Pada masa kolonial Lucien Adam menulis buku dengan judul “De Autonomie Van Het Indonesische Dorp (Otonomi Desa Indonesia)” yang bertarikh 1924. Buku ini ditulis untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu hukum pada Universitas Kerajaan di Leiden atas bimbingan Rektor Mr. A.J. Blok, profesor di Fakultas Hukum yang dipertahankan pada Kamis, 23 Oktober 1924. Beberapa penulis Desa yang bercerita tentang otonomi desa ada yang menyebut nama Lucien Adam yang menulis tentang ini.
Akan tetapi, saya menduga mereka tidak membaca buku aslinya karena yang mereka uraikan tidak sama dengan isi buku ini. Mereka mungkin hanya pernah membaca buku lain yang menyinggung secara sekilas bahwa desa mempunyai otonomi asli sebagaimana ditulis oleh Lucien Adam.
Pembagian Bab Buku Lucien Adam
Buku karya Adam tersebut terdiri atas enam bab. Bab I berjudul “Het Begrip-Dorps Autonomie, Litteratuur, Inlandsche-Gemeente-Ordonnanties (Pemahaman Otonomi Desa, Kepustakaan, dan Ordonansi Gemeente Pribumi)”. Bab II berjudul “Autonomie Ten Opzichte Van Het Bepalen Van Eigen Omvang En Zelfstandig Bestaan (Otonomi Sehubungan dengan Penetapan Jangkauan dan Keberadaannya)”. Bab III berjudul “Autonomie Ten Opzichte Van Het Bepalen Van Eigen Organisatie (Otonomi Sehubungan Dengan Penetapan Organisasi Sendiri)”. Bab IV berjudul “Autonomie Ten Opzichte Van Het Behartigen Van Andere Huishoudelijke Belangen (Otonomi Sehubungan Terpenuhinya Kepentingan Rumah tangga Lain)”. Bab V berjudul “Shepping Van Dorps Autonomie (Pembentukan Otonomi Desa)”. Bab VI berjudul “Toekomsplannen Ten Aanzien Van De Dorps-Autonomie (Rencana Masa Depan Sehubungan Dengan Otonomi Desa)”.
Pengertian Otonomi Desa
Bab I berisi uraian tentang arti otonomi desa, yang menurut pustaka Inggris dan menurut pengertian asli, dan hubungannya dengan ordonansi gemeente pribumi (Inlandsche Gemeente Ordonnantie/IGO). Adam menjelaskan bahwa otonomi desa adalah “pemerintahan sendiri” yaitu pemerintahan yang dibuat oleh anggota komunitas sendiri berdasarkan hukum adat.
Pengertian ini demikian berbeda dengan pengertian otonomi dalam pustaka Inggris. “Pemerintahan sendiri” menurut pustaka Inggris adalah pemerintahan otonom yang mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Otonomi desa bukan dalam pengertian ini (pemerintah lokal otonom yang mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri) tapi pemerintahan sendiri yang dibentuk oleh anggota komunitas sendiri berdasarkan hukum adat yang tidak tertulis.
Desa yang mempunyai “pemerintahan sendiri” tersebut tersebar di Jawa-Madura, Sumatera, Sulawesi, Ambon, dan Nusa Tenggara. Desa-desa yang mempunyai “pemerintahan sendiri” oleh Pemerintah diberi istilah hukum “inlandsche gemeenten” (Regeringsreglement/RR 1854 Pasal 71) dan “inlandsche gemeente” (IGO). Dengan demikian, gemeente pribumi (inlandsche gemeente) mencakup desa, nagari, marga, kuria, negeri, dan lain-lain yang terdapat di semua wilayah di Indonesia. Akan tetapi, desa-desa yang mempunyai “pemerintahan sendiri” tersebut setelah diatur dengan Pasal 71 dan IGO otonominya sudah menyimpang dari aslinya.
Jumlah, Penduduk dan Hak Desa
Bab II berisi uraian tentang jumlah desa dan penduduknya, jangkauan otonomi desa, dan keberadaannya. Adam menjelaskan bahwa berdasarkan Ajun Inspektur Urusan Agraria J.W. Meyer Ranmneft pada tahun 1920 jumlah desa 24.034. Di luar Jawa di pantai Barat Sumatra kira-kira 500, di Minahasa pada tahun 1920 sekitar 300, dan di Seram pada tahun 1923 kira-kira 350.
