bakaba.co | Padang | Niniak-mamak dari 40 Nagari AgamTuo, Agam, secara resmi menggugat terbitnya sertifikat tanah Pusat Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi. Pihak yang digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang adalah (penguasa) Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bukittinggi yang menerbitkan sertifikat.
“Kuat indikasi telah terjadi perbuatan melanggar hukum dalam penerbitan Sertifikat Hak Pakai terhadap tanah Pusat Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi. Tanah yang dimiliki masyarakat adat nagari-nagari di Agamtuo itu sertifikatnya diterbitkan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional yang diajukan Sekda Pemko Bukittinggi. Sertifikat Hak Pakai tanah Pasar Atas Bukittinggi itu demi hukum harus dibatalkan dan dikembalikan sebagai hak adat syarikat Agamtuo,” kata Didi Cahyadi Ningrat, S.H., Kuasa Hukum niniak mamak dari AgamTuo kepada bakaba.co, kemarin, 12 Agustus 2020.
Gugatan atas diterbitkan sertifikat tanah Pasar Atas Bukittinggi yang diajukan niniak mamak AgamTuo ke PTUN Padang sudah teregistrasi dengan nomor: 9/G/2020/PTUN.PDG.
Menurut informasi dari kuasa hukum niniak mamak AgamTuo, objek gugatan berupa sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 21 tahun 2018, lokasi di Benteng Pasar Atas Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat, seluas 18.740 M2. Sertifikat diterbitkan atas nama Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi. Dugaan perbuatan melawan hukum terjadi mulai dari proses penerbitan sertifikat tanah Pasar Atas Bukittinggi tersebut.
Proses Cepat
Seperti diketahui, tanggal 30 Oktober 2017 Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi terbakar. Tanah Pasar Atas Bukittinggi milik bersama Serikat 40 Nagari Luhak Agam-Tuo diklaim secara sepihak oleh Sekda Kota Bukittinggi Yuen Karnova bahwa Tanah Pasar Atas adalah tanah negara. Surat Pernyataan Nomor : 590.23/DPUPR-PTNH/I-2018, bertanggal 7 Januari 2018 menyatakan: bahwa pemerintah Kota Bukittinggi telah menguasai sebidang Tanah Negara yang berasal dari bekas Pasar Fonds sejak tahun 1945. Lokasi di Pasar Atas, Kelurahan Benteng Pasar Atas, Bukittinggi, luas tanah 18.740 m2. Surat Sekda itu diikuti Surat Keterangan Lurah Benteng Pasar Atas yang tanggalnya sama; 7 Januari 2018.
Surat Sekda dan Lurah itu yang dijadikan sebagai dasar mengajukan diterbitkannya sertifikat tanah Pasar Atas ke BPN Bukittinggi. Dalam waktu kurang satu bulan, Februari 2018, BPN menerbitkan sertifikat Pasar Atas Nomor 21 Tahun 2018. BPN Bukittinggi waktu sertifikat diterbitkan dipimpin Yuliando, SH., yang setelah pensiun akhir tahun 2018 diangkat sebagai Dewan Pengawas PDAM Bukittinggi oleh Walikota Bukittinggi.
Bebankan ke BPN
Gugatan niniak mamak AgamTuo atas penerbitan sertifikat tanah Pasar Atas ke PTUN Padang sudah dimulai dengan tahapan sidang pendahuluan. Dalam empat kali sidang pendahuluan, hakim menilai Pemda Kota Bukittinggi sebagai pihak yang perannya dominan dalam proses terbitnya sertifikat. Dalam proses awal, Pemda Bukittinggi melalui Sekda membuat pernyataan sepihak bahwa tanah Pasar Atas adalah tanah negara yang dikuasai pemerintah kota Bukittinggi sejak tahun 1945. Pernyataan sepihak Sekda itu tidak disertai bukti. Pernyataan Sekda itu yang dijadikan dasar penerbitan sertifikat oleh Kantor BPN Bukittinggi.
