Tentang Kota Pintar; Yang Sudah dan yang Baru akan ‘Pintar’

redaksi bakaba
Bagikan

bakaba.co, Bukittinggi – Pembicaraan soal kota pintar/cerdas, smart city belum begitu lama jadi trend. Secara tahun, masih bisa dihitung dengan jari tangan. Kota Surabaya tercatat sebagai pioner smart city kategori kota besar. Menyusul Kota Bandung, Depok, Tangerang dan Semarang. Untuk kota sedang; Balikpapan, Pontianak, Jogyakarta, Malang, dan Surakarta/Solo. Kategori kota kecil: Madiun, Malang, Mojokerto, Bontang, dan Salatiga.

Lima belas kota dengan tiga kategori, masing-masing 5 kota per kategori, tahun 2015 ditetapkan sebagai nomine smart city berdasarkan penelitian/survey Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) yang digagas Kompas, ITB didukung PT PGN. Bagaimana sekarang program kota pintar/cerdas itu? Kita coba ikuti satu kota; Bandung

Kota Bandung, di bawah Walikota Ridwan Kamil sejak dua tahun lalu telah memancang tekad menjadikan Bandung sebagai kota pintar. Di Sumbar, Bukittinggi dan kota Solok baru/akan melangkah untuk menapak ke rencana menjadi kota pintar. Bandung termasuk kota besar, berbanding terbalik dengan Bukittinggi dan Solok yang hanya kota kecil. Bandung memiliki luas 167,67 km2, sedang Bukittinggi hanya 25,5 km2, Solok 57,6 km2. Penduduk Bandung 2,6 juta jiwa lebih, Bukittinggi hanya dihuni 110-an ribu jiwa dan Kota Solok dihuni sekitar 60 ribu penduduk.

Penerapan Program
Bandung Smart City merupakan konsep pengelolaan kota dengan koneksi terintegrasi dalam berbagai bidang; pemerintahan, ekonomi, mobilitas, lingkungan, pelayanan publik, pendidikan dan lainnya. Melalui konsep ini akan memberikan dampak praktis dan efisiensi dalam pengelolaan dan menyelesaikan masalah kota.

Bandung sekarang sudah memasang 7.000 CCTV di berbagai titik, baik di ruang publik maupun di kantor/ruang instansi, yang terkoneksi ke Pusat Komando (Command Centre/CC). Berbagai informasi terdeteksi/terpantau secara langsung, mulai dari masalah lalulintas/titik macet, tumpukan sampah, jalan/trotoar yang bermasalah, titik banjir/genangan air waktu hujan, memantau proyek yang sedang dikerjakan dan masalah lain yang terjadi di ruang publik dan ruang/kantor instansi.

Bahkan dengan alat GPS tracker, yang terhubung secara digital dengan CC dapat diketahui posisi kendaraan dinas pemko, maupun data internal semua SKPD. Begitu juga laporan dan opini warga dari aplikasi dan media sosial, yang terkoneksi ke CC bisa diketahui.

Selain itu, sekarang program Bandung Smart City menyediakan akses internet gratis di 5.000 titik di ruang publik, taman-taman, mesjid dan tempat ibadah lainnya, kantor/instansi dan lokasi publik lain. Akses internet gratis di taman-taman kota membuat warga berkunjung ke taman sehingga fungsi taman sebagai ruang publik jadi bermanfaat.

Hasilnya, 70 persen masalah di Kota Bandung telah terselesaikan berkat memanfaatkan beragam aplikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi, TIK, yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.

“Dengan 300 lebih aplikasi kami, saya boleh klaim 70 persen masalah yang dulu tak bisa diakses dan dilihat, kini bisa terselesaikan,” kata Ridwan Kamil dalam eksposnya pada acara Indonesia Smart City Forum 2016 di Bandung, September lalu.

Berkaitan dengan pelayan warga, pemko Bandung juga meluncurkan aplikasi mobile. Namanya Panic Button. Program ini untuk memberikan rasa aman bagi warga kota. Cara kerja program; warga menginstall aplikasi melalui smartphone dan mengisi data pribadi/registrasi. Jika suatu waktu warga menghadapi masalah misalnya kena jambret, begal, atau keadaan darurat lainnya tinggal memencet tombol di aplikasi tiga kali.

Dengan cara itu, informasi akan tersambung ke Pusat Kendali dan pihak kepolisian atau petugas akan segera datang ke lokasi warga yang perlu bantuan. Aplikasi Panic Button praktis, lokasi warga yang butuh bantuan bisa diketahui petugas karena aplikasi tersebut sudah memberi petunjuk secara digital.

Langkah dan komitmen

Dalam memulai program Bandung Smart City, dalam berbagai publikasi Ridwan Kamil mengatakan, pada awalnya aparatur pemko dilatih agar paham dan memiliki orientasi pada teknologi informasi. Kemudian berinisiatif memulai open government (pemerintahan yang transparan). Semua SKPD, camat, lurah diharuskan memiliki akun medsos seperti Twitter. Antara pemerintah dan warga ada saluran komunikasi langsung, yang terbuka setiap saat.

Di Bandung semua dinas punya akun sosmed. Dulu warga yang komplain ke Walikota ribuan. Dengan sistem Lapor!, daya ‘problem solving’ terselesaikan 70 persen. Masalah dan keluhan warga terbagi ke SKPD sesuai yang dilaporkan warga.

Pada dasarnya, kata Ridwan, tiap perubahan bisa dilakukan selama ada kemauan (political will) dari tiap pemimpin daerah. “Cara saya 70 persen memaksa. Perubahan itu ada dari political will sehingga insha Allah siapa Walikotanya tak bergantung gaya pemimpin kotanya. Teknologi bisa menyelesaikan masalah rutin,” ungkap Ridwan Kamil dalam acara Indonesia Smart City Forum 2016.

Di hadapan para pemimpin kota yang hadir di acara yang sama, Ridwan Kamil buka kartu. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Pemko Bandung telah mengeluarkan dana sekitar Rp40 miliar untuk membuat 300 lebih aplikasi.

Indonesia Smart City Forum 2016.
dihadiri 812 peserta, 38 orang kepala daerah dan perwakilan dari 76 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Dalam forum itu, Ridwan Kamil sepakat untuk berbagi aplikasi untuk mempercepat dan mengefisienkan pengembangan smart city melalui repository nasional.

Dalam forum itu Walikota Bandung menandatangani nota kesepahaman berbagi aplikasi dan bersinergi untuk merealisasikan smart city dengan 22 kepala daerah di Indonesia. Hanya satu kota dari Sumbar yakni kota Solok. Kota lainnya; Palu, Sungai Penuh, Depok, Bontang, Mobagu, Banda Aceh, Bitung, Tegal, Palopo, Batam, Tangerang, Ternate, Langsa, Sabang, dan kota Jambi. Sementara kabupaten; Pandeglang, Balangan, Penajam Pasir Utara, Mandailing Natal, Musi Banyuasin, dan kabupaten Bangka Selatan.

Bukittinggi Berkreasi

Bukittinggi yang juga hadir dalam forum itu merasa percaya diri untuk menyiapkan konsep dan membuat aplikasi sendiri. Hal itu tercermin dari pernyataan Walikota di rapat DPRD Bukittinggi, 2 September 2016. Ramlan menyampaikan soal teknologi informasi. Sekarang sudah dibentuk Komite Teknologi  Informasi (KTI) yang bertugas mengkaji, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui KTI akan disiapkan ide-ide brilian dalam pelayanan masyarakat ke depan.

Teknologi informasi dan komunikasi yang telah disiapkan beberapa waktu lalu yang dikemudikan SDM Aparatur Sipil Negara yang cakap telah berhasil guna. “Melalui konsep kelurahan cyber, Kelurahan Gulai Bancah telah dinobatkan sebagai juara nasional,” ungkap Ramlan.

Ke depan, kata Ramlan, pemerintah Kota Bukittinggi akan mendorong penuh dan memberikan kesempatan yang lebih agar sumberdaya aparatur yang potensial dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi bisa berekplorasi, berkarya dan berdaya cipta yang tinggi dalam membuat Bukittinggi menjadi smart city terbaik di Indonesia.

Berbicara langkah kerja berkaitan menjadi Bukittinggi Kota Pintar, ternyata tim yang diamanahkan Walikota sudah bergerak kencang. Dalam pertemuan dengan pejabat Dinas Infokom, Pemko Bogor, 5 Desember 2016, Ketua Tim Bukittinggi Smart Creative, Monisfar mengatakan bahwa tim yang dikoordisikannya telah menghasilkan 220 aplikasi, 5 di antaranya sudah berbasis smartphone.

Jika benar, tentu saja sangat luar biasa. Kota Bandung butuh dana Rp40 miliar untuk membuat 300 aplikasi selama 2 tahun, Bukittinggi diam-diam sudah bergerak demikian gesit. @

»Asra F. Sabri

Next Post

Revisi Perda RTRW Bukittinggi : Meredam Sensitivitas dengan Kepentingan yang Lebih Besar

"Pemda perlu mempertimbangkan perubahan fungsi Tambuo dari kawasan fasilitas umum menjadi kawasan perdagangan dan jasa," kata Edison

bakaba terkait

Exit mobile version