Jangkauan otonomi desa adalah hak penguasaan tanah. Desa mempunyai tanah sendiri yang diperoleh dari pembukaan hutan dan penguasaan tanah atas lahan-lahan yang masih kosong. Adapun tentang keberadaan sistem ini, Adam menjelaskan bahwa keberadaannya dapat dibagi menjadi dua kurun. Kurun pertama pada zaman kerajaan-kerajaan pribumi pra kolonial. Pada kurun ini Desa menikmati kebebasan otonominya. Kurun kedua di bawah pemerintahan Eropa. Pada kurun ini otonomi desa diatur oleh Pemerintah di bawah RR 1854 Pasal 71 dan IGO 1906. Berdasarkan beleid ini, Desa dipaksa untuk bergabung dan membentuk ikatan-ikatan baru sesuai dengan kemauan Pemerintah.
Struktur Pemerintahan Desa
Bab III berisi uraian tentang struktur pemerintahan desa otonom, penggajian penguasa desa, penetapan warga desa, dan pengelompokan warga desa. Adam menjelaskan bahwa struktur pemerintahan desa ditentukan oleh hukum adat. Penguasanya diatur sendiri oleh warga desa. Di bawah raja-raja pribumi, Raja hanya mengakui saja. Sebagian besar kepala desa diangkat secara turun temurun, tidak dipilih menurut model pemilihan sebagaimana dipraktikan di dunia Barat.
Pemilihan kepala desa yang sudah berlangsung adalah kebijakan Raffles yang diteruskan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui RR 1854 Pasal 71, IGO 1906, dan Ordonansi Pemilihan Kepala Desa 1907. Akan tetapi, kebijakan ini tidak bisa diterapkan di mana-mana. Banyak desa di luar Jawa-Madura mengangkat kepala desa menyimpang dari peraturan ini. Bahkan di beberapa tempat Residen mengangkat langsung kepala desa, tanpa pemilihan.
Gaji Perangkat Desa
Terkait penggajian penguasa desa, Adam menjelaskan bahwa penggajian penguasa desa berdasarkan tanah milik desa, kerja wajib warga desa tepatnya kerja paksa yang disebut gotong royong, dan iuran/urunan warga. Penguasa desa tidak mendapatkan gaji dalam bentuk uang tapi berupa tanah dengan hak garap. Di samping mendapatkan tanah, penguasa desa mendapatkan tenaga kerja dari warga desa. Penguasa desa dapat mengerahkan warganya untuk bekerja di rumah, sawah, dan kebun kepala desa dan para pembantunya tanpa dibayar.
Bahkan perempuan desa yang sudah dewasa juga diwajibkan untuk bekerja melayani segala keperluan isteri kepala desa. Meskipun Pemerintah sudah menginstruksikan untuk membatasi kerja paksa/gotong royong tersebut ternyata tidak efektif. Warga desa tetap menanggung beban yang berat atas kerja wajib/paksa/ gotong royong ini. Warga desa juga diminta iuran/urunan untuk membiayai upacara desa, perbaikan jalan, perbaikan parit, dan lain-lain. Di samping itu, warga desa juga dikenai pungutan berupa setoran hasil panen untuk membiayai upacara desa, membangun pos jaga, dan membayar guru desa.
Kelompok Warga Desa
Mengenai warga desa, Adam menjelaskan bahwa warga desa dibagi menjadi tiga: 1) warga inti; 2) warga numpang; dan 3) orang asing. Warga inti adalah para anak turun pendiri desa, penguasa desa, dan tetua desa. Kaum perempuan tidak termasuk warga inti.
Warga numpang adalah warga desa yang berasal dari luar desa yang awalnya mencari pekerjaan di desa yang bersangkutan. Mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan sawah. Mereka hanya numpang di rumah orang-orang kaya dari warga inti untuk mendapatkan pekerjaan.
Orang asing adalah orang-orang keturunan Eropa. Untuk desa-desa di luar Jawa-Madura, yang termasuk orang asing adalah orang-orang keturunan Eropa dan orang pribumi pendatang dari luar desanya khususnya pendatang dari pulau Jawa. Orang asing dari kalangan pribumi jika sudah tinggal di desa tersebut lebih dua tahun dan dapat berasimilasi atau kawin dengan penduduk desa setempat diterima sebagai warga desa.
