Dilema Pewarisan ABS-SBK di Tengah Marginalisasi Penghulu

redaksi bakaba
Bagikan

Orang Minangkabau yang mengkhianati orang kampungnya sendiri tidak terhitung jumlahnya. Mereka adalah orang yang ingin agar budaya Minangkabau dihilangkan dan diganti dengan budaya lain, tanpa menimbang sisi negatif dan bahaya dari sikap dan keinginannya itu.

Gambar oleh Alvi EKo Pratama dari Pixabay
Gambar oleh Alvi EKo Pratama dari Pixabay
Bagikan

~ Dr. Emeraldy Chatra

PENGHULU. Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi ka Kitabullah atau ABS-SBK merupakan brand dari sebuah konsepsi filosofis yang menjadi landasan bagi budaya Minangkabau atau budaya Melayu pada umumnya (Takari, 2015). Meskipun brand yang sama juga digunakan oleh orang Melayu Riau (Darussamin, 2014), Melayu Jambi (Rahima, 2014), Kerinci (Tago, 2013), Melayu Asahan (Mailin, 2017) dan Rejang (Devi, 2016) dari penelusuran saya orang Minangkabau yang paling setia dan sering menyebutnya baik dalam tulisan maupun pernyataan verbal. Agaknya yang paling risau ABS-SBK menghilang dari kebudayaannya juga orang Minangkabau. Wallahu’alam.

Kerisauan orang Minangkabau akan kehilangan basis budayanya di tengah kontestasi budaya global vs lokal tentu dapat dipahami dengan akal sehat. Kerisauan yang sama juga terjadi di kalangan etnis lain di Indonesia. Berbagai etnis merasakan ancaman yang sama: budaya mereka tergerus oleh perubahan zaman. Anak-anak muda mereka tidak lagi tertarik untuk mewarisi budaya leluhur, bahkan banyak dari generasi millennials maupun generasi Z yang tidak mau lagi menggunakan bahasa ibu mereka (Chatra, 2019).

Hilangnya ABS-SBK (semoga tidak pernah terjadi) dari Minangkabau tidak hanya sekedar terhapusnya simbol budaya. Tapi akan menimbulkan serangkaian perubahan yang merusak tata kehidupan orang Minangkabau. Bila ABS-SBK sudah tidak ada, adat matrilineal juga terlenda. Eksistensi penghulu sebagai pemuka adat ikut runtuh. Selanjutnya tanah orang Minangkabau yang sejak dulu diwariskan melalui jalur ibu akan berpindah kepemilikan dengan mudah ke tangan suku bangsa lain. Di balik itu ancaman kristenisasi akan semakin deras dan nyata. Oleh sebab itu maka wajarlah orang Minangkabau sangat kuatir ABS-SBK itu tak dapat dipertahankan.

Misi Penjajahan Terus Berlangsung

Ancaman terbesar yang dihadapi masyarakat Minangkabau berasal dari pihak eksternal yang tak pernah menghentikan misi penjajahannya. Namun misi itu kini dijalankan dengan cara yang halus dan tidak terasa. Sebabnya, misi penjajahan dilakukan melalui aktivitas kebudayaan dan politik, bukan secara fisik.

Penjajahan negara atas negara atau oleh satu kelompok atas kelompok lain sudah jadi bagian dari sejarah peradaban manusia. Praktik penjajahan itu terjadi sejak zaman dulu kala hingga hari ini, sehingga wacana penjajahan tetap relevan disajikan.

Penjajahan zaman lampau dimulai dari kehausan akan kekuasaan yang diwujudkan ke dalam penguasaan alat-alat perang dan penyerbuan ke daerah target. Alat-alat perang itu tentara, hewan yang dijadikan kendaraan, senjata dan logistik. Penjajahan dimulai dengan penyerangan yang cenderung brutal dan menimbulkan kerusakan secara fisik.

Pada masa itu penjajahan yang menjadi simbol supremasi sebuah kelompok atau negara membutuhkan modal sangat besar. Kalau penduduk daerah target memberikan perlawanan sengit maka penyerang harus siap-siap mengeluarkan biaya perang lebih banyak. Jalan lain, terpaksa mundur sebagai pecundang.

Kekalahan dalam sebuah misi penaklukan dapat mengundang petaka dalam negeri pihak penyerang. Sebab, sumber daya sudah dihabiskan dalam perang yang gagal. Tidak mudah memulihkannya.

Teori penaklukan dan penjajahan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bila sebelumnya penaklukan dilakukan tanpa kerjasama dengan para pengkhianat, periode berikutnya memanfaatkan jasa orang-orang yang rela mengkhianati saudaranya sendiri. Penaklukan Abbasiyah oleh tentara Mongol menjadi contoh betapa buruknya akibat pengkhianatan.

