Image by Wokandapix from Pixabay

Perlukah Umat Dibuatkan Parpol lagi

BILA insting adalah akumulasi pengalaman yang panjang dan pengetahuan yang luas, maka sebagaimana insting bisnis adalah prasyarat awal bagi orang yang ingin membuat institusi bisnis. Begitu juga bagi orang yang ingin mendirikan parpol baru. Insting politik menjadi prasyarat awal bagi orang yang ingin mendirikan partai politik. Berat tapi begitulah syaratnya.

Namun bila kita baca-baca UU tentang Partai Politik, UU Nomor 2 Tahun 2011, ataupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 yang mengatur syarat-syarat pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu 2019, maka mendirikan partai politik jauh lebih kompleks dibanding dengan mendirikan lembaga bisnis. Bila uang adalah modal utama pendirian sebuah perusahaan, maka pendirian partai politik bukan hanya membutuhkan modal yang kuat, tapi juga jaringan yang luas.

Misalkan saja. Dalam Pasal 3 Ayat 1 UU 2 tahun 2011 disebutkan bahwa Partai politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi Badan hukum. Kementerian yang dimaksud pastinya Kementerian Hukum dan HAM.

Sementara dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa Partai politik harus mempunyai kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75 persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Partai juga harus memiliki kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum

Hal lain yang juga harus diingat bahwa KPU sebagai penanggung jawab penyelenggara pemilu dan yang memverifikasi partai politik calon peserta pemilu, membedakan proses verifikasi bagi partai yang baru berdiri dan partai yang sudah mempunyai kursi di parlemen.

Bila verifikasi partai politik yang sudah eksis cukup verifikasi administratif, maka verifikasi partai baru adalah verifikasi faktual. Tim verifikator tidak akan duduk di balik meja untuk mengecek kelengkapan administratif, tapi dia juga akan turun ke lapangan langsung.

Soko Guru Demokrasi

Namun bagaimana pun juga, partai politik adalah soko guru demokrasi. Demokrasi sebagai sistem yang menjadi kesepakatan bersama untuk mengelola kehidupan politik, tidak akan berdiri kukuh bila tidak ditopang dengan partai politik. Partai politik yang kuat, akan menjadi penopang kuat kehidupan demokrasi. Partai politik yang lemah, akan menjadi awal ambruknya demokrasi kita.

Kita tidak hanya butuh mendirikan partai politik, tapi juga harus membangun partai politik yang kuat dan sehat sehingga demokrasi sebagai cita-cita membangun masyarakat yang lebih makmur dan sehat, akan terwujud.

Partai politik adalah saluran artikulasi kepentingan politik yang sah dan konstitusional. Kesimpulan bahwa Partai politik itu perlu, itu benar adanya. Tidak bisa dibantah.

Sayangnya premis pentingnya partai politik yang sudah menghunjam sedemikian kuat dalam benak masyarakat, menimbulkan pemahaman keliru yang juga berujung pada langkah keliru.

Premis pentingnya partai politik memang telah membuat orang berinisiatif melakukan perbaikan kepada partai politik. Baik berupa intensitas kritik tajam terhadap partai politik, maupun perbaikan regulasi dalam mengatur partai politik. Sayangnya, premis pentingnya partai politik telah membuat orang berkesimpulan bahwa partai adalah satu-satunya instrumen penting dalam membangun kehidupan politik kita sehat dan membuat orang menjadi begitu terpaku pada partai politik. Seolah hanya partai politiklah yang akan membuat kehidupan politik kita sehat. Padahal kehidupan politik yang sehat tidak hanya mesti ditopang oleh partai politik tapi juga ekosistem politik itu sendiri.

Hal terakhir inilah yang abai dilihat. Ironisnya, justru ekosistem politik inilah yang dalam beberapa waktu terakhir ini justru yang mempengaruhi dinamika partai politik.

Dinamika politik yang sehat pastinya mesti ditopang oleh partai politik yang sehat. Partai yang tidak menjadi sarang korupsi dan bahan permainan oligarki, adalah partai yang kuat dan sehat dan akan menjadi penopang kehidupan politik yang sehat.

Namun partai politik yang sehat juga mesti ditopang oleh ekosistem politik yang sehat dan kuat. Partai akan terus menjadi sarang korupsi kalau dia dikelilingi oleh lembaga survei minus kredibilitas dan kompetensi.

Partai juga akan terus menghitam kalau masyarakat dan tokoh-tokohnya menyambut politik uang yang mereka praktikkan. Kehidupan politik yang sehat bukan hanya membutuhkan partai politik yang sehat, tapi juga ekosistem politik yang kuat.

Ekosistem Politik

Dalam dunia teknologi informasi yang sekarang menjadi keseharian hidup kita, siapa pun tahu bahwa Apple merupakan pemuncak perusahaan dunia. Valuasi yang dimiliki perusahaan berlogo buah apel ini, jauh di atas kompetitor sejenisnya seperti Samsung atau Asus.

Meski begitu, Samsung dan Asus sebagai kompetitor bukan sama sekali tidak mempunyai kelebihan dibanding Apple. Samsung dikenal sebagai vendor teknologi informasi dan komunikasi dengan fitur-fitur inovatif yang sangat menyenangkan pengguna Sementara Asus, adalah vendor asal Taiwan yang dianggap mampu merangkai hardware kelas dunia. Ketika orang masih memakai PC rakitan untuk pemakaian sehari-hari, motherboard Asus adalah prasyarat utama untuk sebuah komputer rakitan yang handal.

