~Dr. Emeraldy Chatra
Dulu, sebelum 1850-an orang Minangkabau masih akrab dengan istilah Tanah Rajo. Akira Oki (1978:12) dalam disertasinya mengatakan king’s land adalah tempat berperang antar-anak nagari yang berbeda. Perangnya menggunakan batu, karena itu disebut perang batu.
Di samping disebut tanah rajo kawasan itu juga disebut tanah kubu (De Jong, 1980: 83). De Jong dapat cerita tentang tanah kubu dari Westenenk.
Perang di tanah kubu itu juga disebut sebagai perang adat. Sebab para penghulu yang memimpin pertempuran. Mereka tidak terjun langsung, tapi bersembunyi di balik batu-batu yang disusun sebagai benteng (kubu).
Bagaimana menghentikan perang kalau sudah banyak memakan korban? Caranya sederhana. Utusan Yang Dipertuan, pemilik tanah rajo, mengobarkan bendera kuning. Itu tanda Yang Dipertuan memberi perintah agar perang segera dihentikan.
Tanah rajo atau tanah kubu terletak di antara nagari-nagari. Zaman dulu tidak ada nagari yang berbatasan langsung dengan nagari lain. Oleh sebab itu tidak ada pula sengketa batas antar-nagari.
Wilayah ini digunakan anak nagari bukan untuk berperang saja. Tapi juga sebagai penjara. Masyarakat Minangkabau tidak mengenal penjara kurungan untuk menghukum mereka yang melanggar adat. Para terhukum biasanya diantar ke batas nagari, dilepaskan ke kawasan ini dan tak boleh kembali lagi ke nagari.
Di wilayah ini para terhukum harus berjuang supaya tetap hidup. Tanah rajo itu tanah tanpa hukum. Banyak penyamunnya. Para terhukum mungkin saja mati di tangan para penyamun. Sialnya, kematiannya sebagai orang yang dibuang sepanjang adat tidak akan dituntut siapapun juga.
Oleh karena tanah rajo bukan milik nagari, sebelum Belanda masuk tak ada orang yang mau membuka ladang maupun membangun rumah di tanah itu. Tanah rajo itu tanah keramat. Tanah kekuasaan Yang Dipertuan yang juga dikeramatkan. Siapa sebenarnya Yang Dipertuan itu, saya tidak mendapatkan informasi.
Sekarang tanah rajo atau tanah kubu itu sudah tidak ada lagi. Ke mana perginya?
Singkatnya, dikuasai Belanda. Tahun 1870 Belanda melangsir Undang-undang Agraria yang juga disebut Domeinverklaring. Dengan undang-undang itu Belanda menguasai tanah yang tidak digunakan untuk bertani (Benda-Beckmann 1979: 211). Tanah itu tidak lain adalah tanah rajo.
Ketika dikuasai Belanda sudah cukup banyak lahan yang dikuasai rakyat untuk bertanam kopi. Jauh sebelum Tanam Paksa, Kaum Santri (sebutan saya untuk Kaum Padri) sudah melakukan penanaman kopi di kawasan ini. Hasilnya digunakan untuk membiayai perang dengan Belanda. Setelah Kaum Santri kalah kebun-kebun kopi di tanah rajo dikuasai anak nagari.
Tahun 1847 atau 23 tahun sebelum Domeinverklaring pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem budidaya kopi secara paksa kepada anak nagari Minangkabau. Sistem ini kondang dengan sebutan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Di Jawa Tanam Paksa sudah dimulai sejak 1830 dan menelan banyak korban jiwa di pihak petani akibat kelaparan dan kelelahan. Penindasan ini baru berakhir dengan keluarnya undang-undang agraria 1870. Tapi menurut Oki (1978: 26), di Minangkabau Tanam Paksa masih berlangsung hingga 1908.
Sistem Tanam Paksa dan UU Agraria 1870 membuat nasib tanah rajo semakin memburuk. Kawasan itu diambil-alih oleh anak nagari untuk berladang atas persetujuan pemerintah Belanda. Wilayah nagari semakin luas, akhirnya nagari-nagari jadi saling berbatasan. Kekeramatan Yang Dipertuan hilang sudah.
Dengan demikian memang sejak dulu tidak pernah terjadi kejelasan tentang batas nagari. Belanda tidak pernah secara resmi menyerahkan tanah rajo yang dikuasainya kepada nagari. Batas wilayah tercipta dengan sendirinya, tergantung kekuatan anak nagari menggarap.
Bila kini kita mendengar terjadinya perang antar-anak nagari karena batas wilayah nagari maka dapat dikatakan kejadian itu punya akar jauh ke masa lampau. Pemerintah lambat pula menyelesaikannya.
Teman saya mengatakan, sengketa itu akibat Yang Dipertuan murka. Tanahnya diambil tanpa izin. Tapi saya yakin itu pasti cuma sekedar gurauan.**
*Penulis, Dosen FISIP Universitas Andalas
**