Generasi Milenial – The New World sudah berlangsung, ketika dideklarasikannya revolusi industri 4.0. Sejarah baru tatanan dunia akan membentuk karakteristiknya sendiri. Perubahan sebagai suatu keniscayaan tidak dapat dielakkan. Titik balik peradaban oleh Fritjof Capra sudah didengungkan untuk menjungkirbalikkan teori-teori lama yang tidak lagi mampu menjawab kebutuhan dunia baru.
Paradigma manusia tidak lagi dibangun berdasarkan nilai dan prinsip hidup. Melainkan mengikuti produk-produk teknologi yang dipersiapkan dalam konteks global dan mendunia. Manusia digiring mengikuti lorong panjang sejarah peradaban baru tanpa dapat melihat kiri dan kanan. Seperti seekor kuda yang ditutup kedua sisi matanya agar fokus melihat ke depan.
Berbagai aspek kehidupan manusia terus berubah. Politik global, ekonomi, kebudayaan, dan hukum global, semuanya dibangun dengan konsepsi globalisasi yang modern tanpa sama sekali memandang ke belakang sejarah tatanan bangsa-bangsa.
Bangsa-bangsa terbelakang diperkenalkan dengan teknologi baru, negara-negara berkembang diberikan fasilitas menikmati teknologi baru dan negara-negara maju mengatur siklus perekonomian dunia agar keseimbangan tercipta.
Pusaran kekuatan dunia global berada pada titik episentrum barat dengan memaksa semua negara mengikuti gerak evolusioner peradaban baru sekaligus dengan perangkatnya. Kemandirian dan otonomi berada dalam diktum modernitas yang belum dan bahkan tidak dimiliki oleh dunia selain barat.
Ideologi sebagai simbol perjuangan negara-negara baru telah mati kata Francis Fukuyama. Dan future shock Alvin Toffler benar-benar memukau seluruh dunia baru untuk membuang apa yang menjadi simbol cultural identity lama mereka.
Ketika perang mortir telah berakhir, perang dingin antarnegara pun telah usai, kebutuhan terhadap perang kekayaan (the new war: capitalism) menjadi momentum negara-negara miskin dan berkembang. Simbol-simbol individualisme semakin menguat dan tumbuh subur tanpa sama sekali adanya kemampuan negara untuk mengaturnya. Apa yang oleh Indonesia sebut sebagai upaya membangun wawasan Nusantara dengan mengantisipasi ancaman dan tantangan dari dalam negeri maupun luar negeri semakin kehilangan makna.
Baca juga: Pancasila dan Revolusi Industri 4.0
Sarkar melihat pemimpin-pemimpin negara dewasa ini terperangkap untuk melakukan tindakan-tindakan politis guna mengantisipasi terjadinya geo-sentiment. Semangat revolusioner kemerdekaan telah diganti oleh kampanye-kampanye simbolik pemimpin partisan. Kemerdekaan dan kemandirian negara dan bangsa tidak lagi menjadi penting dan strategis. Kontrak politik negara dengan negara-negara lainnya begitu menggiurkan dan mendorong penguasa untuk lebih bekerja sama dengan kepentingan asing daripada kepentingan bangsa sendiri.
Dalam dinamika modernisasi, yang dipertegas dengan sikap ketidakpatuhan dan peminggiran identitas asli bangsa Indonesia yang berkarakter religius, komunalistik, dan gotong-royong, ini semua dipandang sebagai sentimental metamorfosis untuk menggelabui, sebagaimana terbaca dari penemuan-penemuan ahli Belanda terhadap kebudayaan asli Indonesia.
Akibatnya, apa yang dimiliki, tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan bangsa sendiri menjadi asing, aneh dan tidak memiliki kekuatan cukup untuk menjadi fondamen bangsa dalam kemandiriannya. Padahal, Amerika, Jerman, dan Jepang sendiri tetap berani mengungkap karakteristik bangsanya sebagai tatanan sosial yang terbaik dibandingkan dengan tatanan negara-negara lainnya.
Tercerabutnya akar world view atau ideologisme bangsa itu tentu bukan berdiri sendiri. Ada faktor-faktor semangat globalisasi yang dipaksakan untuk mengadopsi sesuatu yang berasal dari luar. Hal ini disengaja agar kekuatan-kekuatan suatu bangsa menjadi lemah dan tercerabut dengan sendirinya.
Bagaimana kita menatap dan mempersiapkan sejarah masa depan Indonesia. Problem ini tentu perlu dikaji mendalam, dengan tetap mengacu kepada kompleksitas dinamika tarik ulur kepentingan dunia global yang terus menerus memaksakan tatanan baru bagi negara-negara miskin dan berkembang. Dalam perspektif teori ketergantungan, new order bukan menciptakan pemerataan, melainkan tumbuhnya sikap tidak bisa melepaskan diri negara-negara miskin dan berkembang terhadap negara-negara modern dan maju.
Local genius Indonesia “berketuhanan”, “berkemanusiaan”, “berpersatuan”, “berkepemimpinan yang bijaksana”, dan “ berkeadilan sosial” menjadi distingsi antara Indonesia dengan negara dan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Letak kekuatan sebuah peradaban bangsa bertumpu pada local genius-nya, yang sekaligus menjadi perekat dan pembeda karakteristiknya dengan budaya-budaya lain di dunia.
Karakteristik yang dibangun dengan potensi local genius tersebut, akan menjadi “kehormatan” bagi bangsa Indonesia. Rakyat Amerika akan terhina jika mereka mengorbankan hak individual masyarakatnya, sebab, itu yang diajarkan oleh George Washington, kebebasan merupakan identitas asli Amerika yang telah diperjuangkan oleh the founding father Amerika. Demikian juga dengan negara-negara maju dan modern lainnya, mereka percaya dengan ajaran, paham dan gagasan mulia yang dibangun oleh para pendiri negaranya. Itulah yang menjadi prinsip kehormatan dan harga diri mereka.
Jiwa generasi milenial harus merupakan refleksi dari local genius bangsa Indonesia. Sebab, individu warga negara Indonesia akan tetap menjadi Indonesia yang memiliki “kehormatan” ideologisnya pada Pancasila. Hal yang sama juga berlaku di negara-negara lainnya. Sekalipun warga Indonesia berpindah menjadi warga negara asing, karakteristik ke-Indonesiaan-nya tidak akan pernah berubah. Sebagaimana tidak akan berubahnya hukum alam, oleh karena penemuan-penemuan baru oleh para saintis.
Ideologi baru generasi milenial yang akan mengonstruksi cara berpikir, berlaku, dan bertindaknya, sadar atau tidak, dibangun dengan sentimen lokalitas di mana mereka dilahirkan. Inilah sebagai kekuatan yang melahirkan harga diri “kehormatan” generasi milenial.
~ Penulis, Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumbar.
~ Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay