Perdebatan tentang zakat fitrah adalah perdebatan sejak zaman klasik. Setiap tahun selalu “diapungkan” kembali oleh sebagian ustaz/muballigh, da’i. Mereka seolah-olah mau “memaksakan pendapatnya” bahwa membayar zakat fitrah dengan uang (Qimah) tidak sah. Harus dengan beras, baru sah. Ukuran sha’, takarannya, pun mesti konsisten mengikuti mazhab tertentu.
Masalah zakat fitrah ini adalah ibadah mahdhah (ta’abbudi), wajib mencontoh secara tekstual seperti yang dipraktikan Nabi Muhammad SAW. Di zaman Nabi juga sudah ada uang, tetapi Nabi tidak pernah bayar zakat fitrah dengan uang.
Jenis makanan yang digunakan untuk membayar zakat fitrah dijelaskan Nabi dalam hadits dari Ibnu Umar, adalah kurma dan gandum (sha’an min Tamar aw sha”an min sya’ir). Dalam hadits dari Abu Sa’id selain tamar dan sya’ir, ada tambahan lagi yaitu makanan, zabib (anggur kering) dan al-aqith (susu kering/beku). Maksud makanan (tha’am) dalam hadits ini adalah al-khinthah (gandum).
Jenis makanan dalam hadits Nabi itu apakah mesti dipahami secara tekstual. Artinya, harus jenis makanan itu saja, tidak boleh diganti dengan yang lain (ta’abbudi)? Atau boleh dipahami secara kontekstual, boleh diganti dengan jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh mayoritas penduduk suatu negeri?
Nabi menyebutkan lima jenis makan dalam haditsnya, hanya sebagai contoh dari makanan yang biasa dikenal masyarakat di zaman Nabi (‘ala Sailil mitsal, La al-Hashar). Ulama zaman klasik sudah berbeda pendapat dalam memahami jenis makanan ini. Berikut di bawah ini dijelaskan perbedaan pendapat ulama tersebut.
Jenis makanan yang dipakai untuk membayar zakat fitrah disebutkan dalam teks hadits-hadits Nabi dari Ibnu Umar hanya menyebutkan dua macam yaitu kurma dan gandum (sha’an min tamar aw sha’an min sya’ir). Dalam hadits dari Abu Sa’id al-Khudri selain kurma dan gandum, disebut tiga macam lagi, yaitu makanan (sha’an min Tho’am), kurma kering (aw sha’an min zabib), dan susu beku/kering (sha’an min aqith). Mazhab Imam Ahmad bin Hambal memahami hadits ini secara tekstual.(al-Mughni 3, 62). Jadi, hanya lima jenis makanan itu saja yang boleh digunakan untuk membayar zakat fitrah, itulah yang sah. Kalau dengan yang lain tidak sah (bahkan mungkin ada yang sampai berlebihan mengatakan ini bid’ah, sesat karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi).
Ibnu Hazm al-Zhahiri berpendapat hanya kurma (tamar) dan gandum (sya’ir) saja yang sah untuk membayar zakat fitrah (al-Muhalla 6, 118, 119). Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, lima jenis makanan yang disebut dalam teks hadits Nabi itu tidak terbatas pada lima jenis itu saja (hazihil ashnaf laisat ta’abuddiyah). Maksudnya, setiap muslim boleh bayar zakat fitrah dengan jenis makanan yang dominan dimakan oleh penduduk suatu negeri (ghalib qut al-balad). Mereka membolehkan bayar zakat fitrah dengan beras (al-urz), jagung (al-zurah).
Baca juga: Idul Fitri Tanpa Lebaran
Ulama Hanafiyah, bahkan Umar bin Abdul Aziz, Sofyan ats-Tsauri dan Hasan al-Basri dari kalangan tabi’in membolehkan bayar zakat fitrah dengan nilai (qimah), dinilai harga makanan pokok dengan uang. Menurut Imam Ahmad mereka itu meninggalkan perkataan/hadits Nabi yang menyebut lima jenis makanan saja, tidak sah dibayar dengan uang (al-mughni 3, 65).
Pemahaman secara tekstual menimbulkan kesempitan dan kesulitan, harus dicari dulu kurma, gandum, ditakar satu sha’, baru diberi kepada fakir miskin. Padahal fakir miskin zaman sekarang tidak butuh kurma dan gandum. Mereka butuh uang untuk beli baju, sepatu, beli ketupat agar gembira di hari raya Idul Fitri.
Zakat fitrah mesti dibayar di pagi hari sebelum orang shalat Ied. Ini pemahaman tekstual. Tidak bisa diterapkan di zaman now. Kalau fakir miskin baru dapat kurma, atau gandum di pagi hari raya itu, kapan dia mau beli ketupat lebaran, baju dan sepatu. Pemahaman tekstual ini tidak sesuai dengan konteks kekinian, tidak relevan dan maqashid syariah/teori maslahat.
Pemahaman Kontekstual
Tujuan utama zakat fitrah adalah untuk membuat fakir miskin bahagia, gembira di hari raya Idul Fitri, tidak berkeliling meminta minta. Inilah maqashid syariah yang hendak dicapai oleh pembayaran zakat fitrah. Hal itu dipahami dari hadits Nabi, juga “ughnuhum ‘anith thawaf fi hazal yaum“.
Pembayaran zakat fitrah dengan uang di zaman sekarang lebih maslahat, lebih memudahkan dan membahagiakan fakir miskin untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, boleh bayar zakat fitrah dengan uang, ukurannya boleh mengikuti takaran (sha’) penduduk Iraq tempat hidupnya Imam Abu Hanifah (di Bashrah / Kufah) yaitu 1 sha’ = 3800 gram (3,8 kg), ini bagi mereka yang mewajibkan konsisten mengikuti mazhab Hanafiyah.
Namun, membayar zakat fitrah dengan uang, ukuran sha’/takaran penduduk Madinah boleh juga. Sha’ yang disebut dalam hadits Nabi adalah sha’ (takaran) yang dipakai dan sudah dikenal oleh penduduk Madinah. Ukuran sha’ penduduk Madinah inilah yang diikuti jumhur ulama.
Hal seperti ini disebut Talfiq dalam ushul fikih, menggabungkan pendapat beberapa ulama dalam satu masalah. Dalam hal zakat fitrah, diikuti pendapat ulama yang membolehkan dibayar dengan uang (qimah) yaitu pendapat Umar bin Abdul Aziz, Sofyan ats-Tsauri, Hasan al-Basri dan Abu Hanifah. Tetapi dalam ukuran sha’/takarannya diikuti sha’ penduduk Madinah yang diambil oleh jumhur ulama.
Talfiq ini boleh hukumnya, dengan alasan beberapa ayat Al-Qur’an: ‘Allah ingin kamu mendapat kemudahan, tidak ingin kamu dapat kesulitan’ (al-Baqarah ;185); ‘Allah tidak menjadikan kesulitan bagimu dalam beragama’ (al-Hajji; 78).
Adapun Tatabbu’ al-Rukho memilih pendapat yang lebih mudah saja, itu yang dilarang, kalau Talfiq dibolehkan.
Jadi, boleh bayar zakat fitrah dengan menggunakan beras yang diukur dengan uang. Takaran harga beras yang biasa kita makan sehari-hari, bukan harga kurma dan harga gandum di Saudi Arabia.
Pemahaman secara kontekstual lebih sesuai dengan maqashid syariah dan konsep al-Maslahat. Wallahu a’la wa a’lam.*
*Penulis, Dr. Muchlis Bahar, Dosen di Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol
**Gambar oleh white kim dari Pixabay