Mengenai kelompok warga desa, Adam menjelaskan bahwa di desa terdapat empat kelompok: 1) anak turun pendiri desa; 2) pendatang baru; 3) anak-anak orang numpang, para bujang (pemuda yang belum berumah tangga dan menumpang di rumah orang kaya); dan 4) orang cacat dan orang tua jompo. Di samping itu, juga masih ada kelompok yang disebut merkaki, morokaki, kamituwo, poncokaki, pinituwo dan sebagainya, yang diterjemahkan dengan tetua desa yang melakukan fungsi penasehat kepala desa, hakim sengketa agraria, dan pembagi sawah.
Kelompok pertama mempunyai posisi istimewa dalam kepemilikan tanah dan hak memilih dan dipilih menjadi penguasa desa. Kelompok kedua tidak mempunyai hak pilih dan dipilih. Kelompok ketiga tidak mempunyai hak apapun. Kelompok keempat menjadi tanggung jawab bersama untuk memberi santunan. Dan kelompok tetua desa merupakan orang-orang tua yang arif dan bijaksana yang sangat dihormati oleh penguasa desa dan warga desa.
Hubungan dan Kekuasaan Desa
Bab IV menguraikan isi, hubungan Desa dengan lembaga di atasnya, dan pengaruh kekuasaan bersama. Isi otonomi desa adalah pengaturan tanah untuk pertanian dan perikanan, pengaturan air untuk sawah dan perikanan, dan upacara keagamaan. Pengurus desa mengatur tanah untuk penghidupan warga desa. Hanya warga desa inti yang bisa menguasai dan menggarap tanah baik untuk pertanian maupun untuk perikanan.
Orang numpang dan orang luar desa tidak diizinkan. Upacara keagamaan diatur oleh pengurus desa. Desa juga mengurus lembaga agama: masjid, gereja, dan pura beserta penggajian petugas dan penyediaan tanah untuk perawatan dan pembangunannya. Di samping itu, Desa juga melakukan perawatan dan pembangunan jalan, jembatan, pasar, proyek pengairan, pembukaan dan perawatan makam.
Hubungan Pemerintah Desa dengan lembaga di atasnya terbagi menjadi dua masa. Pada masa kerajaan pra Hindia Belanda, hubungannya sangat longgar. Hanya di Jawa otonomi desa di bawah tekanan penguasa. Bahkan sistem ini akhirnya hancur terutama di wilayah perluasan kekuasaan inti kerajaan (negaragung).
Di Aceh hubungannya cukup tertekan tapi tidak sekeras di Jawa. Di Minangkabau hubungannya sangat longgar tapi setelah pemerintah Eropa masuk, otonomi desa di bawah tekanan. Pada tahun 1855 Pemerintah melalui Pasal 71 RR 1854 dan IGO tahun 1906 melakukan campur tangan baik langsung maupun tidak langsung terhadap otonomi desa pada semua Desa.
Contoh, Pemerintah memaksa Desa untuk menarik pajak, melaksanakan perintah kerja wajib, melakukan vaksinasi, membuat statistik umum, melakukan sensus, menyusun kas desa, menyelenggarakan sekolah desa, mendirikan dan mengelola lumbung desa, dan mendirikan dan mengelola bank desa. Otonomi desa asli tidak mengenal lembaga dan kegiatan ini.
Pengaruh Pengusaha
Di samping Pemerintah, pihak lain yang melakukan campur tangan terhadap otonomi desa adalah pengusaha gula dan pengusaha perkebunan swasta/partikelir. Pengusaha gula dan pengusaha perkebunan bisa mengatur organisasi desa, kepemilikan tanah desa, kerja wajib, dan ronda. Pengusaha gula mengatur kontrak dengan kepala desa dalam penggunaan lahan pertanian. Pengusaha gula membangun irigasi untuk kepentingan tanaman tebunya dengan mengerahkan kerja paksa dari warga desa. Pengusaha perkebunan dapat mengerahkan tenaga kerja paksa untuk menyiapkan lahan perkebunan dan menjaga hutan.
Kekuatan lain yang mempengaruhi otonomi desa adalah Zending Protestan dan Missi Katolik. Dua lembaga ini berhasil membentuk jemaah menjadi komunitas baru yang menggantikan komunitas lama yang terikat dengan hukum adat. Komunitas baru ini dibangun dengan mendasarkan pada hukum Eropa, meninggalkan hukum adat.
Di Ambon, Uliaser, dan Minahasa komunitas baru yang dibentuk oleh Zending Protestan dan Missi Katolik tidak lagi terikat dan mematuhi hukum adat tapi mendasarkan diri pada hukum Eropa. Komunitas ini lebih bergaya Eropa daripada bergaya adat pribumi.
Campur tangan kekuatan luar terhadap otonomi desa mendapatkan perlawanan dari masyarakat desa. Salah satu perlawanan datang dari Blora Jawa Tengah yang dipimpin oleh Samin. Pada awal abad ke-20 perlawanan datang dari gerakan pembaruan kaum pribumi yang dipelopori oleh Sarekat Islam. Dengan adanya perlawanan ini, Pemerintah lebih berhati-hati melakukan campur tangan terhadap otonomi desa.
Pembentukan Pemerintah Desa
Bab V menguraikan pembentukan otonomi desa. Adam menjelaskan bahwa di Bangka, Belitung, Borneo, dan Sulawesi Selatan otonomi desa awalnya dibentuk oleh masyarakat desa sendiri. Akan tetapi, di Bangka Belitung hal tersebut saat ini sudah menjadi kenangan karena otonomi desa dibentuk oleh Pemerintah. Di Borneo dan Sulawesi Selatan terbentuk permukiman baru yang kemudian ditetapkan sebagai desa yang mempunyai otonomi. Akan tetapi, upaya ini tapi tidak berhasil. Pemerintah membentuk otonomi desa berdasarkan pasal 71 RR 1854 dan IGO 1906.
Di Vorstenlanden (Kasunan dan Mangkunegaran Surakarta, Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta) otonomi desa dibentuk berdasarkan kebijakan Raja yang mengadopsi Peraturan Pemerintah dan Ordonansi (pasal 71 RR 1854 dan IGO 1906). Di Vorstenlanden pembentukan otonomi desa tidak pernah mendengarkan pendapat bekel dan pemborong atau pemungut pajak dari pemegang tanah lungguh, apanage. Struktur pemerintahan desa ditetapkan sepenuhnya oleh Raja, desa tidak berperan apapun.
Adam menyimpulkan bahwa otonomi desa sulit digambarkan. Adam bimbang apakah sistem pemerintahan desa sebagaimana dipraktikan di Bangka, Belitung, Borneo Selatan dan Timur, Sumatra Timur dan juga sebagian di tanah-tanah partikelir di Batavia akan tumbuh menjadi otonomi sebagaimana dipraktikan di Barat.
Pesimis Adam berdasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia telah diperbudak berabad-abad lamanya dalam sistem kerajaan pribumi dan seabad lamanya di bawah tekanan keras para pemegang apanage Eropa, pengusaha perkebunan. Di samping itu, campur tangan pemerintah pribumi (swapraja) melalui Pranata Raja dan pemerintah Eropa melalui Pasal 71 RR 1854 dan IGO 1906 telah merugikan tumbuhnya otonomi desa menurut peradaban Barat.
Kepunahan Otonomi Desa
Bab VI menguraikan masa depan otonomi desa. Adam menjelaskan bahwa otonomi desa di Minangkabau, Bali, Ambon dengan Uliaser, Bangka, Belitung, Vorstenlanden, keberadaannya di masa depan masih terjamin. Akan tetapi, di Jambi dan Sumbawa belum pasti. Adam menduga sistem pemerintahan desa yang khas di banyak wilayah Hindia Belanda akan hilang karena pengaruh kerajaan-kerajaan pribumi, kebijakan Pemerintah, campur tangan pengusaha gula dan perkebunan, dan pengaruh Zending Protestan dan Misi Katholik. Indikasinya desa-desa di sekitar kota-kota besar sudah tidak mempunyai otonomi asli. Dan terlebih lagi desa-desa tidak dapat menjalankan otonomi aslinya tanpa pengawasan dari Pemerintah.
Residen Semarang ingin mempertahankan ikatan-ikatan desa yang mempunyai otonomi tapi bukan dalam konstruk otonomi desa asli. Otonomi yang dimaksud Residen Semarang adalah otonomi model Barat sebagaimana diatur dalam Pasal 71 RR 1854 dan IGO 1906. Otonomi desa model baru ini di bawah pengawasan Dewan Kabupaten, bukan di bawah pengawasan komunitas mandiri. Alasannya Dewan Kabupaten mengetahui isi hati komunitas desa sehingga proses asimiliasi berjalan lancar.
Modifikasi Sistem
Otonomi untuk orang pribumi dengan model asimilasi sudah diterapkan pada regentschappen (kabupaten). Ke depan model otonomi ini bisa diterapkan juga pada Desa. Dalam model otonomi baru, penguasa desa tidak lagi tunggal (di bawah kekuasaan mutlak kepala desa) tapi di bawah penguasa bersama (kolegial) dalam bentuk Dewan. Dewan Desa lah yang berkuasa sebagaimana Dewan Kabupaten pada Regentschap (Kabupaten) dan Dewan Kotapraja pada Stadsgemeente (Kotapraja).
