DALAM kurun 8 abad, antara abad ke-20 sampai abad ke-12 SM, datang ke Sumatra bagian Tengah suku Mee Nam. Suku itu datang secara berkelompok. Suku Mee Nam (Mee Selatan) adalah bangsa Austronesia, dari daerah Yunnan, terletak di barat daya Cina. Yunnan berbatas dengan Vietnam, Laos dan Burma.
Suku Mee terdiri dari Mee Pe (Mee Utara), Mee So (Mee Tengah) dan Mee Nan (Mee Selatan. Suku Mee adalah bagian bangsa Han, penduduk asli dan pertama di negeri Cina.
Suku Mee Nam menjadikan Sumatra bagian Tengah sebagai daerah tampatan. Penyebaran lanjutan suku Mee Nam mencapai daerah lain di nusantara. Bahkan sampai Madagaskar dan pulau-pulau lautan di Teduh.
Bangsa Mee yang datang ke daerah Minangkabau, dari Yunnan berlayar sampai ke kawasan perairan kepulauan Riau dan dari laut memudiki sungai Kampar, sampai di Mahat (Maek). Dari sini menyebar ke daerah sekeliling sampai di Guguak. Luhak 50 Koto.
Selain memudiki sungai Kampar, ada juga kelompok lain suku Mee memudiki sungai Batanghari, Merangin dan sampai di Kerinci.
Di dua daerah tersebut ditemukan banyak peninggalan benda budaya megalit. Di Luhak 50 Koto lebih seribu benda budaya megalit berasal dari suku Mee. Begitu juga di Kerinci dan sekitarnya ditemukan budaya megalit berupa artefak kapak batu dan belincong.
Megalit atau batu besar, yang terdapat di Luhak 50 Koto dan sekitarnya berupa menhir (batu tegak), batu lumpang, batu altar (batu datar), batu dakon, batu besar berukir. Suku Mee Nam menggunakan batu megalite untuk pemujaan arwah moyang mereka.
Di Balubuih Kecamatan Guguak Kabupaten 50 Koto di sebuah menhir ditemukan belulang seorang perempuan yang dikubur secara baik di abad ke-10 SM. Perempuan itu tigginya melebihi dua meter.
Proto Melayu
Orang yang berasal dari suku Mee Nam ini disebut Proto Melayu (Melayu Tua). Suku Mee ini suka memelihara kerbau. Lambang kebesaran bagi mereka kepala kerbau serta tanduknya. Makin panjang tanduk kerbau itu makin mulia orang yang menyimpannya. Ada pendapat istilah Minangkabau itu berasal dari suku Mee Nam yang berlambangkan kerbau.
Suku Toraja, Batak dan Minangkabau sama-sama menghormati lambang kepala dan tanduk kerbau. Makin panjang tanduk kerbau tertancap di dinding rumah, makin mulia orang yang memiliki rumah tersebut.
Bangsa Mee Nam ini berbudaya matrilineal sama seperti orang Minangkabau. Budaya Austronesia yang dianut suku Mee Nam ini juga memiliki upacara melepas mayat.
Upacara melepas mayat dari budaya Austronesia masih tersisa di masyarakat Toraja. Menurut kepercayaan penganutnya, arwah moyangnya pulang ke rumah pada hari ketujuh, hari keempat puluh dan hari keseratus.
Berdasarkan kepercayaan atas patokan hari tersebut harus diadakan upacara pemujaan, berdoa terhadap arwah moyang yang kembali pulang. Mereka percaya seseorang yang meninggal rohnya akan naik ke Nirwana (swarga). Seorang yang meninggal dan dilepas secara baik dengan upacara besar akan dianggap Tuhannya bahwa dia adalah orang yang baik. Orang yang baik itu akan menempati tempat yang baik, di surga. Orang yang tidak baik akan menempati tempat yang tidak baik, neraka.
Selain itu, mereka percaya moyang mereka dapat membawa anak dan keturunannya ke surga. Syaratnya dengan melakukan upacara besar melepas jenazah. Mereka yakini roh Tuhan yang berada di nirwana dapat bersemayam di bumi pada tempat tempat yang khusus yang di ingininya, seperti batu besar, kayu besar, ombak di laut, angin ribut. Juga dapat bersemayam pada tubuh seseorang (tanassukhil arwah).
Benda megalit bagi suku Mee bukan lagi berfungsi pemujaan tapi sebagai bentuk penghormatan kepada ketua suku atau bapak-ibu yang masih hidup.
Penghormatan yang sama juga diberlakukan pada megalit ‘medan nan bapaneh’. Megalit jenis ini disebabkan pengaruh bangsa Minangkabau pertama, yang mendiami tiga gunung yang berasal dari budaya Yaman. Tetapi mereka tidak mensakralkan arwah moyang mereka, hanya menghormati pimpinan mereka, bapak dan ibunya yang masih hidup.[÷]
~Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
~Editor: Asraferi Sabri
~Gambar oleh hallidayfineart dari Pixabay