima (BKP), Jakarta. Dan Manajemen Konstruksi/MK: PT. Artefak Arkindo. Nilai kontrak Rp102.267.533.000, dengan nomor kontrak kerja: 64/SP/DKK-BKT/VIII/2018. Masa pelaksanaan 660 hari. Proyek yang berlokasi di Jl. Bypass, Kawasan Eks. Pusido, Gulai Bancah, Kec. Mandi Angin, Bukittinggi itu mulai dikerjakan Oktober 2018

Pembangunan RSUD merupakan proyek paling besar menyerap dana APBD murni ketika Walikota Bukittinggi dijabat Ramlan Nurmatias. Sebuah acara seremonial digelar Kamis, 6 September 2018. Walikota Ramlan Nurmatias, waktu itu, meletakkan batu pertama pembangunan RSUD Bukittinggi di lokasi proyek.

Proyek RSUD berada di bawah Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang waktu itu dijabat Yandra Feri, pejabat pindahan dari Pemkab Padang Pariaman, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dipegang Ramli Andrian. Tetapi, ternyata proyek RSUD  bermasalah.

Masalah RSUD mulai terungkap 11 Juni 2019 saat anggota DPRD Bukittinggi meninjau proyek RSUD ke lapangan. Ditemukan fakta: bobot pekerjaan PT BKP minus (deviasi) 11 persen. Pekerjaan pembangunan RSUD Bukittinggi yang sudah berjalan 44 minggu, mestinya sudah 32 persen. Kenyataannya baru 21 persen.

Terbukanya kondisi proyek yang ‘lelet’, tiga hari kemudian, 14 Juni 2019, PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yang dijabat Ramli Andrian menerbitkan Surat  Peringatan pertama (SP-1). Kontraktor diberi waktu 5 minggu untuk mengejar kekurangan bobot pekerjaan (deviasi) 11 persen sekaligus berusaha memenuhi bobot sesuai skedul/waktu.

Setelah SP-1 berjalan 5 pekan, PT BKP tidak bisa memenuhi target menutup deviasi. Kontraktor hanya mampu menambah bobot kerja 1 persen, dari 22 persen jadi 23 persen.

Pada 22 Juli 2019 PPK menerbitkan Surat Peringatan kedua (SP-2). SP-2 diterbitkan dengan memberi waktu selama 7 pekan kepada PT BKP untuk mengejar deviasi yang semakin tinggi yakni 18 persen.

Progres selama SP-2 tidak terpenuhi, pada 3 September 2019 diterbitkan SP-3 dengan tanggung jawab hanya mengerjakan atau menambah bobot kerja 4,3 persen dan mengabaikan deviasi 19 persen. Jika rekanan itu berhasil mengerjakan atau menambah bobot 4,3 persen selama 4 minggu maka pekerjaan akan diteruskan oleh rekanan/PT BKP tanpa diputus kontrak.

Setelah diberi waktu 4 minggu, ternyata PT BKP tidak mampu menambah bobot 4,3 persen. PPK akhirnya, 7 Oktober 2019, mengeluarkan Surat Pemutusan Kontrak tanggal

Uang Muka dan Jaminan

Saat putus kontrak, bobot kerja terealisasi hanya 25,9 persen. Sementara pemerintah sebagai pemilik proyek sudah mencairkan anggaran kepada kontraktor PT BKP Rp32 miliar, terdiri dari uang muka Rp15 miliar, dan uang termyn Rp17 miliar.

Terjadinya putus kontrak, PPK bisa meng-klaim jaminan pelaksanaan proyek senilai Rp5 miliar dari Bank Bukopin. Sementara jaminan uang muka senilai Rp15 miliar yang sudah diambil PT BKP dengan penjamin PT Asuransi Rama Satria Wibawa, Jakarta sampai sekarang tidak bisa dicairkan PPK.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 (pasal 30 ayat 4 poin a, b, c): jaminan tidak bersyarat, mudah dicairkan dan waktu pencairan 14 hari kerja setelah disampaikan surat klaim oleh PPK.

Toleransi tak Biasa

Tidak mampunya PT BKP menjalankan pekerjaan proyek pembangunan RSUD Bukittinggi sesuai skedul, ada indikasi kelalaian sejak proses lelang dan pemberian toleransi yang berlebihan dari para pihak.

Menurut kajian LSM ARAK (Aliansi Rakyat Anti Korupsi) Bukittinggi, panitia lelang atau ULP diduga tidak melakukan evaluasi dan klarifikasi komprehensif terhadap kualifikasi dan kondisi PT BKP.

“Sebab, pada saat ikut lelang proyek pembangunan RSUD Bukittinggi, PT BKP juga sedang mengerjakan proyek pembangunan Rumah Dinas Bupati Kabupaten Sijunjung yang akhirnya juga bermasalah di mana proyek tersebut di-take-over rekanan lain untuk menyelesaikannya,” ujar Young Happy, Wakil Ketua LSM ARAK pada bakaba.co.

Selain itu, dalam tahun 2018/2019, PT BKP juga mengerjakan Tower A RSUD Koja Jakarta Utara, yang berakhir dengan pumutusan kontrak kerja. Proyek Tower A RSUD Koja bernilai Rp120 miliar itu hanya dikerjakan PT BKP sampai 67,07 persen setelah perpanjangan waktu.

“Pihak PPK dan KPA proyek RSUD Bukittinggi juga terkesan memberikan toleransi yang tidak biasa kepada PT BKP. Pertama dalam hal pencairan uang muka yang dijamin dengan perusahaan asuransi bukan bank umum. Kedua, pembayaran dua kali termyn tanpa melihat kinerja kontraktor secara ketat,” kata Young Happy.

Kerugian Negara

Persoalan proyek RSUD Kota Bukittinggi yang putus kontrak dengan kontraktor awal, PT BKP, masuk dalam pemeriksaan BPK-RI Sumbar. Dalam LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BKP Sumbar tahun keuangan Pemko Bukittinggi 2019, terkait proyek RSUD Bukittinggi menemukan terjadinya potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp12.074.676.488. Potensi kerugian negara itu karena tidak bisanya diklaim/dicairkan jaminan uang muka proyek RSUD yang diterima PT BKP dengan penjamin PT Asuransi Rama Satria Wibawa, Jakarta.

Menurut Wakil Ketua LSM ARAK Young Happy, sekarang dugaan atau indikasi korupsi proyek RSUD Bukittinggi sudah dalam penyelidikan Kejati Sumbar. “Kita mengapresiasi Kejati Sumbar, kiranya semua bisa diungkap dengan terang, siapa yang bertanggung jawab atas dugaan adanya kerugian keuangan negara tersebut. Selama ini proyek RSUD menarik perhatian masyarakat karena ada bau-bau yang tak sedap,” kata Young Happy.

Sementara itu, pembangunan RSUD Bukittinggi setelah putus kontrak dengan PT BKP, kembali dilanjutkan pengerjaannya. Berdasarkan lelang ulang, lanjutan proyek ditetapkan pemenang tender PT. Mitra Andalan Sakti. Lanjutan pembangunan dengan nilai kontrak Rp80.547.392.709,- dan selesai 18 Oktober 2020. Pada tanggal 18 Januari 2021, satu bulan sebelum Walikota Bukittinggi yang baru dilantik, RSUD Bukittinggi diresmikan Ramlan Nurmatias.

| afs | ken |

Next Post

FHUM Siap Turun Tangan Berantas 'Mafia Tanah'

Ulah mafia tanah membuat masyarakat kehilangan hak dan penguasaannya atas tanah yang mereka miliki

bakaba terkait

Exit mobile version