Pandemi ‘Kusta Batin’

redaksi bakaba
Bagikan

Fir’aun mengumpulkan para pembesar istana. Masing-masing mereka berlomba mengambil muka di hadapan Fir’aun karena takut disiksa.

batin - mesjid - Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay
Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay
Bagikan
Buya Irwandi

‘Kusta Batin’Samiri, seorang aktor intelektual yang menyesatkan bangsa Israel dengan cara membuatkan patung anak sapi dari emas agar mereka sembah. Sebenarnya mereka mengetahui bahwa perbuatannya itu salah (QS.20, Thaahaa: 96). Aksi itu dilakukannya hanya untuk mereguk kepuasan sesaat, dan memenuhi hasrat senang disanjung.

Itulah contoh penyakit ‘kusta’ yang tumbuh di dalam jiwa. Makanya, Nabi Musa ‘Alaihissalam memberitahu Samiri: Pergilah kau! Sebenarnya dalam hidup (di dunia) engkau (hanya dapat) mengatakan; Janganlah menyentuhku (maksudnya Samiri hidup terpencil sebagai hukuman di dunia). Dan engkau pasti mendapat (hukuman) yang telah dijanjikan di akhirat yang tidak akan dapat engkau hindari (QS.20, Thaahaa: 97).

Para pejabat di zaman Fir’aun juga ikut didera ‘kusta batin’ ini. Pasca kekalahan para penyihir Fir’aun melawan Nabi Musa ‘Alaihissalam, lalu diikuti dengan berimannya para penyihir tersebut, Fir’aun mengumpulkan para pembesar istana. Masing-masing mereka berlomba mengambil muka di hadapan Fir’aun karena takut disiksa. Di antara mereka ada yang berkata seperti dinukilkan al-Qur’an: Apakah kita akan membiarkan saja Musa meninggalkan tuhanmu? Sesungguhnya keadaan seperti ini sangat berbahaya jika dibiarkan (QS,7, al-A’raf:127).

Pernyataan mereka tak hanya mengisyaratkan melemahnya wibawa Fir’aun di hadapan para pendukungnya dengan mengakui bahwa ia hanya manusia biasa, bukan tuhan, tapi juga menghembuskan aroma kemunafikan yang sangat menyengat. Itulah sebabnya mereka mengatakan, …tuhan kamu…, padahal sebelumnya Fir’aun telah menepuk dada sebagai tuhan (QS.79,an-Nazi’at:24).

Pertahanan Diri Kaum Munafik

Tak seragam antara kata dan laku, lalu puas dengan simbol-simbol kesalehan adalah penyakit batin yang rentan menimpa umat beragama, tak kecuali umat Islam. Allah Ta’ala dalam wahyu-Nya menyebut mereka sebagai manusia munafik. Mereka memproklamirkan diri sebagai orang yang beriman padahal hanya sebagai topeng belaka (QS.2, al Baqarah:8).

Cukup banyak orang munafik yang dengan gembira memperdayakan Tuhan dan orang-orang beriman. Akan tetapi, tak seorang pun yang mereka tipu, kecuali diri mereka sendiri (QS. 2, al Baqarah:9).

Selain penyakit ‘kusta’ yang menjijikkan bagi jiwa, kemunafikan adalah pengkhianatan atas nurani kebenaran. Pandemi ‘kusta’ batin ini membuat pengidapnya memiliki kepribadian rapuh dan tak punya prinsip hidup. Mereka ragu antara iman dan kufur, malas beribadah, menjadi provokator, takut kejelekannya terkuak, oportunis dan pengecut.

Baca juga : Jiwa-Jiwa yang Kembali

Mereka juga tak mampu berpikir sehat dan membedakan antara benar dan salah. Karena karakter kepribadiannya itulah orang-orang munafik memiliki cara untuk melindungi diri dengan upaya pertahanan diri yang disebut perilaku defensif.

Tafsir al-Qur’an dari sisi ilmu jiwa menunjukkan tiga bentuk cara pertahanan diri orang-orang munafik, yaitu proyeksi, rasionalisasi (pembenaran), dan pembentukan reaksi.

Proyeksi adalah cara pertahanan diri dengan cara memproyeksikan (mengalihkan atau memindahkan) kondisi jiwanya dan kesalahan-kesalahannya pada orang lain (QS.63, al-Munafiqun:4). Kepribadian munafiqun menyembunyikan permusuhannya pada orang lain, lalu menduga seakan-akan orang lain yang memusuhinya.

Rasionalisasi, jenis kedua dari pertahanan diri orang munafik, dilakukan dengan berusaha mencari pembenaran atas perbuatannya, meskipun tindakannya itu salah. Apabila mereka membuat kerusakan di muka bumi, mereka mengatakan bermaksud untuk melakukan perbaikan (QS.2, al-Baqarah:11-12; QS.4,an-Nisa’:61-63).

Pornografi, misalnya, yang secara nyata telah merusak jiwa dan menyeret manusia berbuat nista masih dibela sebagai produk seni bernilai tinggi. Ketika ia melanggar hukum, beragam cara dilakukannya untuk menyelamatkan diri meski dengan berbohong dan sumpah palsu.

Ketiga, pembentukan reaksi, adalah kepribadian orang-orang munafik dengan menampilkan perilaku yang berlawanan dengan perilaku lain yang disembunyikan. Mereka menampakkan sikap sopan-santun, dan menghormati orang lain padahal mereka sangat membencinya (QS.2, al-Baqarah:204-205; QS.63, al-Munafiqun:4).

Kesopanan, dan sikap hormat yang mereka tampilkan hanya kamuflase, dan tuturan manis yang diucapkannya tak lebih hiasan bibir belaka.

Kemunafikan adalah penyakit ‘kusta’ batin yang melahirkan gangguan perilaku. Ciri yang paling mendasar adalah kebimbangannya antara keimanan dan kekafiran serta ketakmampuannya membuat sikap yang tegas dan jelas berkaitan dengan keyakinan tauhid.

Barangkali mereka secara fisik berpenampilan gagah, tegap, dan kuat, tapi batinnya keropos, gelisah, dan tak mampu menikmati hidup. Dirinya dapat tersenyum, tapi batinnya menjerit. Puncaknya adalah keterkuncian (khatam) dan kematian (mayt) kalbu.

~ Penulis, Dosen IAIN Bukittinggi,  E-Mail: irwandimalin@gmail.com
~ Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay 

Next Post

Orang Minang Persoalkan Status FB Ade Armando

"Beberapa lembaga adat, niniak mamak dan pribadi tokoh Minang tidak bisa menerima status, pernyataan di akun facebook tersebut. Kebebasan akademik dihargai, tapi masalah SARA tidak bisa dibiarkan, itu diatur dalam UUD

bakaba terkait

Exit mobile version