bakaba.co | Bukittinggi | Dibatalkannya Sertifikat Hak Pakai (SHP) tanah lokasi proyek RSUD Bukittinggi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang membuat anggota DPRD Bukittinggi mengkuatirkan kelanjutan pengalokasian anggaran APBD 2020 untuk meneruskan pembangunan RSUD Bukittinggi yang juga sedang bermasalah karena putus kontrak. “Perencanaan penganggaran pembangunan daerah diwajibkan tidak ada permasalahan. Kalau ada permasalahan, atau tidak clear and clean, dengan terpaksa harus ditunda dulu pengalokasian anggarannya demi menghindarkan dampak hukum kemudian hari.”
Hal itu ditegaskan Asril, S.E., anggota DPRD Kota Bukittinggi kepada bakaba.co, Rabu, 20 November 2019, di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Bukittinggi.
Sebagaimana diberitakan bakaba.co sebelumnya (baca: PTUN Batalkan Sertifikat Tanah RSUD Kota Bukittinggi), Setelah keluarnya putusan PTUN Padang pada tanggal 30 Oktober 2019 dengan Nomor 19/G/2019/PTUN.PDG membatalkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 22/Kelurahan Kubu Gulai Bancah, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukittinggi dengan surat ukur no. 385/2017, tanggal 27 November 2017, luas 33.972 m2 atas nama Pemerintah Kota Bukittinggi.
Pembatalan Sertifikat Hak Pakai tanah RSUD Bukittinggi oleh PTUN Padang bermula dari gugatan Soni Effendi, warga Kubu Gulai Bancah terhadap Badan Pertanahan Negara (BPN) Kota Bukittinggi. Gugatan terkait kepemilikan tanah Soni Cs yang masuk ke dalam SHP Nomor 22 atas nama Pemerintah Kota Bukittinggi tersebut.
Tidak Teliti
Sejak tiga hari lalu, DPRD Bukittinggi membahas penyampaian Walikota terkait pengajuan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD 2020 Kota Bukittinggi.
Selain KUA-PPAS, Senin, 18 November 2019, DPRD Bukittinggi menyetujui Nota Kesepahaman dengan Pemko Bukittinggi tentang Pembangunan RSUD Bukittinggi dengan sistem tahun jamak (multiyear) dan bangunan Kantor DPRD Bukittinggi dengan sistem tahun jamak (multiyear).
Pembangunan RSUD seperti diketahui telah dilaksanakan dengan sistem tahun jamak: tahun 2018, 2019 dan 2020 dengan anggaran Rp102 miliar. Kontraktor RSUD PT Bangun Kharisma Prima, Jakarta, sebagai pelaksana proyek RSUD Bukittinggi tidak menyelesaikan proyek. Pengerjaan proyek RSUD tahun 2018 dan masuk tahun 2019, kontraktor hanya mengerjakan bobot proyek 26 persen dan diputus kontrak 17 Oktober 2019 setelah diberi Surat Peringatan 3 kali. Kontraktor telah menghabiskan dana sekitar Rp30 miliar.
Telah satu bulan sejak diputus kontrak, proyek RSUD sesuai aturan seharusnya diaudit, sampai 18 November, tim audit belum bekerja dan belum ada hasil audit proyek RSUD itu. Tetapi, Pemko sudah mengajukan ke DPRD untuk ditandatangani Nota Kesepahaman dilanjutkannya proyek RSUD. Tanpa melakukan penelitian ada atau tidaknya masalah, DPRD telah menandatangani nota kesepahaman melanjutkan proyek RSUD. Bahkan anggaran proyek RSUD juga sudah dimasukkan ke dalam KUA-PPAS APBD 2020 yang sedang dibahas.
Jadi Korban
Selain belum adanya hasil audit paska putus kontrak, sertifikat tanah RSUD Bukittinggi juga bermasalah dan telah dibatalkan PTUN Padang.
Menanggapi semua masalah terkait RSUD Bukittinggi itu, Asril, anggota Komisi II DPRD Bukittinggi mengatakan, hasil audit RSUD yang diputus kontrak setahu dia, belum ada. Sekarang muncul masalah terkait sertifikat tanah RSUD dibatalkan PTUN.
“Secara pribadi, saya tidak mau kawan-kawan yang ada di badan anggaran dewan jadi korban. Begitu juga SKPD maupun Walikota akan menjadi korban jika memaksakan diri agar proyek rumah sakit tetap dipaksakan berjalan,” kata Asril.
~ Fadhly Reza