~ Dr. Wendra Yunaldi, SH. MH
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penangangan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuagan diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2020.
Sekalipun hanya terdiri dari 28 pasal, Perppu ini dapat dikategorikan sebagai peraturan “sapu jagad”, Jimmly Asshiddiqie memandang Perppu ini sebagai contoh penerapan “omnibus law”.
Sebab, banyak ketentuan hukum yang terdapat dalam hampir 12 UU kemudian tidak diberlakukan sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 28 Perppu ini.
Dalam klausul menimbang huruf b dikatakan: bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
Baca juga : Immunitas KSSK dalam Situasi Darurat
Menguatkan alasan menimbang Perppu ini, dalam penjelasan Perppu disebutkan ada tiga dasar penting yang dijadikan landasan oleh Presiden dengan mengakomodir Keputusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang berisi : a) karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; b). Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan c). kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sebagai warga negara, kita pun sangat berkepentingan terhadap Perppu ini, sebab dampak yang dirasakan, khususnya dalam aspek ekonomi dan kesejahteraan masyarakat benar-benar dirasakan sebagai ancaman yang berbahaya untuk keutuhan negara.
Oleh karena itu, dengan terbitnya Perppu ini tentu diharapkan benar-benar menjadi solusi konstruktif yang secara langsung dapat dinikmati dan menekan angka ketidaksejahteraan masyarakat.
Terkait dengan upaya pemerintah mengantisipasi dampak dari Covid 19, langkah-langkah otoritatif yang bersifat kewenangan mutlak pemerintah di antaranya ; a) melakukan tindakan yang menjadi beban bagi APBN yang anggarannya belum atau tidak cukup tersedia, b) menerbitkan surat utang negara, c) kewenangan menteri keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan dan atau keringanan bea masuk, d) memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek dan khusus, e) memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan, f) keseluruhan biaya yang dikeluarkan KSSK bukan merupakan kerugian negara, dan g) seluruh keputusan KSSK bukan merupakan objek gugatan baik perdata maupun pidana.
Kewenangan mutlak yang diberikan oleh Perppu ini untuk mencegah dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian negara, oleh karena Perppu inipun merupakan bentuk dari produk hukum, maka asas-asas dan prinsip-prinsip negara hukum tidak dengan begitu saja dapat diterobos oleh pemerintah (KSSK).
Sebagai produk hukum yang berlaku terbatas setelah tercapainya kepentingan urgensi yang menjadi dasar terbitnya Perppu, maka selama pelaksanaan Perppu tersebut tetap harus diawasi dan dikontrol oleh lembaga-lembaga negara seperti DPR, BPK dan maupun KPK.
Sebab, fungsi DPR sebagai pengawas, asas-asas administrasi pemerintahan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, tugas BPK dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, serta asas-asas dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Merupakan norma legalitas yang akan menjadi batu uji bagi keberlakuan Perppu ini nantinya.
Dengan adanya kontrol dan pengawasan hukum oleh masing-masing lembaga terhadap kebijakan pemerintah, hal ini tentu diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah benar-benar sesuai dengan prinsip dan kaidah negara hukum. Jangan sampai terjadi kemudian, keseluruhan tindakan yang diambil oleh pemerintah atas dasar Perppu ini dianggap sebagai tindakan luar biasa yang berpotensi terjadinya kerugian negara dan dirugikannya hak-hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
Bagaimanapun, aturan memberi kewenangan mutlak kepada pemerintah untuk melaksanakan fungsinya, hal itu tidak lantas memposisikan pemerintah serba benar dan serba betul. Sebagaimana dikemukakan Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Kita mesti belajar kepada kebijakan pemerintah yang over confidence, seperti kasus BLBI dan Bank Century. Dengan logika pembenaran yang diambil pemerintah, ternyata kemudian menjadi masalah besar bagi negara ini.
~ Penulis, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
~ Gambar oleh succo dari Pixabay