~ Muhammad Nasir
Menantu – Orang Minangkabau menganut sistem residensi matrilokal. Bila seorang laki-laki telah menikah, ia akan tinggal di rumah keluarga istrinya. Statusnya di dalam keluarga istrinya adalah orang datang atau sumando. Ia sama sekali tidak mempunyai hak atas harta kaum yang ada di bawah penguasaan istrinya. Si suami tetap sebagai anggota kaum dari suku ibunya, dan si isteri tetap sebagai anggota kaum dari suku ibunya juga. Jadi masing-masing pihak tetap merupakan anggota dari kaum masing-masing. Begitulah adanya.
Sistem perkawinan ini menuai perdebatan di kalangan masyarakat Minangkabau. Tapi, eskalasi perdebatan tidak terlalu tajam, sebab pantang bagi masyarakat Minangkabau memperdebatkan hal ini di ruang publik. Meskipun demikian, suasana kebatinan masyarakat Minangkabau tidak dapat menyembunyikan ini. Kadang isu ini muncul dalam berbagai peristilahan dan pantun-pantun satire.
- Baca juga: Calon Sumando
Beberapa kritik terhadap pola residensi matrilokal ini antara lain tentang tugas laki-laki minangkabau sebagai suami, ayah, menantu ketidakjelasan pekerjaan di rumah keluarga istrinya, hubungan dengan pambayan, konflik antara ayah dengan mamak.
1| Sebagai Suami dan Ayah
Kekuasaan sumando hanya berkisar sekitar pintu biliak. Kata pepatah, sadalam-dalam aia sahinggo dado itiak, saelok-elok sumando sahinggo pintu biliak (sedalam-dalamnya air hanya sebatas dada itik, sebaik-baik semenda hanya sebatas pintu bilik). Kondisi ini dinilai sebagai pembatas kekuasaan suami terhadap istri dan anak-anaknya. Fungsi-fungsi suami dalam keluarganya tidak akan bisa berjalan secara maksimal. Apalagi kebiasaan laki-laki dalam sistem residensi matrilokal ini hanya pulang ke rumah di malam hari.
Seharian, laki-laki Minangkabau pulang ke rumah orang tuanya untuk mengolah sawah ladang, dan mengurus anak kemanakannya. Kapan laki-laki Minangkabau dapat dengan sempurna mengurus istri dan anak-anaknya?
Orang-orang terpelajar juga turut mempertanyakan, betapa tidak modernnya bentuk keluarga dalam sistem residensi matrilineal ini. “Sama sekali tak sama dengan fungsi suami dan ayah di dalam keluarga inti modern (modern nuclear family), kata Muhammad Radjab dalam bukunya Sistem Kekerabatan di Minangkabau (1969: 50). “Betapa tak bebasnya. Kapan kebebasan bermesraan antara suami dan istri dan kehangatan antara ayah dan anak-anaknya bisa terjadi?” tanya mahasiswa saya kepada temannya yang mempresentasian makalah (2019).
2| Ketidakjelasan pekerjaan di rumah istrinya.
Laki-laki Minangkabau adalah menantu di hadapan mertuanya. Menjadi menantu sering menimbulkan salah tingkah. Di satu sisi sebagai menantu ia sangat disayang oleh mertuanya. Bahkan mertuanya tidak sedikit pun mau menyinggung perasaan menantunya.
Hubungan mertua dengan menantu ini diibaratkan dengan manatiang minyak panuah, banyak lenggang minyak tatunggang. Walaupun suami sangat dimanjakan di dalam rumah tangga, ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan istrinya. Jika ia ingin terus dimanjakan, maka ia harus pandai-pandai pula menyesuaikan dirinya, tulis A.A Navis dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru (1984:194).
Namun tak elok pula bermanja-manja bermanis muka. Karena semua pekerjaan di rumah istrinya merupakan tanggungjawab mamak rumah beserta anak kemanakannya. Tentu saja tak bebas kumari kaca-sembarang awai sekadar meringankan tangan membantu-bantu secukupnya. Ruang gerak dan batas privasi (public and private sphere) sumando hanya sebatas pintu biliak.
Di dapur tempatnya perempuan, tengah rumah orang berlalu lalang, di halaman segan pula dengan orang banyak. Hanya ke sawah ladang saja yang memungkinkan. No activities for sumando in rumah gadang, begitu kritiknya.
3|Segan-menyegan dengan Pambayan
Sebagai sumando ia tidak bisa sembarangan saja berbuat sesuatu di atas rumah istrinya. Karena di sana juga ada pambayan. Pambayan berarti sesama urang sumando yang istrinya masih bersaudara atau suami dari kerabat istrinya. Ia harus pandai-pandai mengira-ngira perasaan pambayannya. Jangan sampai dituduh pula mengambil muka. Atau nyampang (andaikan) menjadi sumando berada, terbeli ini itu untuk mertua tapi dipandang lain oleh pambayan. Atau nyampang sedang tidak berada, dipandang ketapang (ampas kelapa) saja oleh pambayan.
4|Konflik dengan Mamak Rumah.