Kerjasama dengan para pengkhianat untuk misi penjajahan masih berjalan hingga sekarang. Di setiap negara selalu saja ada orang yang lebih mengutamakan uang dan kekuasaan daripada kesetiaan pada bangsanya. Dengan segepok uang atau janji kekuasaan dan perlindungan mereka mengatur jalan masuk bagi kaum penakluk.

Orang Minangkabau yang mengkhianati orang kampungnya sendiri tidak terhitung jumlahnya. Mereka adalah orang yang ingin agar budaya Minangkabau dihilangkan dan diganti dengan budaya lain, tanpa menimbang sisi negatif dan bahaya dari sikap dan keinginannya itu. Tapi gerakan mereka tidak efektif karena di antara mereka sendiri terjadi sengketa pandangan.

Namun sekarang pengkhianatan beberapa individu saja kurang menarik dan dianggap kurang efisien oleh para penjajah. Para pengkhianat itu perlu dikembangbiakan, populasinya harus diperbanyak. Bila perlu seluruh penduduk negeri yang jadi target beramai-ramai mengkhianati negerinya sendiri, merelakan diri mereka menjadi hamba sahaya kaum penakluk.

Untuk membiakkan para pengkhianat itulah kemudian dikembangkan metode penaklukan secara kultural. Metode baru ini membunuh seluruh potensi perlawanan, menumbuhkan kerelaan untuk diinjak, bahkan sanggup membuat penduduk di negeri target merasakan penindasan sebagai sebuah keniscayaan bahkan kenikmatan.

Penaklukan secara kultural dilakukan melalui tiga jalur: 1) kegiatan ekonomi, 2) pendidikan dan 3) media. Penjajahan dengan senjata sudah tidak jadi prioritas kecuali untuk memberi kejutan-kejutan jangka pendek. Sebab, selain terlalu mahal, penjajahan dengan senjata berpotensi menyuburkan dendam dan memicu serangan balik yang tak kalah kejamnya. Melalui lembaga keuangan, pendidikan dan media kesadaran kultural orang dapat dikendalikan.

Untuk Indonesia, kaum penjajah Belanda dan Inggris-lah yang mengubah kultur ekonomi pribumi yang masih subsistem dan belum bersentuhan dengan ekonomi uang. Belanda dan Inggris juga memperkenalkan pemikiran kapitalistik melalui pembukaan perkebunan-perkebunan raksasa di Jawa dan Sumatra. Mereka pun memperkenalkan sistem perbankan dan ekonomi ribawi.

Kaum penjajah yang datang dari Barat mendirikan sekolah-sekolah yang dapat dimasuki anak-anak pribumi. Di sekolah itu materi ajar dan metode belajar Barat diperkenalkan dengan misi utama mencuci otak anak didik yang bukan dari Barat sehingga mereka akhirnya menyanjung-nyanjung bangsa penjajah. Praktik seperti ini dilakoni Belanda di Indonesia, Inggris di India dan Spanyol di Filipina.

Kekaguman kepada bangsa penjajah akhirnya menetap dalam pikiran anak-anak pribumi yang bersekolah. Memang sebagian kecil dari mereka kemudian ‘terlalu banyak tahu’ dan berbalik membenci dan mempelopori gerakan kemerdekaan.

Hingga sekarang ketiga jalur tadi masih dimainkan pihak Barat untuk menaklukan bangsa-bangsa lain. Sekolah dan universitas tetap mereka cengkeram agar menghasilkan pengikut-pengikut dan konsumen pikiran Barat. Oleh sebab itu tidak perlu heran kalau taring bangsa Barat –seperti penggunaan referensi, metode pengajaran, metode riset– tetap tertancap dalam institusi pendidikan tinggi Indonesia.

Marginalisasi Peran Penghulu

Dalam konteks perluasan hegemoni negara-negara imperialis yang dibungkus dengan istilah globalisasi, budaya lokal adalah musuh yang mesti dihilangkan secara permanen. Apalagi budaya yang berkelindan erat dengan ajaran Islam. Islam menjadi momok yang terus difitnah, dipinggirkan karena dianggap menghalangi pergerakan misi negara-negara imperialis menguasai sumber daya alam yang masih tersedia di daerah yang ditempati kaum muslim.

Marginalisasi penghulu di Minangkabau sudah terjadi sejak zaman Belanda –masa awal terjadinya globalisasi– ditandai dengan fenomena ‘penghulu bersurat’. Ide ‘penghulu bersurat’ muncul karena sikap non-kooperatif para penghulu yang kebanyakan telah bersekutu dengan ‘kaum surau’ (yang disebut Belanda sebagai ‘kaum padri’).

Para ‘penghulu bersurat’ yang sejatinya adalah bentukan Belanda dijadikan pintu masuk ke kalangan anak nagari, sekaligus mendegradasi wibawa penghulu di depan kemenakan. Para ‘penghulu bersurat’ diberi kehidupan yang mewah dan gaji besar, sementara penghulu asli hidup bersahaja. Kesederhanaan hidup mereka menyebabkan kemenakan lebih bersimpati kepada ‘penghulu bersurat’ dan sebagian penghulu asli kemudian ingin pula menjadi ‘penghulu bersurat’.

Di samping itu para ‘penghulu bersurat’ juga jadi instrumen membentuk tata pemerintahan baru yang berbeda dengan struktur pemerintahan tradisional Minangkabau. Struktur pemerintahan baru yang bersifat supra-nagari seperti regen, demang, dan kalarasan dengan mudah terbentuk karena dukungan para ‘penghulu bersurat’ atau para penghulu asli yang belakangan terperangkap oleh taktik Belanda. Para penghulu pendukung Belanda itu diberi kedudukan sebagai Angku Kapalo Lareh, Angku Damang dan berbagai kedudukan lain yang menyokong struktur pemerintahan baru.

Melalui para ‘penghulu bersurat’ pulalah pemerintah kolonial Belanda dapat mengembangkan sistem perekonomian yang sekarang sering disebut sistem ekonomi ribawi. Belanda memperkenalkan sistem perbankan, yang secara perlahan membiasakan masyarakat membayar bunga bank (riba) untuk setiap peminjaman. Masyarakat Minangkabau tidak menyadari bahwa mereka sudah menjadi pendukung sistem ekonomi ribawi sehingga perkembangan sistem ekonomi Islam menjadi terhenti.

Riba sejatinya adalah alat untuk menaklukan bangsa-bangsa. Pemerintah Belanda yang banyak di antaranya orang Yahudi sangat memahami itu dan menerapkannya di tengah masyarakat Minangkabau. Sejak Belanda mendirikan bank di Padang reaksi menolak dari masyarakat Minangkabau terhadap sistem ekonomi ribawi nyaris tidak pernah terdengar. Alih-alih menolak, orang Minangkabau sendiri kemudian mengadopsi sistem ekonomi ribawi dengan ikut serta mendirikan bank.

Ekonomi uang, riba, lembaga perbankan selanjutnya memberi energi kepada masyarakat untuk terjun kepada kegiatan perniagaan. Mereka lebih mudah mendapatkan modal usaha. Para saudagar kaya pun muncul sebagai kekuatan baru yang menyaingi wibawa penghulu yang tetap hidup bersahaja.

Munculnya saudagar-saudagar kaya yang dapat tampil di depan publik dengan atribut kemewahan menyebabkan pamor para penghulu semakin surut. Budaya materialisme makin kokoh. Sebagian penghulu ikut melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan dan meninggalkan tugas pokoknya sebagai pemimpin bagi kemenakan. Masalah keharaman riba yang bersifat qat’i dalam ajaran Islam pun nyaris tidak muncul sebagai wacana penting di tengah masyarakat Minangkabau sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.

Proses marginalisasi penghulu terus berlanjut hingga sekarang. Banyaknya kemenakan yang bersekolah tinggi merupakan deraan yang kesekian yang diterima para penghulu. Belum lagi struktur pemerintahan Republik Indonesia yang didukung oleh sistem birokrasi rasional, yang nyaris tidak memberi ruang kepada penghulu untuk sepenuhnya menjalankan fungsinya di tengah masyarakat.

Mungkinkah Wibawa Penghulu Dikembalikan?

Sekarang, ketika masyarakat Minangkabau menghadapi berbagai masalah sosial, diantaranya konflik tanah, kemiskinan, peredaran narkoba, LGBT, perceraian, perzinahan dll., keberadaan penghulu justru dipertanyakan. Padahal selama lebih dari satu abad marginalisasi penghulu terus dilakukan agar hegemoni budaya global dapat bertahan dengan aman.

Pertanyaan yang bernada menuntut kehadiran penghulu adat di tengah krisis sosial dan moral masyarakat sekarang ini dapat diartikan sebagai ekspresi ketidakberdayaan. Masyarakat tak mampu lagi mengatasi masalah mereka karena tidak mempunyai pemimpin. Aparat birokrasi pemerintah lebih banyak menjalankan peranan administratif ketimbang menjadi pemimpin yang sebenarnya di tengah masyarakat. Sementara yang dibutuhkan masyarakat adalah pemimpin yang benar-benar hadir di tengah mereka.