Sebagai pihak yang memiliki peran dominan, Pemda Bukittinggi berhak mempertahankan bukti dan argumen pernyataan Sekda dalam sidang formal PTUN Padang atas gugatan niniak mamak 40 Nagari Agamtuo. Tetapi, Pemda menolak menggunakan haknya.
“Ketika Pemda melepaskan hak itu, semua tanggung jawab dilimpahkan ke BPN. Jika nanti Sertifikat Tanah Pasar Atas diputuskan batal demi hukum oleh PTUN, itu artinya pihak BPN yang salah. Pemda Bukittinggi lepas tangan,” kata Didi Cahyadi Ningrat.
Baca juga: Kepala BPN: Soal Sertifikat Tanah Pasar Atas, itu Tanggung Jawab Sekda
Sejarah Tanah
Pasar Atas berupa Pasar Serikat Agam Tuo telah ada jauh sebelum kolonial Belanda masuk ke Nagari Kurai sebagai salah satu Nagari di Agam Tuo, Luhak Agam.
Bangunan Pasar Serikat berupa los-los yang diberi nama sesuai nama nagari-nagari di Luhak Agam. Jauh sebelum Belanda masuk ke Kurai/Bukittinggi, Pasar Serikat Agam Tuo sudah jadi sentral perekonomian di daerah Minangkabau daratan. Tahun 1784 di Pasar Serikat Agam Tuo, niniak-mamak Agam Tuo bermusyawarah menyepakati penggantian nama kawasan pasar yakni dari Bukik Kubangan Kabau atau Bukik Kandang Kabau menjadi Bukik nan Tatinggi. Tahun 1784, tepatnya tanggal 22 Desember, menjadi patokan dan dijadikan tanggal lahirnya nama Bukittinggi.
Dalam sejarahnya, usai Perang Padri (1821-1838) Belanda di Luhak Agam yang berbasis di Nagari Kurai mulai menata pemerintahannya. Pasar Serikat Agam dikelola Belanda, catatan sejarah mengungkapkan, hal itu terjadi melalui musyawarah niniak-mamak Agam Tuo. Tahun 1937, ada perjanjian niniak-mamak Agam Tuo dengan Belanda (Gemeente Fort de Kock = pemerintah Fort de Kock/Belanda) yang memberi izin Pasar Serikat Agam Tuo dikelola Gemeente Fort de Kock. Pemerintah Belanda membayar hasil pengelolaan Pasar Serikat kepada nagari-nagari di Agam Tuo melalui pengurus Komite Pasar/Sarikat Haq. Hal itu berlangsung sampai Belanda kalah. Kemudian Jepang berkuasa 2,5 tahun. Di setiap zaman penjajahan: Belanda, Jepang dan merdeka, komite Pasar Serikat yang ditunjuk mewakili 40 Nagari tetap ada, dan aktif. Tanah Pasar Serikat Nagari Agam Tuo tidak pernah berubah atau pindah kepemilikan atau dihibahkan ke pihak lain, baik pemerintah/negara; Belanda, Jepang maupun pemerintah Republik Indonesia.
Tahun 1972 Pasar Serikat Agam Tuo terbakar. Ketika dibangun di bawah koordinasi pemerintah kota, selesai tahun 1974/1975, status tanah tidak berubah; tetap sebagai tanah eks. Pasar Serikat Agam Tuo. Sampai tahun 2016, tanah Pasar Atas eks. Pasar Serikat Agam Tuo tidak tercatat di data pemerintah kota Bukittinggi sebagai aset kota, maupun aset pemerintah pusat/negara.
Pelanggaran Hukum
Dalam gugatan niniak-mamak atas terbitnya sertifikat tanah Pasar Atas, dalam posita dinyatakan, ada banyak aturan dan peraturan yang telah dilanggar tergugat/BPN. Pertama, perbuatan Tergugat/BPN bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) UUPA. Di mana nyata kepemilikan tanah Pasar atas adalah milik Penggugat sebagai kesatuan masyarakat komunal hukum adat 40 Nagari Agam Tuo, karena Hak atas tanah terjadi menurut hukum adat melalui pembukaan tanah dan lidah tanah (aanslibbing).