Laki-laki di Minangkabau mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Di rumah keluarga istrinya, laki-laki Minangkabau akan dibatasi perannya. Misalnya laki-laki Minangkabau boleh saja membantu mengolah sawah dan ladang, namun bukanlah sesuatu yang wajib. Sebab, sawah dan ladang di Minangkabau adalah milik perempuan (istrinya) dan kaumnya, maka kewajiban ke sawah dan ladang adalah kewajiban mamak dan anak kemanakannya.
Konflik biasanya muncul apabila laki-laki Minangkabau sebagai ayah semata-mata memanfaatkan “ketidakwajiban” membantu mengolah sawah dan ladang secara negatif. Apalagi jika ia lebih fokus mengelola sawah dan ladang orang tua atau anak kemanakan di dalam kaumnya tanpa sedikit pun berusaha menunjukkan atau membawa sedikit hasil jerih payahnya ke rumah istri dan anak-anaknya.
Begitu pun dalam bidang pendidikan. Ada pembagian peran antara ayah dengan mamak. Ayah dapat saja mendidik dan menyekolahkan anaknya sesuai dengan kemampuannya. Namun soal pendidikan adat dan tatakrama sosial, peran mamak akan lebih dominan. Mamak dapat lebih leluasa memarahi kemanakannya yang melanggar ketentuan adat dan menyalahi tatakrama pergaulan sosial. Sebab, bila seorang anak membuat sesuatu yang kurang baik, maka yang akan dipersalahkan adalah mamaknya.
Konflik biasanya muncul bila mamak tidak menjalankan kewajibannya dalam mendidik anak kemanakannya, meskipun hanya sekadar membantu biaya sekolah. Dalam kasus tertentu, kadang-kadang terjadi saling tolak menolak atau saling salah menyalahkan di antara ayah dan mamak. “Apa saja kerja bapakmu?” atau “apa saja kerja mamakmu?” merupakan ungkapan kekecewaaan yang menunjukkan adanya ketidak selarasan dalam melaksanakan tugas antara ayah dengan mamak.
Sekadar Penjelasan
Semua kasus di atas tidak sepenuhnya disebabkan oleh sistem residensi matrilokal. Sebab, dampak residensi matrilokal tersebut sudah disediakan jalan keluarnya oleh adat Minangkabau, yaitu dengan merilis daftar jenis sumando dan perangainya. Ada sumando apak paja, ayam gadang, langau ijau, lapiak buruak, gadang malendo dan yang ideal itu Sumando Niniak Mamak Namun ada pula perlunya berkomentar tentang kasus-kasus tersebut;
Pertama, kasus-kasus di atas hanya terjadi di rumah gadang yang dihuni oleh beberapa anggota keluarga. Kasus-kasus ini akan terlihat berbeda bila laki-laki Minangkabau sudah mulai membangun keluarga sendiri di sebuah rumah yang terpisah dari rumah gadang induknya. Baik rumah itu didirikan di atas pusako tinggi kaum istrinya ataupun di atas tanah yang ia usahakan sendiri.
Kedua, praktik residensi matrilokal ini juga tidak dapat diterapkan secara ketat bila rumah gadang sebagai basis hunian keluarga luas (extended family) Minangkabau sudah penuh akibat bertambahnya jumlah anggota keluarga. Bahkan dalam situasi sekarang banyak rumah gadang yang sudah mulai punah.
Ketiga, residensi matrilokal pada hakikatnya dibuat untuk mengamankan posisi perempuan dalam relasi perkawinan yang tidak hanya membentuk hubungan antara suami dan istri, tapi juga menghubungkan antar dua kerabat yang terikat dalam model perkawinan yang membentuk keluarga konjugal. Andaipun perempuan itu bercerai, ia tetap bisa tinggal di rumah gadangnya atau disambut kaumnya.
Keempat, zaman sekarang, residensi matrilokal hanyalah sebagai perayaan simbolik, karena sudah banyak keluarga Minangkabau yang sudah membuat rumah yang diusahakan sendiri di atas tanah yang bukan tanah kaum, baik di kampung sendiri ataupun perantauan.
Nostalgia sebagai sumando di rumah keluarga istri hanya dapat dilakukan bila ia masih tinggal di “rumah mertua indah” atau bilamana ada acara-acara besar keluarga yang mengharuskannya mudik bersama istri dan anak-anaknya ke rumah keluarga besar istrinya.
Kelima, kritik terhadap pola residensi lokal hanya relevan pada masyarakat Minangkabau zaman dahulu, musim pencaharian hanya ke sawah ke ladang. Tetapi tidak untuk zaman sekarang. Zaman sekarang yang banyak terjadi justru kasus-kasus ayah tak bertanggung jawab, sumando apak paja, langau ijau, lapiak buruak, gadang malendo dan sebagainya. Tiba di mamak, banyak yang tak melaksanakan tugasnya, mamak celaka, gila menjual harta pusako tinggi.
Artinya, jika sampai sekarang masih ada juga yang mempersoalkan pola residensi matrilokal ini, ada kemungkinan ia belum pernah ke Minangkabau, belum pernah berbini alias jomblo, belum pernah jadi menantu (sumando), atau terkena ‘virus corona!’*
*Penulis Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol, Padang
**Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay