bakaba.co | Bukittinggi | Persoalan tanah dan proyek RSUD Bukittinggi yang terus mengapung, menarik keingin-tahuan Andre Rosiade, anggota DPR-RI dari Partai Gerinda dan melihat masalah secara langsung.
“Saya baru mengetahui permasalahan ini. Saya akan carikan solusi terbaik termasuk menyarankan pada Fraksi Gerindra Kota Bukittinggi untuk mengunakan hak interpelasinya agar jelas duduk permasalahan ini.”
Hal itu disampaikan Andre Rosiade kepada wartawan, Minggu, 8 Maret 2020, saat bersama rombongan melakukan kunjungan kerja, melihat langsung tanah dan lokasi proyek RSUD Bukittinggi yang tanahnya sedang bermasalah.
Permasalahan tanah tempat RSUD Bukittinggi dibangun, disampaikan Soni Effendi pemilik tanah. Soni menyerahkan salinan hasil PTUN Padang yang mengabulkan gugatannya terhadap BPN Bukittinggi hingga pembatalan sertifikat Nomor 22 tahun 2017. Pihak BPN melakukan banding di PTTUN Medan sehingga tanah jadi status quo. Sementara Pemko Bukittinggi tetap melanjutkan tender pembangunan RSUD.
Setelah mendapatkan gambaran permasalahan, Andre Rosiade mengatakan, kondisi ini seharusnya tidak boleh terjadi kalau Pemko Bukittinggi memperhatikan hak milik masyarakat yang ada. “Saya akan mencoba mengkomunikasikan pada Kepala Daerah Kota Bukittinggi,” kata Andre Rosiade.
Gugatan Hukum
Pembangunan RSUD Bukittinggi bernilai Rp. 102 miliar lebih dikerjakan PT Bangun Kharisma Prima (PT BKP), Jakarta. Proyek tiga tahun anggaran APBD: 2018, 2019 dan 2020: April mestinya rampung. Tetapi kontraktor PT BKP tidak menyelesaikan proyek. Saat bobot sekitar 25 persen proyek ditinggalkan. Tanggal 7 Oktober 2019 PPK membuat surat pemutusan kontrak. Bangunan RSUD yang masih berupa rangka menganga, dibangun di atas tanah eks. Pusido (sertifikat Hak Pakai Nomor 22 tahun 2017) di pinggir Jalan Bypass, Gulai Bancah, jadi bahan pembicaraan warga kota.
Sehari menjelang bulan berganti, 30 Oktober 2019, PTUN Padang mengeluarkan Keputusan Nomor 19/G/2019/PTUN.PDG: Membatalkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 22 Tahun 2017, seluas 33.972 m2 atas nama Pemerintah Kota Bukittinggi.
Keputusan PTUN itu terkait gugatan Soni Effendi Cs, suku Guci Gulai Bancah atas tanah tempat RSUD Bukittinggi dibangun. Gugatan ke BPN dilakukan karena tanah Soni Effendi Cs. seluas ± 7347 m2 dimasukkan ke dalam sertifikat Hak Pakai Nomor 22 tahun 2017 tersebut.
Keluarnya keputusan PTUN tersebut, selain membatalkan sertifikat atas nama Pemko, BPN juga diperintahkan menerbitkan sertifikat tanah Soni Effendi Cs. Perintah PTUN tidak langsung dijalankan, BPN Bukittinggi mengajukan banding ke PTTUN Medan.
Keputusan PTUN terkait dibatalkannya sertifikat tanah lokasi RSUD yang sedang terbengkalai setelah putus kontrak, tidak diacuhkan Pemko Bukittinggi. Walikota Bukittinggi tetap mengajukan anggaran pembangunan lanjutan RSUD ke DPRD. Anggaran sebesar Rp 81,9 miliar lebih disetujui DPRD dianggarkan pada APBD Bukittinggi tahun anggaran 2020.
Mendapat legalitas DPRD, Pemko Bukittinggi melalui ULP segera melakukan lelang/tender proyek lanjutan RSUD. Awal Desember 2019 lelang dibuka, 3 Februari 2020 perusahaan pemenang tender RSUD ditetapkan: PT Mitra Andalan Sakti (PT MAS) dari Semarang dengan nilai penawaran Rp. 80.747.593.932. Pekan terakhir Februari 2020, PT MAS sudah mulai aktivitasnya di proyek RSUD.
Pendapat Hukum
Pelbagai pendapat hukum telah disampaikan oleh Akademisi maupun praktisi hukum terkait kondisi yang terjadi.
Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat kepada bakaba.co mengatakan bahwa Walikota Bukittinggi telah mengabaikan putusan PTUN Padang dan aturan hukum lainnya. Seharusnya Pemko tidak boleh membangun di atas lahan yang sedang bermasalah san status-quo dengan pembatalan sertifikat.
“Pemko Bukittinggi berpotensi merugikan keuangan negara dengan ketidakpastian hukum yang terkait pada status tanah RSUD.” ujar Wendra pada bakaba.co
Zulhefrimen, S.H selaku Praktisi Hukum juga melihat bahwa Pemko Bukittinggi dalam hal ini Walikota Bukittinggi khususnya tidak memiliki asas kehati-hatian terkait pembangunan yang dijalankan. Seharusnya Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias dalam hal ini mengembalikan tanah masyarakat yang masuk dalam sertifikat Nomor 22 tahun 2017 tersebut.
Menurut Zulhefrimen, Ramlan Nurmatias tidak boleh arogan selaku Walikota Bukittinggi. Jika benar Walikota memahami hukum, seharusnya tidak akan terjadi masalah seperti ini.
“Pemilik tanah ini hanya masyarakat kecil dan jangan dirampas hak yang mereka miliki. Dalam hal ini Pemko tidak melakukan gugatan intervensi pada sidang sebelumnya. Kacamata saya melihat ini jelas bahwa Walikota Bukittinggi tidak berpihak pada masyarakat kecil” ujar Zulhefrimen pada bakaba.co
Setelah mengunjungi lokasi proyek RSUD, Andre Rosiade berserta rombongan melanjutkan perjalanan melihat Ngarai Sianok dan Pasar Atas. Dalam pertemuan sebelumnya Andre Rosiade juga membuat kotrak politik dengan Pedagang Aur Kuning terkait permasalahan yang dihadapi pedagang pada saat ini.
~ Fadhly Reza