SAAT ini pemberitaan bencana dalam ruang publik sedang didominasi berita mengenai wabah penyakit virus Corona. World Health Organization (WHO) secara resmi menamai virus Corona yang pertama kali diidentifikasi di Cina pada 31 Desember 2019 itu dengan nama Covid-19: corona virus disease. Virus ini termasuk penyakit menular yang kemudian menjadi bencana wabah hampir seluruh negara-negara di dunia tidak terkecuali Indonesia.
Setidaknya hingga 1 April 2020, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai 1677 kasus dengan rincian: 1417 orang pasien dalam perawatan, 103 orang pasien sembuh dan 157 orang pasien meninggal dunia (www.covid19.go.id). Kondisi ini membuat Indonesia mengalokasikan banyak dana untuk mengatasi penyebaran virus tersebut.
Pemerintah menyiapkan dana hingga Rp 405 triliun tambahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menangani dan mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Anggaran tersebut diharapkan dapat mempercepat penanganan wabah Covid-19 di Indonesia. Bahkan untuk memberikan rasa aman dan jaminan kepada para pengambil kebijakan dalam bidang keuangan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (www.beritasatu.com).
Bahkan pemerintah, DPR dan KPU sepakat untuk menunda penyelenggaraan pilkada serentak 2020, dan menggunakan dana pilkada tersebut untuk menanggulangi wabah penyakit ini, dimana KPU menganggarkan total sekitar Rp 10 triliun untuk Pilkada Serentak 2020 lewat Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
Besarnya anggaran yang disiapkan untuk bencana Covid-19 perlu mendapat perhatian serius. Salah satu aspek penting yang harus dicegah dalam pengelolaan dana saat bencana yaitu munculnya tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana bencana.
Dalam situasi bencana dengan banyaknya alokasi dana dan bantuan tak lepas dari indikasi-indikasi penyimpangan yang terjadi berlandaskan kedaruratan dengan berbagai macam cara. Mulai dari penggelembungan data administrsai korban bencana, pemotongan dana bantuan oleh oknum tertentu, kompensasi atas jasa pengamanan, proyek fiktif hingga wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun infrastruktur.
Vonis Belum Maksimal
Beberapa kasus korupsi yang terkait bencana di Indonesia sudah berulang kali terjadi antara lain, pertama; korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias, Sumatera Utara tahun 2011. Korupsi merugikan negara sebesar Rp 3,7 miliar dari Rp 9,4 miliar yang dikucurkan untuk kepentingan penanggulangan bencana alam tersebut. Pelaku dalam kasus ini adalah eks Bupati Nias, Binahati Benedictus Baeha dan anggota DPRD Kabupaten Nias.
Kedua; kasus pungli bencana gempa bumi di Kota Mataram tahun 2019. Kasus pemerasan pungli ini bersumber dari dana proyek senilai Rp 4,2 miliar yang dianggarkan di APBD Perubahan tahun 2018. Dana itu untuk perbaikan 14 unit gedung SD dan SMP terdampak bencana yang dilakukan oleh mantan Anggota DPRD Mataram.
Ketiga; korupsi proyek penyediaan air minum di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah bencana saat tsunami tahun 2018. Kasus ini terungkap oleh KPK yang menggelar OTT terhadap delapan pejabat PUPR. Total suap yang diduga para pejabat Kementerian PUPR itu ialah Rp 5,3 miliar, USD 5 ribu dan SGD 22.100.
Keempat; korupsi rehabilitasi masjid akibat bencana gempa bumi di NTB tahun 2019. Kasus korupsi ini berasal dari dana bantuan sejumlah Rp 6 miliar yang bersumber dari APBN. Pelakunya ASN dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) NTB.
Namun belum pernah ada putusan perkara tindak pidana korupsi terkait pelaku korupsi penyalahgunaan dana bencana yang diadili dan diputus sebagai tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu (sebagai pemberatan). Seperti pelaku korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias yang hanya dituntut 8 tahun penjara. Namun, ketika kasusnya sudah masuk ke tingkat kasasi di MA, hukuman penjara Binahati menjadi 5 tahun penjara denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Pelaku kasus pungli bencana gempa bumi di Kota Mataram yang divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Pelaku korupsi proyek penyediaan air minum di Donggala yang divonis rata-rata 5 tahun penjara dan pelaku korupsi rehabilitasi masjid akibat bencana gempa bumi di NTB yang divonis selama 4 tahun penjara. Ini tentu dapat dipahami karena pemberlakuan pemberatan terhadap tindak pidana korupsi terkait bencana alam tersebut baru dapat diaplikasikan apabila perbuatan tersebut dilakukan pada waktu terjadi bencana alam nasional.
Ancaman Hukuman Mati
Dalam UU tindak pidana korupsi dan UU KPK hukuman maksimal untuk korupsi saat bencana diatur sangat keras bahkan hingga hukuman mati. Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati untuk korupsi bencana alam itu ada dalam Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Baca juga: Memberantas Korupsi Harus Ditangkapi, bukan Dihimbau
Kemudian dalam Ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Keadaan tertentu yang dimaksud sebagaimana ditulis dalam bagian penjelasannya UU adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Terjadinya korupsi saat bencana tentu tidak terlepas dari adanya faktor kesempatan serta faktor mental hingga budaya.
Jika kesempatan terbuka luas dan budaya tidak mencegah niat untuk korupsi maka korupsi akan mewabah laksana bencana itu sendiri sehingga pengawasan melekat dalam pencegahan korupsi saat bencana sudah seharusnya dilakukan.
Perlu perhatian dan pengawasan ditingkatkan agar korupsi dalam bencana Covid-19 tidak terjadi seperti bencana-bencana sebelumnya, karena wabah penyakit ini sudah dikategorikan oleh pemerintah sebagai bencana nasional dan ditetapkannya kedaruratan kesehatan masyarakat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020. Artinya, bagi pelaku korupsi dana bencana saat ini bisa dijatuhi hukuman maksimal yakni hukuman mati.
~ Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta/Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI) Email: helmichandrasy30@gmail.com
~Gambar oleh leo2014 dari Pixabay