
“Menjadi wartawan bukan soal pekerjaan. Tetapi soal sikap hidup, tentang keberpihakan yang jelas pada kemerdekaan, keadilan dan kebenaran.”
Begitu pemahaman saya atas profesi wartawan, jurnalis.
Saya sebenarnya lupa, berapa puluh tahun sudah mengabdi dengan kata, mengukir kisah, meninggalkan tapak jejak, sebagai wartawan, jurnalis, ketika tiba-tiba pada tanggal 9 Februari 2025, malam, masuk pesan via WA.
“Selamat untuk pengabdian 41 tahun, Nuk. Selamat untuk kesetiaan pada identitas, menjadi jurnalis yang keberpihakannya jelas.”
Saya tertegun, 41 tahun sudah? Dan ada yang mengingatnya dengan pasti. Secepat itukah waktu? Secepat itukah tulisan berjalan? Ah, berarti saya yang sudah tua.
Pesan WA itu datang ketika baru saja saya menerima sertifikat, kartu dan pin PCNO, Pers Card Number One, dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di Banjarmasin. Bertepatan dengan hari dan acara peringatan 79 tahun organisasi PWI.
Pesan WA itu bermakna dua arah. Memperoleh PCNO sebagai penghormatan untuk jumlah waktu pengabdian sebagai wartawan. Atau PCNO untuk kesetiaan, integritas dan pilihan tanpa jeda. Pilihan untuk tetap menjadi jurnalis di tengah gempuran profesi lain yang lebih menggiurkan.
Suatu kenyataan, banyak jurnalis yang beralih profesi, baik sementara atau selamanya. Ada yang menjadi politikus, PNS, pengusaha. Ada yang benar-benar meninggalkan dunia kewartawanan. Ada juga yang bolak-balik. Bahkan ada yang menduakan profesi.
Tentu, saya tidak ingin memberi nilai pada yang mendua, karena ternyata kehebatan dan kemakmuran di profesi lain tapi tetap ingin bertahan sebagai wartawan.
Saya kembali ingat pesan WA tadi, tentu dari orang yang sangat dekat, satu-satunya yang memanggil saya dengan sebutan Nuk. Jika hanya sekedar waktu, tentu sangat gampang dapat PCNO. Cukup mengabdi 25 tahun sudah cukup untuk meraih sebutan bergengsi itu.
Tapi tidak. Syaratnya cukup banyak jika tidak boleh dibilang berat. Selain mengabdi dalam kurun waktu panjang, tidak boleh terputus juga ada syarat lain; punya karya dalam bentuk buku, atau pernah menulis buku. Tentu tidak semua wartawan bisa menulis buku.
Jika ada yang masih belum 20 tahun jadi wartawan tanpa ada karya buku atau keluar masuk sebagai wartawan ternyata dapat PCNO juga, tentu saya tidak mengerti di mana salahnya, jika itu memang terjadi. Tentu saya berharap itu tidak terjadi.
Setelah pesan manis via WA yang mengingatkan waktu pengabdian saya sebagai jurnalis, ada pula pesan lain masuk dan itu baru saja. Pesan itu berbunyi: “Bagaimana jika PCNO itu dicabut jika PWI versi lain yang menang?”
Memang saya harus peduli? Tidak. Karena yang kisruh organisasi, bukan profesi. Saya dengan PCNO atau tanpa PCNO tetap seorang jurnalis, yang juga seorang penulis. Saya berpihak pada profesi.
Organisasi adalah ibarat payung bagi anggotanya, panas atau hujan jadi tempat berteduh. Seorang jurnalis juga rentan mengalami kekerasan, di-bully hingga dianiaya. Jika saat menjalankan profesi terjadi sesuatu, itulah saatnya organisasi diperlukan, tampil membela. Selain itu, organisasi juga sebagai tempat bersilaturahmi para anggota.
Sebagai anggota PWI saya juga tidak mau terlibat caci-maki, membunuh karakter kawan seprofesi hingga ancam mengancam. Saya lebih memilih menunggu proses hukum berjalan, proses organisasi berjalan dan kebenaran akan datang pada waktunya.
Bukan sekali ini PWI kisruh. Di awal reformasi juga terbelah. Ada PWI, ada PWI Reformasi. Tapi waktu berpihak pada PWI dan PWI Reformasi mati dengan sendirinya.
Apakah saya tidak berpihak? Pasti ya berpihak. Saya berpihak pada ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Saya berpihak pada ketentuan tertulis yang disahkan oleh negara, karena semua organisasi mesti memiliki legitimasi dari negara.
Dan malam ini saya pandangi lagi kartu PCNO dan juga Kartu PWI. Jika saya sudah 41 tahun jadi jurnalis berarti selama itu pula saya sudah jadi anggota PWI. Jika tiba-tiba kebanggaan saya hilang, itu hanyalah untuk organisasi, bukan profesi.
Saya telah memilih jalan ini untuk pengabdian dan akan tetap di jalan ini. Bahkan andai pun tiba-tiba benar PCNO dan Kartu PWI itu harus tinggal kenangan, saya tetap seorang jurnalis. Itulah pengabdian dan profesi. Selalu dan selamanya.
Luzi Diamanda
Insert Photo : Luzi Diamanda , dok. Pribadi
Featured Ilustrated by Dall.E