PERANG BUBAT – Mangkatnya Prabu Puteri Dyah Gayatri Biksuni Raja Patni tidak segera diketahui Adityawarman. Kabar datang terlambat akibatnya Adityawarman bersama sekitar 100 orang rombongan dari Pagaruyung, telat sampai di Majapahit.
Adityawarman tidak hadir pada upacara perabuan. Dia hanya dapat hadir pada acara peletakan abu pada kuil perabuan. Pada acara itu Adityawarman bertemu dan berbicara sebentar dengan Gajah Mada, Naladewa dan Senoaji. Pejabat tinggi Maja pahit lainnya menghindar untuk bertemu Adityawarman.
Esok harinya Adityawarman menemui Diyah Gitarya dan menyampaikan belasungkawanya atas kematian Ibunda Gusti Prabu Diyah Gayatri. Adityawarman juga menyampaikan belasungkawa dan salam dari ibunya Dara Jingga. Dyah Gitarya menanyakan kesehatan Ibunda Dara Jingga, yang dijawab Adityawarman: Ibunya ada sehat sehat saja. Aditya juga menyampaikan; sekarang dia lebih banyak di Pagaruyung membenahi Kerajaan Minangkabau. Aditya minta diri karena besok mau berangkat kembali ke Pagaruyung.
Beberapa bulan setelah kematian Dyah Gayatri masih tahun itu juga (1350 M) barulah terdapat kesepakatan mengangkat Sukha Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit dengan gelaran Rajasa Nagara.
Maha Patih Gajah Mada melaporkan kepada Prabu Hayam Wuruk, dia mendapat informasi dari pedagang yang sering datang ke kota raja Pasundan Guluh, anak Adipati Pasundan Guluh bernama Dyah Pitaloka Citraresmi seorang yang sangat cantik, secantik bidadari dari surga. Menurut ramalan, dia sama seperti Ken Dedes, barang siapa yang mempersuntingnya akan menjadi raja besar dan adil menjadi penguasa nusantara.
“Saya telah mendapatkan lukisannya yang dilukis oleh seorang pelukis yang pandai secara diam-diam,” kata Gajah Mada. Lukisan Diyah Pitaloka diserahkan Mahapatih kepada Prabu Hayam Wuruk.
Setelah memikirkan beberapa lama, Prabu Hayam Wuruk menyetujui Dyah Pitaloka dilamar untuk dijadikan isteri resminya. Prabu memerintahkan agar Mahapatih melaksanakan acara pelamaran tersebut. Untuk memudahkan acara pelamaran diminta Prabu menulis surat lamaran dengan tangan sendiri.
Surat Hayam Wuruk diperintah Madhu Patih Kahuripan untuk menyampaikan. Patih Madhu berangkat ke Sunda Guluh. Di sana dia disambut oleh Prabu Lingga Buana, permaisuri Dewi Lara Linsing dan Maha Patih (Mangkubumi) Hyang Bumi Sora Suradipati.
Didapat kesepakatan, peminang tidak datang ke Sunda Guluh, cukup temanten puteri dengan rombongannya ditunggu di istana dan penginapan tamu Bubat. Setelah istirahat di sana, temanten lelaki datang menjemput ke sana.
Waktu itu tahun 1357 M. Lebih kurang seratus orang rombongan Sunda Guluh yang semuanya pembesar istana telah sampai di lapangan Bubat. Di sana tidak ada seorang pun menunggu, terpaksa rombongan berkemah di lapangan Bubat. Setelah tiga hari berkemah, Maha Patih Usus dengan empat orang pengawal datang menemui Gajah Mada.
Gajah Mada mengatakan, dia akan datang sendiri menjemput Dyah Pitaloka ke Bubat. Dengan 200 orang prajurit tempur berkuda bersenjata lengkap, Gajah Mada datang ke lapagan Bubat. Gajah Mada menuju perkemahan Usus. Memanggil Usus keluar dari kemahnya, Gajah Mada berkata; “saya akan layani apa maumu Usus.”
Sementara itu datang serombongan besar pasukan Majapahit di bawah pimpinan Wijayarajasa diikuti oleh Banyu Biru dan Madhu. Terjadi keributan di perkemahan Lingga Buana yang berakhir dengan perkelahian. Lingga Buana mati terbunuh.
Berita itu menyebar ke seluruh perkemahan, menyebabkan terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Seluruh tamu dari Sunda Guluh mati terbunuh, termasuh permaisuri Dewi Lara Linsing. Dyah Pitaloka sendiri tewas membunuh diri.
Gusti Prabu Hayam Wuruk dengan kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda datang sendiri. Prabu bertindak sebagai sais kerajaan, menjembut calon isteri raja. Dia ambil Dyah Pitaloka dia angkat dan dia tangisi.
Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa berdarah Bubat. Patih Kahuripan Madhu dan Senopati Banyu Biru tewas pada peristiwa Bubat ini, sehingga tidak dapat dicari penyebab peristiwa berdarah itu terjadi.
Sidang Bhatara Sapda Prabu, yang dipimpin Prabu Hayam Wuruk dihadiri Bunda Diyah Gitarya, Dyah Wiyat serta suaminya Wijayarajasa, adik Gusti Prabu Dyah Nartaja dan adik sepupunya Dyah Indu Dewi. Wijayarajasa yang paling banyak berbicara tentang peristiwa Bubat, karena dia yang berada di tempat itu di waktu kejadian.
Keputusan sidang, semua suara setuju menetapkan Gajah Mada mundur dari jabatan Mahapatih. Gajah Mada diminta hidup menyendiri menjadi Bikshu. Tetapi sidang Bhatara Sapda Prabu belum mendapat kesepakatan siapa yang akan diangkat sebagai Mahapatih yang baru untuk menggantikan Gajah Mada.
~ Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
~ Editor: Asraferi Sabri