Berita

Obsesi Rekor MURI, Perlihatkan Tak Sensitif pada Masalah Publik

bakaba.co, – Di kawasan Bukik Tajadi, Pasaman, lebih seribu ‘meriam’ diletuskan. Meski suara letusan tidak serentak, acara meletupkan ‘badia-badia batuang’ tersebut diganjar Rekor MURI (Museum Rekor Indonesia)

“Memang banyak terlihat ‘badia-badia bambu’ itu, tapi rasanya tidak sebanyak angka tahun Perang Paderi itu,” komentar seorang wartawan foto kepada bakaba.co. Kegiatan membuat dan meletuskan ‘meriam bambu’ di Pasaman dilaksanakan, 14 Juli 2017, dimaksud untuk memperingati perlawanan Imam Bonjol terhadap Belanda. Angka 1821 adalah simbol tahun Perang Paderi. Sebanyak angka itu pula diklaim jumlah ‘badia-badia bambu’ dibuat. 

Untuk mengadakan meriam bambu tersebut diperintahkan setiap dinas/kantor membuat 25 buah. Selain itu, kelompok masyarakat di nagari-nagari juga diminta menyiapkan ‘meriam bambu’. 

Wartawan yang datang jauh-jauh dari Padang ke Pasaman melihat acara meletuskan ‘badia-badia bambu’ merasa kecewa. “Sayangnya, acaranya hanya itu. Tidak ada acara kesenian atau hal menarik lainnya. Setelah badia-badia bambu dibunyikan ya bubar saja lagi,” katanya. 

Obsesi Raih MURI

Keinginan mendapatkan Rekor MURI yang diinisiasi Pemda menjadi semacam obsesi. Hal itu mulai terlihat di Kota Sawahlunto, tahun 2004 lalu. Mengambil momentum HUT Kota Sawahlunto, salah satu acaranya adalah makan bajamba.

Dalam aksinya, ratusan orang duduk di bawah tenda. Mereka berkelompok, lima atau empat orang menghadapi hidangan/makanan tersusun dalam dulang. Acara itu disebut ‘makan bajamba’. Seribuan orang makan bajamba secara serentak, mendapatkan sertifikat Rekor MURI (Museum Rekor Indonesia). 

Di lain waktu, di Kabupaten Agam, di Kecamatan Matua, di bawah beberapa tenda tersusun 1001 piring mangkuk berisi masakan ‘kolak labu’. Lalu, kolak labu disantap bersama-sama. Acara itu pun diberi Sertifikat MURI 1001 Kolak Labu.

Masih memakai angka 1001, juga di Agam, tepatnya 24 Januari 2009, dilakukan memasak ‘Gulai Itiak Lado Mudo’. Ada 1001 ekor itik dipotong dan hasil masakan diletakkan di 1001 belanga. Acara itu pun dapat sertifikat MURI. Kedua kegiatan 1001, 16 Februari 2011: rekor ‘kolak labu’ di Matua dan ‘gulai itiak lado mudo’ di Koto Gadang dengan label acara ‘Rang Minang Baralek Gadang’. 

Upaya untuk mendapatkan penghargaan Rekor MURI di Agam sangat gencar. Selain memotong dan menggulai 1001 ekor itik, membelah 1001 buah labu, juga dibantai dan disambal 1001 Gulai Kapalo Lauk Rang Tiku di Kecamatan Tanjung Mutiara, 21 Mei 2011.

Setelah itu digelar pula acara untuk mendapatkan penghargaan Rekor MURI berupa Penyajian 1908 Limpiang Bugih di Kecamatan Kamang Magek, 15 Juni 2011.

MURI Terus Diburu

Perburuan Rekor MURI belum berhenti. Kota Bukittinggi juga melakukannya. Tidak berkaitan dengan acara makan-makan dan memasak ‘gulai itiak’, ‘gulai ikan’. Tetapi membagikan tas untuk belanja berbahan plastik, model anyaman.

Tas tersebut menurut cerita yang berkembang buatan Cina. Tas sebanyak 11.000 buah dibagikan, 27 Februari 2017, kepada wanita-wanita pengurus Dasa Wisma dari 24 kelurahan yang ada di Bukittinggi.

 

“Uang untuk membeli tas keranjang tidak dari anggaran daerah tetapi dana pihak swasta,” kata Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias di acara yang diramaikan kaum wanita tersebut. 
Menurut berita di media, tas itu disumbang BNI 8.000 tas, BRI 2.000 tas dan Bank Nagari 1.000 tas. 

Tidak Sensitif

Perburuan Rekor MURI tidak ada hubungannya dengan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Dalam pandangan Dr. Emeraldy Chatra, dosen komunikasi UNAND, harusnya Kepala Daerah memproduksi kebijakan publik yang berdampak pada perubahan sosial. Misalnya kebijakan tentang kebersihan. 

Emeraldy Chatra mengatakan, bagaimana Kepala Daerah membuat peraturan yang mewajibkan seluruh kantor pemerintah dan sekolah memperbaiki WC sehingga jadi WC yang bersih dan nyaman. 

“Bagi sekolah dan kantor yang tidak memperbaiki toilet, diberi sanksi denda. Sebaliknya, yang bagus dan baik toiletnya diberi hadiah. Kebijakan semacam itu akan berdampak jangka panjang terhadap perilaku bersih masyarakat,” ujar Emeraldy Chatra kepada bakaba.co

Jadi kata Emeraldy, untuk apa melakukan sesuatu dengan tujuan dapat Rekor MURI. “Jika rekor itu masih dianggap penting, itulah ciri-ciri bahwa pemerintah kurang sensitif terhadap persoalan riil yang dihadapi masyarakat,” kata Emeraldy Chatra.

»asra f. sabri

redaksi bakaba

Recent Posts

Proyeksi Hasil Pemilu Jerman: CDU Unggul, AfD Kuat

"Kami harus bertindak cepat untuk melakukan hal yang benar di dalam negeri dan kuat di…

6 jam ago

Arahan SBY Jelang Kongres Partai Demokrat di ‘Tempat Bersejarah’

"Demokrat mendukung pemerintahan Prabowo dengan loyalitas penuh, namun tetap kritis secara konstruktif," tegasnya.

9 jam ago

Putin Tekankan Kimia di Forum Teknologi Masa Depan

“Kita harus menawarkan solusi dan produk yang inovatif serta kompetitif secara global,” ujarnya.

1 hari ago

47 Kepala Daerah Absen Retret Magelang, Kebijakan Partai Disorot

Tito Karnavian menyinggung hal ini dengan menyatakan bahwa tanggung jawab utama kepala daerah adalah kepada…

1 hari ago

Unjuk Rasa di Patung Kuda Berakhir, Mensesneg Prasetyo Hadi Tanda Tangani Tuntutan Mahasiswa

"Dengan ini saya nyatakan, apa yang menjadi tuntutan saudara-saudara semua, pemerintah akan menerima dan mempelajari…

3 hari ago

Hasto Kristiyanto Ditahan KPK, PDIP Sebut Sebagai Serangan Politik

"Sampai dengan hari ini tidak ada politisasi, tidak ada hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kami…

3 hari ago