Kedua, perbuatan Tergugat/BPN bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Ketiga, perbuatan Tergugat bertentangan dengan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Di mana Tergugat, BPN menerima dan meneruskan Permohonan Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi untuk menerbitkan tanda hak atas Pasar Atas jelas-jelas merupakan perbuatan melawan hukum karena telah melanggar hak orang lain khususnya Penggugat.
Secara aturan, semestinya pendaftaran pertamakali atas Tanah Pasar Atas dapat merujuk sebagaimana Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa dalam rangka memperoleh kebenaran data yuridis bagi hak-hak yang baru dan untuk keperluan pendaftaran hak dibuktikan dengan (1) penetapan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan, (2) Asli akta PPAT yang membuat pemberian hak tersebut oleh pemegang Hak Milik kepada penerima hak yang bersangkutan.
Perbuatan Tergugat/BPN bertentangan dengan Pasal 82, 83, 84 dan Pasal 85 Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1997. Di mana, mestinya Tergugat sebelum menerbitkan sertifikat hak pakai Nomor 21 Tahun 2018 yang terletak di Benteng Pasar Atas Kecamatan Guguak Panjang Kota Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat seluas 18.740 M2 atas nama Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi, terlebih dahulu harus melakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis terhadap hak tanah yang berada di atas Pasar Atas tersebut sebagaimana Pasal 82, 83, 84 dan Pasal 85 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, dengan tujuan sebagaimana Keputusan Kepala BPN No.12 tahun 1992 untuk dapat menilai kebenaran pernyataan pemohon dan keterangan saksi-saksi dalam pembuktian hak.
Sebagai lembaga Negara yang mengurusi pertanahan Tergugat/BPN semestinya melihat kondisi dan kebudayaan masyarakat Minangkabau. Semestinya tidak serta merta menerbitkan Sertifikat Hak Pakai No. 21 Tahun 2018 hanya berdasarkan permohonan Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi semata.
BPN atau tergugat seharusnya mencari keterangan dari masyarakat yang berada di sekitar bidang tanah Pasar Atas, untuk mengetahui bukti kepemilikan yang sebenarnya dari tanah Pasar Atas. Juga meminta keterangan kepada masyarakat sekitar tanah Pasar Atas.
Perbuatan Tergugat/BPN selain bertentangan dengan undang-undang yang berlaku juga telah bertentangan dengan asas hukum pemerintahan yang baik di antarannya; menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme meliputi: Asas Kepastian Hukum, yakni asas dalam negara hukum mengutamakan landasan peraturan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
Berdasarkan dalil-dalil diajukan, niniak mamak AgamTuo dengan pengacara Didi Cahyadi Ningrat, SH., meminta majelis hakim memutus perkara aquo: 1. Menerima gugatan Penggugat seluruhnya. 2. Menyatakan Perbuatan Tergugat yang telah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai No. 021 Tahun 2018 terletak di Benteng Pasar Atas Kecamatan Guguak Panjang Kota Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat seluas 18.740 M2 atas nama Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi adalah Perbuatan Melawan Hukum;
3. Menyatakan Sertifikat Hak Pakai No. 21 Tahun 2018 terletak di Benteng Pasar Atas Guguak Panjang Bukittinggi seluas 18.740 M2 tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang masih atas nama Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi.
4. Menyatakan tanah Pasar Atas seluas 18.740 M adalah tanah ulayat milik 40 Nagari Agam Tuo yang hasil dari pengeloalannya diperuntukkan sebagian kepada nagari-nagari yang berada di dalam lareh Agam Tuo;
Menghukum Tergugat untuk menyerahkan kembali kepemilikan hak kepada Penggugat dan memperoses sertifikat hak milik atas nama Penggugat.
~ aFS/bakaba