Oleh sebab itu, memulihkan wibawa penghulu adat adalah kebutuhan real masyarakat Minangkabau, bukan karena romantisme masa lalu. Masyarakat yang tidak memiliki pemimpin tidak mungkin mengakumulasikan kekuatan mereka untuk keluar dari berbagai masalah.

Ketika wibawa penghulu hendak dipulihkan, bagaimana jalannya? Dari mana dimulai?

Pemulihan wibawa penghulu sebagai pemimpin sejati masyarakat Minangkabau tentu membutuhkan energi yang sangat besar. Marginalisasi yang telah berlangsung sangat lama kemungkinan sudah menumbuhkan rasa pesimis dan tidak berdaya di kalangan penghulu sendiri. Padahal, perasaan tidak berdaya itu harus disingkirkan, sebagai salah satu persyaratan untuk melakukan lompatan besar ke depan. Dengan kata lain, para penghulu harus haqqul yakin bahwa mereka dapat kembali eksis sebagai pemimpin sejati masyarakat Minangkabau. Perasaan yakin adalah sumber energi yang utama sekali.

Keyakinan berikutnya tertuju kepada kekuatan kolektif. Para penghulu harus yakin pada kekuatan bersama. Memulihkan wibawa penghulu tidak dapat dilakukan secara individual dan tidak pula dapat dicapai tanpa melibatkan kemenakan. Penghulu dan kemenakan harus menjadi kesatuan yang bergerak ke arah yang sama. Namun di titik ini sangat besar kemungkinan terjadi ketidakyakinan, sebab meraih dukungan para kemenakan sangat tidak mudah. Meskipun mereka membutuhkan pemimpin untuk memecahkan masalah yang dihadapi belum tentu pilihan mereka jatuh kepada penghulu. Dalam kondisi seperti ini para penghulu harus bersedia tampil dengan atribut dan image (citra) yang disukai kemenakan.

Kalau penghulu diibaratkan sebagai gerbong kereta api yang sarat beban, para penghulu tidak mungkin bergerak tanpa adanya lokomotif. Siapa lokomotif? Fungsi lokomotif dimainkan oleh sekelompok kecil orang yang bergerak dengan keyakinan, semangat dan energi besar, melakukan kegiatan persuasif, kampanye, dan berbagai macam bentuk advokasi. Gerakan mereka terencana dan terukur. Boleh jadi mereka bukanlah para penghulu, tapi bekerja dengan komitmen besar untuk menegakkan kembali wibawa penghulu di tengah masyarakat.

Dalam banyak gerakan sosial, isu ekonomi biasanya berada pada posisi sentral, sebab ekonomi adalah masalah seluruh manusia dan mempunyai magnet sangat kuat. Oleh sebab itu lokomotif pemulihan wibawa penghulu disarankan agar mulai dari isu-isu ekonomi yang membelit masyarakat. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa kemajuan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan ABS-SBK serta kepemimpinan, dan karakter kepemimpinan yang mampu mendorong kemajuan ekonomi sebagian besar terdapat dalam institusi penghulu. Tentu tidak mudah bagi masyarakat yang kritis untuk menerima logika demikian. Oleh sebab itu lokomotif gerakan harus pula berusaha membuatnya menjadi logis dengan berbagai teknik propaganda.

Penutup

Mengembalikan wibawa penghulu atau para datuk-datuk di Minangkabau bukan tidak mungkin. Sepanjang terdapat keyakinan yang besar, adanya sekelompok orang yang berperan sebagai lokomotif dan gerakan-gerakan yang sistematis serta terukur, insyaAllah harapan itu akan tercapai.

Namun sebagus apapun strategi yang dimainkan, tanpa kesabaran yang tinggi semuanya akan berakhir sia-sia. Kita perlu menyadari bahwa gerakan kaum imperialis menguasai dunia sekarang ini sudah berjalan ribuan tahun. Mereka sudah mengurak langkah sejak zaman Nabi Ibrahim. Mereka bergerak dengan kesabaran luar biasa, tak tergoyahkan oleh berbagai tantangan yang mematikan.

Kita pun harusnya bersikap sabar seperti mereka.*

*Penulis, Dosen FISIP Universitas Andalas
**Gambar oleh Alvi EKo Pratama dari Pixabay

Next Post

Jabatan Publik Harus Siap Dikritik

Sayangnya tidak banyak pemimpin yang siap diawasi dan diingatkan, malah sebaliknya memusuhi, membenci, menekan dan menyingkirkan orang-orang yang sering mengawasi dan mengingatkannya.

bakaba terkait

Exit mobile version