Praktik otonomi desa pada perkembangan terakhir bisa diadopsi dalam model otonomi baru yaitu terjadinya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerintah desa yang berada di dekat pabrik gula dengan perusahaan gula. Kerja sama ini terbukti berhasil memajukan berbagai sektor kepentingan umum seperti perbaikan ternak, kondisi kesehatan, pelayanan kemiskinan, pendidikan, perbaikan rumah, dan sebagainya.
Ke depan otonomi desa tergantung pada peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal dengan persetujuan Volksraad. Usulan pembaruan otonomi desa telah disampaikan oleh Komisi Pembaharu dan Komisi Oppenheim kepada Volksraad. Usulan yang penting adalah tata cara penggabungan, pemecahan, dan penghapusan desa; peraturan agraria; hak pilih bagi seluruh warga desa (bukan hanya kepada penggarap sawah dan kaum laki-laki); sistem pemilihan kepala desa; aturan tentang tata cara Dewan Desa mengesahan keputusan; penggajian aparatur desa; hak penguasaan tanah dan air; peradilan desa; kepolisian desa; dan campur tangan hukum adat terhadap hukum privat.
Kesimpulan Lucien Adam
Lucien Adam telah mendeskripsikan otonomi desa asli secara obyektif. Praktik dari sistem yang bersumber dari hukum adat dilihat dari perspektif masyarakat modern yang beradab adalah otonomi primitif yang tidak beradab karena mendiskriminasi warga desa dalam penguasaan tanah dan hak memilih dan dipilih; mewajibkan kerja paksa dengan istilah gotong royong kepada warga desa untuk kepentingan desa dan kepala desa plus keluarganya; dan mewajibkan iuran/urunan untuk membiayai perayaan desa tanpa pengembalian kepada warga dalam bentuk pelayanan publik.
Adapun praktik otonomi desa yang bersumber dari hukum positif (Pasal 71 RR 1854 juncto IGO 1906) adalah penindasan Pemerintah kepada rakyat desa. Pemerintah tidak membangun kelembagaan yang kapabel dengan dukungan dana yang cukup, sumber daya manusia yang kompeten, gaji yang memadai bagi pengurusnya, sarana-prasarana yang cukup, dan teknologi yang tepat tapi memberi beban kepada rakyat desa untuk membuat kas desa, mengerjakan administrasi desa, mengurus lumbung desa, mengurus kredit desa, mendirikan dan mengurus sekolah desa, menggaji guru desa, dan merawat utilitas desa: jalan, jembatan, parit, gorong-gorong, saluran air, gardu jaga, sungai, dan bangunan desa.
Pembaharuan Pemerintahan Desa
Oleh karena itu, Adam tidak berpretensi mengawetkan dan mempertahankan otonomi desa asli tapi menyarankan untuk dilakukan pembaharuan dengan model asimilasi di bawah Peraturan Pemerintah yang dibaharui (kebijakan Gubernur Jenderal dengan persetujuan Volksraad) berdasarkan masukan Komisi Pembaharu dan Komisi Oppenheim.
Para penganut mazhab romantisme masa lalu dan atavisme otonomi asli desa seperti Sutoro Eko, Yando Zakaria, dan penyusun UU No. 6/2014 mungkin belum membaca buku karya Lucien Adam tersebut karena dalam semua tulisan dan pernyataannya selalu mensakralkan dan mengagung-agungkan kehebatan otonomi asli desa masa lalu kemudian secara fanatik berjuang untuk mengawetkannya dan sangat marah ketika ada pihak yang merubahnya.
Padahal Adam telah memberi informasi kepada kita bahwa otonomi asli desa masa lalu adalah otonomi primitif yang tidak beradab dan menindas rakyat desa. Bahkan Adam sendiri tidak berpretensi mengawetkan dan mempertahankan otonomi desa asli tersebut. Padahal sistem pemerintahan desa; Nagari, Gampong, Marga, dan sejenisnya sudah rusak lalu hilang.
Semoga menginspirasi bangsa Indonesia dalam pengaturan Desa ke depan yang lebih modern dan beradab.
~ Penulis, Prof. Dr. Hanif Nurcholis, Guru Besar Universitas Terbuka Indonesia
~ Gambar oleh pasja1000 dari Pixabay