Gambar oleh succo dari Pixabay
Sumatera Barat, semenjak terbitnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tentang Nagari 3 (tiga) buah; Perda Sumbar Nomor 9 Tahun 2000, Perda Nomor 2 Tahun 2007 dan Perda Nomor 7 Tahun 2018 yang mengatur mengenai pemerintahan nagari.
Pertanyaannya, apakah dengan pengalaman tiga buah peraturan daerah itu, dan pengalaman 19 tahun ber-Nagari, yang menjadi cita-cita mulia dari konsep “babaliak ka nagari” telah sesuai dan memenuhi harapan semua masyarakat Sumatera Barat terhadap keberadaan Nagari.
Tujuan terpenting dari sebuah produk hukum, di samping memenuhi tuntutan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, lebih dari itu secara substansial dan pokok, kehadiran peraturan daerah adalah untuk menjadi alat perubahan sosial dan sekaligus merekayasa kehendak-kehendak masyarakat yang selama ini terpendam agar berkesesuaian dengan kondisi kekinian.
Peraturan Daerah tentang Nagari bagi masyarakat Sumatera Barat tentu bukan sekedar menghidupkan masa lalu untuk menghidupkannya kembali di masa depan, lebih dari itu.
Tetapi tanggungjawab sosial dan kebudayaan bagi masyarakat dengan pranata sosial yang telah mencerahkan itu sangat penting untuk direkonstruksi sehingga dapat memenuhi kehidupan sosial dan politik yang lebih baik. Sebagaimana juga di masa-masa dahulu, Nagari berhasil menciptakan oase demokrasi bagi masyarakatnya.
Baca juga: Perda Nagari Sumbar Miskin Visi Kebudayaan Minang
Dengan tiga kali perubahan Perda Nagari, dengan fase-fase perubahan yang memakan waktu 19 (sembilan belas) tahun dengan berbagai dinamika aktualisasinya, apakah konstruksi ideal yang diharapkan dari sistem Nagari benar-benar telah berhasil diwujudkan?
Atau sebaliknya, dengan perubahan-perubahan tersebut, konsepsi dasarnya semakin jauh mengikuti kecenderungan nasionalisasi, sebagaimana dialami oleh Desa di Jawa.
Menguji kelayakan ini sangat penting, sebab ber-Nagari bukan sekedar euforia dan bukan pula sekedar memenuhi kehendak perundang-undangan yang ‘nota bene’ cenderung mengkonstruksi tatanan sosial dalam persepsi pemerintah.
Adapun standar normatif untuk mengukur keberhasilan pengaturan Nagari, sekalipun tidak diatur dalam Perda Nagari, mengacu kepada pengalaman-pengalaman konseptual dan gagasan-gagasan aktual yang dialami oleh banyak masyarakat di berbagai Nagari di Sumatera Barat, setidak-tidaknya dapat disebutkan sebagai berikut :
Standar-standar normatif tersebut tentu penting untuk dikedepankan, sebab ber-Nagari berarti menciptakan space dan ruang belajar publik yang dengan nilai-nilai sebagaimana tumbuh dalam masyarakat Nagari dapat mendorong kehidupan yang lebih baik, terhormat dan bermartabat.
Oleh karena itu, menjadi benar kemudian, bahwa gagasan konstitusionalisasi masyarakat Desa yang dikemukakan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie adalah untuk mempersiapkan lahirnya masyarakat madani sehingga tersedia kebutuhan bangsa ini terhadap pemimpin-pemimpin yang lahir dari komunitas yang terlatih dan terbiasa dengan kesadaran politik bermartabat dan demokratis.
*Penulis, Irwan, S.H.I, M.H., Advokat & Sekretaris Eksekutif Portal Bangsa Institute
KPK menyebut direksi LPEI menerima “uang zakat” sebesar 2,5% hingga 5% dari total kredit yang…
“Kami hormati proses hukum, seperti dulu kami bersama Kejaksaan selamatkan Garuda agar tetap terbang,” ujar…
“Kewenangan ini ada di tangan KPU RI. Untuk sementara, kami ambil alih sesuai PKPU Nomor…
Senator AS Lindsey Graham, yang menyebut pertemuan itu sebagai “bencana mutlak dan total.”
"Kalau kita punya budaya malu, kita semua harus mundur," tegasnya.
"Penyidik juga sedang menelusuri kemungkinan keterlibatan oknum jaksa lain yang menerima aliran dana dari AZ,"…