Namun Apple tetap di atas keduanya. Karena Apple mempunyai sesuatu yang sulit tertandingi yaitu membangun ekosistem pengguna. Apple bukan hanya menghadirkan developer terbaik untuk menunjang sistem operasi yang mereka kembangkan, tetapi mereka juga sangat kukuh memegang keamanan data pemakainya. Saking kukuhnya Apple menjaga data penggunanya, pihak Apple menolak permintaan pemerintah Amerika yang ingin diberikan akses pada salah satu penggunanya yang disinyalir terlibat teroris. Membangun ekosistem pengguna IT, menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya Apple memperkenalkan kreasinya.

Begitu juga dalam politik. Politik yang sehat pasti membutuhkan partai politik yang sehat dan kuat. Namun bukan hanya itu. Kehidupan politik yang sehat juga mensyaratkan ekosistem politik yang sehat dan kuat.

Dalam keseharian kita, membangun ekosistem politik yang sehat inilah yang juga sangat berat dan menjadi tugas bersama. Para intelektual publik, agamawan, pemimpin-pemimpin ormas, tokoh media, berada di garda paling depan untuk membangun ekosistem politik yang kuat. Merekalah yang mempunyai tugas berat untuk terus menerus mengingatkan masyarakat supaya tidak terjebak praktik politik uang, memperkuat daya imun masyarakat terhadap serangan politik uang, dan membangun kesadaran publik untuk mengedepankan nalar sehat di setiap pemilu.

Namun sayangnya, hal itu tidak terjadi. Dalam beberapa pemilu terakhir, kelompok masyarakat yang semestinya berdiri paling depan membangun ekosistem politik, malah menjadi bagian dari partai politik untuk memanipulasi publik.

Pertautan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini yang mewujud dalam bentuk instant messaging juga media sosial, sudah menunjukan kepada kita bahwa politikus bukan lagi satu-satunya komunitas yang terlibat politik dagang sapi dalam politik elektoral kita yang padat modal. Tetapi hal itu juga ditunjukkan oleh para agamawan, pimpinan ormas juga para intelektual publik.

Untuk mengingatkan pentingnya membangun ekosistem politik dalam kehidupan kita, mungkin ada baiknya kita mengingat kembali apa yang disampaikan oleh salah seorang Intelektual Muslim Indonesia yang pernah ada dan layak menjadi rujukan; almarhum Kuntowidjoyo. Ketika Indonesia memasuki fase baru kehidupan politik pasca jatuhnya Presiden Soeharto, banyak orang yang berbondong-bondong mendirikan partai politik. Di antaranya adalah umat Islam yang merasakan perlunya mendirikan partai politik untuk mengakomodasi aspirasi politik kelompok muslim.

Dalam salah satu tulisannya di buku “Identitas Politik Umat Islam” almarhum mengingatkan bahwa politik senyatanya adalah gejala permukaan saja. Jauh di bawahnya ada dinamika sosial, mobilitas ekonomi dan sosial serta kemajuan pendidikan yang membentuk wajah politik yang ada di permukaan.

Dalam dinamika sosial politik kita, mungkin gerakan 212 adalah gambaran sederhana dari pandangan diatas. Ketika gerakan 212 mengemuka, banyak partai-partai, utamanya partai Islam, yang mengidentikan diri dengan gerakan tersebut. Alasannya adalah karena kesamaan visi.

Namun siapapun tahu bahwa massa 212 bukanlah kreasi partai politik. Partai politik tidak pernah mampu membuat gerakan massa semasif itu. Mereka justru adalah buah dari aspirasi sosial politik masyarakat yang selama ini tidak tertampung oleh partai. Massa 212 itulah yang kemudian memaksa partai untuk meredefinisi dirinya dan agendanya di hadapan masyarakat.

Generasi Milenial

Munculnya generasi milenial, bagaimana pun bukan kreasi partai politik. Munculnya generasi milenial berawal dari konvergensi teknologi informasi dan komunikasi yang disambut dengan meningkatnya jumlah usia produktif masyarakat. Term milenial bukan term Industry 4.0 atau Society 5.0 yang diformulasikan negara dengan para pengambil kebijakan. Namun term milenial itulah yang telah mengubah partai untuk merumuskan ulang identitas dan kiprah dirinya di tengah masyarakat.

Parpol Sedang Rusak

Tidak ada yang salah bila ada yang berkesimpulan bahwa partai politik kita sedang rusak. Kita mesti membenarkan kesimpulan tersebut. Hanya saja kesimpulan tersebut mesti diperpanjang. Bahwa yang rusak sekarang ini bukan hanya partai politiknya tapi juga ekosistem politiknya. Keadaan akan makin rusak manakala orang yang bertugas membenahi dan menjaga ekosistem politik, malah beralih mengurus partai politik.

Ketika teori aus mengingatkan bahwa sesuatu itu akan hilang karena tidak memberi daya guna bagi masyarakat, maka selayaknya kita kuatir bahwa ide mendirikan partai baru di kala masyarakat sedang kuatir dengan penyebaran wabah, lebih mencerminkan obsesi politik inisiatornya, ketimbang menjawab kebutuhan masyarakat.

Penulis, Delianur, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
Image by Wokandapix from Pixabay