Beberapa tahun Majapahit tidak mempunyai Mahapatih. Berdasarkan pertimbangan Dyah Gitarya timbul pendapat dari Prabu Hayam Wuruk untuk memanggil Dewa Mantri Pu Aditya agar kembali ke Majapahit. Pu Aditya diharapkan bersedia diangkat menjadi Mahapatih.
Mendengar berita itu Pu Tading berangkat ke Istana Wengker dan melaporkan ke Patih Mataun. Patih Mataun adalah Patih Wengker di mana rajanya ialah Wijayarajasa, suami Dyah Wiyat. Atas laporan Pu Tading, Wijayarajasa segera melakukan pertemuan kilat di kepatihan Wengker. Pertemuan itu hanya dihadiri tiga orang.
Pu Tading melaporkan, melalui Mataun bahwa Wijayarajasa telah berjasa besar kepada dirinya. Wijayarajasa telah berusaha mengangkatnya menjadi Senopati (Kepala) admistrasi Majapahit yang bertugas mengatur surat-surat masuk dan keluar. Segera akan ada surat keluar untuk Dewa Menteri Aditya. Selama ini dia telah berusaha memutus hubungan Pu Aditya dengan Majapahit.
Wijayarajasa bertanya, bagaimana dengan surat tersebut. Mataun minta pendapat Tading dan dijawab bahwa dia akan tahu siapa pengantar surat tersebut.
Pada tahun 1363 M, utusan Majapahit membawa surat khusus yang harus disampaikan dengan tangan sendiri kepada Pu Aditya ke Pagaruyung. Surat bersama pembawanya diatur Pu Tading dan memerintahkan agar surat itu dikirim ke dasar kali Brantas. Surat itu tidak akan sampai kepada Pu Adtya. Mataun memuji kerja Tading. Wijayarajasa menyetujui tindakan tersebut.
Tading juga menyampaikan, sudah tiga surat dari Aditya tidak disampaikan kepada Diyah Gitarya. Surat pertama berisi laporan keberhasilan Aditya menaklukkan Palembang. Surat kedua laporan keberhasilan Aditya menaklukkan Minangkabau, Kuantan, Kuntu dan Aru.
Semua surat itu diberikan Pu Tading kepada Patih. Dia takut kalau Aditya mengetahui surat itu ada di Wengker ini, tidak sampai kepada alamatnya, dia bisa dibunuh oleh Aditya..
Mataun menjelaskan, semua surat itu aman di tangannya, tidak seorangpun yang akan tahu. “Engkau jalankan sajalah tugasmu dengan baik, kalau tidak kamu akan dipecat dari jabatan itu,” kata Patih Mataun kepada Pu Tading.
Memperkuat Kekeluargaan
Dalam kondisi tanpa Mahapatih, Dyah Gitarya Tribuana Tungga Dewi mengusulkan kepada Hayam Wuruk untuk mengokohkan hubungan kekeluargaan Majapahit diadakan perkawinan agung antar keluarga besar kerajaan Majapahit.
Sebagaimana diketahui, Gitarya mempunyai anak dua orang yakni Hayam Wuruk dan Dyah Nartaja. Sementara Diyah Wiyat mempunyai anak yakni Dyah Indu Dewi dan seorang anak angkat bernama Sri Sudewi yang sekarang posisinya sebagai parameswari.
Hayam Wuruk dengan parameswari Sri Sudewi mempunyai anak Dyah Kusuma Wardhani. Dengan selir, Hayam Wuruk mempunyai anak Raden Wirabhumi. Sementara Dyah Nartaja mempunyai tiga anak; Raden Wikrama Wardhana, Dyah Naga Wardhani dan Dyah Surawardhani.
Perkawinan itu akhirnya berlangsung. Raden Wikrama Wardhana dikawinkan dengan Kusuma Wardhani. Raden Wira Bhumi dikawinkan dengan Dyah Naga Wardhani. Raden Sumirat dikawinkan dengan Dyah Sura Wardhani.
Acara perkawinan Agung dilaksanakan tahun 1371 M dengan arak-arakan pejabat tinggi negara yang diikuti oleh masyarakat dari istana Bubat ke keraton Majapahit. Di keraton Majapahit seluruh tamu di jamu oleh Negara.
Hayam Wuruk dari atas Dampar Kencana mengeluarkan pengumuman sebagai berikut; Dyah Kusuma Wardhani diangkat sebagai Bhre Kabalan. Sri Wikrama Wardhana diangkat sebagai Bhre Mataram. Dyah Nagara Wardani diangkat sebagai Bhre Wirabhumi. Suaminya Raden Wirabumi diangkat sebagai pendamping isterinya di wilayah Wirabhumi. Dyah Sura Wardhani diangkat sebagai Bhre Pawanawan. Sri Sumirat diangkat sebagai Bhre Pandansalas. Gajah Enggon diangkat sebagai Maha Patih Majapahit.
Selesai pemberian hadiah wilayah dan pengangkatan Gajah Enggon diadakan acara makan bersama. Habis makan acara selesai, seluruh rakyat di Trowulan terhibur semuanya.
~ Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
~ Editor: Asraferi Sabri