Kezaliman itu tidak pernah abadi. Semenjak fir’aun sampai Napoleon, Mussolini, Hitler, Stalin, dan Marcos sebagai pemimpin besar yang kekuasaannya dipergunakan untuk mewadahi kezalimannya, baik karena ideologi maupun nafsu mempertahankan kekuasaan, pada akhirnya hancur lebur dalam pentas dunia.
Berbeda dengan Gandhi yang dengan penuh semangat swadeshi mengelola kekuatan dan kekuasaannya tanpa melawan. Ikhlas dengan potensi dan kekuatannya untuk melawan kezaliman. Gandhi menanamkan dalam dirinya dan pengikutnya bahwa kekuasaan dan kekuatan untuk melawan tidak selalu dengan kekerasan fisik.
Puncak dari perlawanan dengan ikhlas sebenarnya, tanpa memaksa dan mendorong pengikutnya untuk bertindak konyol adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagai tokoh rahmatan lil alamin, prinsip perjuangan Nabi Muhammad bertumpu pada kekuatan ikhlas.
Nabi Muhammad sangat paham dan bijak melihat potensi dan kekuatan yang dimiliki. Umat yang sedikit, sekali pun memiliki daya tempur yang luar biasa, namun Nabi Muhammad mengerti untuk tidak melakukan kekonyolan dengan memaksakan jumlah yang sedikit melawan kekuatan lawan yang dahsyat. Sampai kemudian turun isyarat dari Allah untuk mulai melawan kekuasaan dominan suku Quraisy.
Baca juga: Muhammad S.A.W dan Praktik Demokrasi di Kota Madinah
Kekuasaan, ketika dijadikan sebagai legitimasi maka cenderung menjadi sumber potensi terjadinya kezaliman. Di samping kekuasaan, ada juga kepemilikan harta yang dominan menjadi penyebab timbulnya kezaliman. Kekuasaan dan kekayaan dapat menghilangkan hak-hak kemanusiaan serta mengebiri kemerdekaan manusia lainnya.
Gagasan melawan kezaliman dengan keikhlasan terkesan lebih soft dan penting untuk dilakukan. Kekuatan politik parlemen yang sangat erat dengan pemerintah, semakin menempatkan rakyat pada posisi tersudutkan yang tidak lagi memiliki ruang gerak bebas dan demokratis. Ditambah dengan kekuatan buzzer yang sofistik, yang benar disalahkan dan yang salah di dewa dewakan. Jadilah kezaliman literasi model baru yang sangat irrasional.
Menyelamatkan bangsa dari kerusakan pikiran dan nilai, merupakan langkah bijak. Umat Islam tidak perlu terperangkap mainan yang dipersiapkan sebagai jebakan yang pada akhirnya akan menciptakan membentuk kesalahan dan sikap reaktif yang berlebihan.
Umat Islam dengan terang-terangan diposisikan sebagai lawan kepentingan rezim. Radikalisme, terorisme dan anti Pancasila dijadikan idiom politik untuk terus mendesak umat, secara intensif menjadi permainan yang melengahkan umat Islam. Kesibukkan umat dengan aksi-aksi reaksioner telah merugikan kepentingan jangka panjang Islam di Indonesia.
Tema-tema jihad dan kafir telah berselancar ke dalam otak anak-anak kita. Isu perlawanan dan isu bid’ah menjadi konsumsi umat tanpa kemampuan cerdas untuk mencernanya secara rasional dan ilmiah. Sehingga anak-anak dan generasi muda tidak lagi menikmati Islam yang damai.
Dalam waktu bersamaan aktifis Islam dengan penuh semangat memercikkan api kebencian dan pembelajaran sikap reaksioner ke berbagai media online yang dapat diunggah semua kalangan umur.
Mesjid yang sejatinya menjadi tempat pembinaan dan pencerdasan, berubah menjadi tempat penyebarluasan rasa kebencian. Semangat dan api Islam telah diganti dengan nafsu perang dan penanaman kemarahan yang berlebihan.
Ego kebenaran dan sikap paling benar yang telah merasuki pikiran sebagian umat Islam, dengan mengabaikan Nabi Muhammad sebagai inspirasi perjuangan. Tidak saja menguntungkan pihak lain, akan tetapi berhasil memperlihatkan kelemahan dan kerapuhan umat. Perjuangan yang berorientasi jangka pendek serta abai terhadap kepentingan strategis jangka panjang, semakin menguatkan data rezim untuk terus menggempur sisi-sisi lemah umat Islam.
Aksi-aksi sosial dan perlawanan terhadap rezim yang dilakukan secara sporadis tanpa memperhitungkan potensi rezim dan kekuatan diri, sering berakhir sia-sia dan mati di tengah jalan. Sejarah politik Islam dengan cukup terang telah membuktikan. Bahkan Nabi Muhammad pun telah mengingatkan ” perjuangan kelompok kecil yang tertata dengan strategi baik akan mengalahkan jumlah orang yang banyak, yang tidak tertata dengan strategi baik”.
Apalagi semakin mesranya hubungan sebagian tokoh Islam dengan kekuasaan, yang kemudian mendapatkan kompensasi finansial dan fasilitas kekuasaan. Kepentingan Islam semakin kabur dan kehilangan arah. Umat sesama umat vis a vis menjadi konflik baru dan merugikan.
Berkaca kepada kekalahan demi kekalahan, perjuangan umat Islam di Indonesia, mulai dari strategi konflik, perdamaian, dan simbiotik, perlu kearifan dan kesadaran bagi tokoh serta organisasi-organisadi Islam untuk mengambil sikap “ikhlas” .
Sikap ikhlas merupakan aksi politik menggunakan perspektif profetik yang mengelola potensi kekuatan dengan serba keterbatasan di dalam keadaan yang sangat berat, menang melawan kezaliman.
Teologi ikhlas lahir dari keyakinan menahan diri dengan bijak untuk mengelola semua potensi dalam kesatuan sarwa ummah. Seluruh komponen umat apakah alim ulamanya, umara dan rakyat harus bersatu padu dalam keragaman potensi untuk menjadi bagian dari puzzle yang berserakan. Kezaliman hanya masalah waktu dan kesempatan. Tidak ada kezaliman yang abadi. Kezaliman akan selalu runtuh oleh kebenaran. Dan kebenaran yang dapat meruntuhkan itu adalah kebenaran yang terkelola dengan baik. Islam tidak pernah mendorong umatnya menjadi martir kematian.
Nabi Muhammad selalu berperang dengan strategi. Menghitung detil peluang dan potensi lawan. Menempatkan orang dan mengumpulkan setiap informasi guna melakukan penyerangan. Muhammmad menyusun langkah untuk meminimalisasi korban dan kekalahan.
Nabi Muhammad berbeda dengan para ahli perang. Kekalahan Firaun, Napoleon dan lainnya itu karena mereka terjebak dalam sikap ambisius sehingga tidak memperhatikan berbagai kemungkinan yang dapat mengakibatkan kekalahan. Di situlah letak hebat Nabi Muhammad, menahan nafsu dengan sikap keikhlasan dalam perjuangan dan ternyata berhasil meruntuhkan rezim Abu Lahab dan Abu Jahal sampai kemudian mengalahkan Byzantium, Roma dan Persia sampai Islam menjadi the religion in the world dengan masa kekuasaan terlama dan tersebar di berbagai belahan suku bangsa.
Irwan, SHI., MH | Penulis, Peneliti PORTAL BANGSA Institute