bakaba.co, Jakarta – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengungkapkan kesiapannya memimpin lembaga antirasuah sejak 2023. Namun, perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat rencana tersebut baru terlaksana pada 2024. Dalam wawancara eksklusif di kanal YouTube KPK RI, Rabu (12/2/2025), Setyo menegaskan komitmennya membawa perubahan struktural dengan pendekatan egaliter.
Latar Belakang Penundaan Kepemimpinan Setyo Budiyanto
Setyo mengaku telah mempersiapkan diri sejak 2023, namun putusan MK No. 12/PUU-XXIII/2024 tentang masa jabatan 5 tahun pimpinan KPK memaksa penundaan hingga tahun berikutnya. “Saya harus menyesuaikan dengan keputusan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Persiapan Strategis Menuju 2024
Selama masa penundaan, Setyo fokus pada penguatan kapasitas internal melalui diskusi intensif dengan pegawai KPK dan analisis kebijakan antikorupsi. “Proses ini menjadi fondasi untuk menyusun agenda prioritas 2024,” tambahnya.
Jejak Karir Setyo di KPK Sejak 2018
Kedekatan Setyo dengan KPK dimulai saat lolos seleksi sebagai Koordinator Supervisi (Korsup) Kedeputian Penyidikan pada 2018. Selama 4 tahun, ia berkontribusi dalam 22 kasus korupsi strategis, termasuk pengawasan proyek infrastruktur nasional.
Visi Kepemimpinan Egaliter dan Kolaboratif
Setyo menekankan pentingnya menghilangkan hierarki kaku antara pimpinan dan staf. “Egaliterisme adalah kekuatan KPK. Kami akan duduk bersama, berdiskusi tanpa sekat,” tegasnya.
Transformasi Budaya Kerja KPK
Gaya kepemimpinan sebelumnya yang dianggap “berjarak” akan diganti dengan model partisipatif. Program “Open Door Policy” akan diterapkan untuk meningkatkan transparansi internal.
Respons Pegawai Terhadap Kebijakan Baru
Survei internal Februari 2025 menunjukkan 78% pegawai menyambut positif inisiatif ini. “Ini langkah maju untuk demokratisasi lembaga,” komentar salah satu penyidik senior.
Putusan MK pada Masa Jabatan KPK
Perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari 4 ke 5 tahun dinilai mampu menjaga konsistensi program pemberantasan korupsi. Analis kebijakan dari Universitas Indonesia, Dr. Rina Wijayanti, menyebut keputusan ini “strategis untuk menghindari vakum kepemimpinan.”
rst | bkb