Surau Syekh Djamil Djambek 1925. dok. Digital Library Leiden University

Syekh Djamil Djambek dan Pemberantasan Perilaku “Jahiliyah” Keagamaan Masyarakat Minangkabau Abad 20

Pola akulturasi antara nilai-nilai Islam dan budaya telah menimbulkan kesan yang mendalam dalam konstruksi kesadaran masyarakat Minangkabau. Fakta itu ditandai dengan sebuah ungkapan kompromistis yang lahir dalam kesadaran masyarakat yang tertuang dalam semangat “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”. Artinya, bahwa adat berdasarkan syara’, begitu juga ungkapan sebaliknya (Nasrullah, 2008, p. 16).

“Kemapanan” beragama ala kaum tradisi yang terkenal dengan sebutan Kaum Tua dengan segala variannya, berhadapan dengan gerakan kaum pembaharu yang kemudian dikenal dengan sebutan Kaum Muda. Gerakan Kaum Muda ini mengusung tema dengan semangat dan slogan “kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah”.
Kaum Mudo menilai, bahwa suasana beragama melalui praktek yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau selama ini telah banyak bertentangan dengan kedua sumber hukum di atas. Oleh karena itu perlu ada pembaharuan pemahaman dan pengamalan keagamaan (Nasrullah, 2008, pp. 16–17).

Beberapa ulama yang kemudian dikenal sebagai tokoh pembaharuan Islam di Minangkabau yang merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, diantaranya Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), Haji Abdullah Ahmad, dan Syekh Muhammad Djamil Djambek atau dikenal juga “Inyiak Djambek”.

Di awal abad 20, Inyiak Djambek dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka, dan mendirikan rumah ibadah yang dikenal dengan Surau Syekh Muhammad Djamil Djambek pada tahun 1908. Sebagai ulama Inyiak Djambek tidak hanya meninggalkan karya-karya besar dalam bentuk manuskrip, tradisi lisan, bahasa dan sastra, kelembagaan tradisional, buku dan naskah-naskah kuno dalam bahasa Arab Melayu. Tetapi beliau juga mewariskan Surau sebagai asset lokal alam tamadun kejayaan Islam Minangkabau pada tempo dulu (Marpuah, 2020).

Inyiak Djambek berupaya untuk memberantas budaya jahiliah kaum adat Minangkabau, seperti menyabung ayam, minum tuak, perang batu antar suku, dan kebiasaan lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Beliau juga bertabligh agar kaum Muslim menghindari sihir, peramalan, penujuman, jimat, dan perilaku khurafat lainnya. Hal tersebut dapat merusak akidah dan keyakinan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia juga berupaya menghapus pemahaman khurafat, seperti Selasa sebagai hari sial sehingga akhirnya ia mengadakan pengajian akbar secara rutin di suraunya pada hari Selasa.

Baca juga: Haji Abdul Latif Syakur: Ulama Inovatif dan Penulis

Hal di atas bertujuan agar masyarakat memahami bahwa setiap hari adalah hari baik. Inyiak Djambek mengubah tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad ﷺ dengan nazam al-Barzanji, yaitu membaca kitab Barzanji berbahasa Arab di surau-surau kaum tuo dengan cara bertabligh. Selain itu, dia juga mengganti tradisi membaca syair Isra’ Mi’raj (dalam syair al-Barzanji atau al-Burdah yang berbahasa Arab) dengan acara tabligh berbahasa Melayu.

Inyiak Djambek juga menguraikan isi Barzanji tersebut dengan bahasa setempat agar mudah dipahami jemaahnya. Beliau berpidato menyampaikan hikmah dan pelajaran dari setiap bait syair Barzanji seperti riwayat hidup Nabi Muhammad, peristiwa Isra’ dan Mikraj, dan kepahlawanan para sahabat Nabi Muhammad (Siswayanti, 2014).

Salah satu penjelasan dalam buku yang berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naqsyabandiyyah dan segala yang berhubungan dengan Dia (Allah SWT), dinyatakan bahasa Tarekat Naqsyabandiyyah diciptakan oleh orang Persia dan India. Inyiak Djambek menyebut orang-orang dari ke dua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau.

Tahun 1929, Inyiak Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat (Tarihoran, 2011).

Dua jilid kitabnya mengenai Tarekat Naqsabandiyah dengan judul ”Penerangan tentang asal usul Tarekat Naqsabandiyah dan segala yang berhubungan dengan Dia”, sebagaimana dikutip dari buku Martin Van Bruinessen dengan judul ”Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia”: 1992, hal. 112, dikemukan bahwa Inyiak Djambek menampilkan pembahasan mengenai tarekat secara lebih berimbang dan lebih hati-hati dalam merumuskan kritik.

Salah satu argumennya ialah bahwa sumber-sumber Naqsyabandiyah mengakui sendiri bahwa tarekat mereka di samping mempunyai silsilah melalui Abu Bakar, ada silsilah lain yang sejajar dengan itu melalui ’Ali. Syekh Djamil Djambek menyimpulkan bahwa ini menggugurkan kesahihan klaim bahwa tarekat itu mewakili ajaran khusus yang disampaikan oleh Nabi Muhamad ﷺ ke pada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia pun memberi komentar terhadap celah waktu antara wali yang digantikan dengan yang menggantikan pada silsilah Tarekat Naqsyabandiyah bagian permulaan.

Inyiak Djambek juga memiliki kesimpulan bahwa praktik pembaiatan secara ruhaniah oleh seorang pendahulu sangat tidak meyakinkan. Argumen yang dibangun Syekh M. Djamil Djambek adalah dengan mengkaji ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis yang dikemukakan para pembela Tarekat Naqsyabandiyah untuk mempertahankan ibadah-ibadah dan ritual mereka dan menyimpulkan bahwa para pembela itu harus mengambil jalan penafsiran lain yang istimewa dan langsung dapat dipahami, sebab yang telah mereka kemukakan tidak punya dasar sama sekali (Tarihoran, 2011).

Gebrakan Inyiak Djambek di atas bukanlah berupa sebuah aksi fisik terhadap masyarakat Minangkabau pada abad ke-20, namun sebuah kritikan keras terhadap bagi masyarakat yang jauh dari pola ajaran agama yang sesuai dengan i’tikad pengajaran bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Tidak bisa dipungkiri, perilaku keagamaan masyarakat Minangkabau saat itu sebagian besar mengikuti pengajaran dari kaum tarekat di lingkungan mereka masing-masing, sehingga hal tersebut sebagai pemicu bagi Inyiak Djambek untuk mengajarkan pemahaman keagamaan yang lebih relevan dengan ajaran Islam yang dipahami olehnya.

Penulis: Johan Septian Putra,
Peneliti dari Komunitas Magistra Kota Padang.
Email: johan.albusyro@gmail.com
Foto Fitur Pasar Bawah Fort De Kock 1925 dengan latar Surau Syekh Djamil Djambek Dok. Leiden University Digital Library