Menuju Mudik Rohani

redaksi bakaba

Meninggalkan fitrah sama artinya dengan mengundang datangnya kegelisahan dan kesengsaraan karena dosa. Sebaliknya menjaga dan kembali kepada-Nya adalah kebahagiaan atau pahala.

fitrah Gambar oleh Zaid ali dari Pixabay
Gambar oleh Zaid ali dari Pixabay
Dr. Ismail Novel
Dr. Ismail Novel

MUDIK lebaran dalam bentuk jasmani adalah mudik yang biasa dilakukan masyarakat kita menjelang Idul Fitri. Sedangkan mudik lebaran dalam bentuk rohani adalah mudik berupa kembalinya roh atau jiwa kepada fitrahnya.

Mudik itu biasa juga didefinisikan sebagai pulang atau pulang kampung. Sebenarnya mudik itu hanyalah peristiwa biasa. Namun, mudik yang biasa itu berubah menjadi sebuah tradisi, hingga kemudian menjadi sesuatu yang istimewa dan penting, khususnya saat lebaran.

Khusus mudik saat lebaran sejatinya dapat dibagi dua, yaitu mudik dalam bentuk jasmani dan mudik dalam bentuk rohani. Mudik dalam bentuk jasmani adalah mudik yang biasa dilakukan masyarakat kita menjelang Idul Fitri. Sedangkan mudik lebaran dalam bentuk rohani adalah mudik berupa kembalinya roh atau jiwa kepada fitrahnya. Keduanya; mudik jasmani dan mudik rohani, adalah peristiwa penting yang menyenangkan dan membahagiakan.

Mudik jasmani sebenarnya hanyalah simbol dari mudik yang sebenarnya yakni mudik rohani. Meski sulit melacak sejak kapan tradisi mudik lebaran ini muncul, tapi patut diduga bahwa tradisi ini lahir karena digerakkan oleh hati atau jiwa yang secara batin memang rindu untuk mudik kepada asalnya yakni fitrahnya.

Baca juga: Idul Fitri Tanpa Lebaran

Perjanjian Sebelum Titik Nol

Sejatinya puasa ramadhan adalah jalan untuk menuju mudik rohani atau jalan untuk pulang menuju fitrah. Fitrah itu sendiri menurut Prof. Quraish Shihab ialah hal-hal prinsipil yang melekat pada segala penciptaan, termasuk manusia, sebagai ketetapanNya.

Segala penyimpangan terhadap fitrah akan menimbulkan kegoncangan pada kualitas hidup itu sendiri. Segala penegakan kepada fitrah, buahnya selaras dengan kelurusan, kejernihan, dan kebaikan. Karenanya, fitrah itu merupakan sesuatu yang berbentuk asli atau asal.

Meninggalkan fitrah sama artinya dengan mengundang datangnya kegelisahan dan kesengsaraan karena dosa. Sebaliknya menjaga dan kembali kepada-Nya adalah kebahagiaan atau pahala.

Puasa dikatakan jalan untuk menuju fitrah, karena melalui puasa seorang mukmin diharapkan dapat menjadi taqwa (Q.S. Albaqarah:183). Taqwa itu sendiri kata Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab (perhitungan), baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Karenanya, seseorang melakukan perintah Allah Ta’ala karena iman dan disertai dengan pembenaran terhadap janji-Nya. Dengan imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-Nya.

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa taqwa itu sendiri tak lain adalah sesuatu yang bersifat fitrah atau asal, karena manusia pada asalnya mengakui Tuhan dan segala konsekuensinya. Hal ini dapat diperhatikan bagaimana roh melakukan sebuah perjanjian ketuhanan (transcendental appointment) dengan bersumpah kepada Allah untuk mengakui dan tunduk kepadanya. Janji roh ini diabadikan dalam surah al-A’raf ayat 172: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (perjanjian dengan Tuhan).

Perjanjian Ketuhanan itu terjadi di alam roh, sebelum manusia dilahirkan ke bumi atau sebelum titik nol. Apa yang ada dalam sumpah tersebut, itulah dia fitrah manusia itu. Berkaitan dengan ayat ini, Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits, “Ketika Allah menciptakan Adam, Dia mengusap punggungnya, maka dari punggung itu setiap roh yang menyerupai biji atom berjatuhan, yang Dia (Allah Ta’ala) adalah penciptanya sejak itu sampai hari kiamat kelak”. (HR. Imam Tirmidzi). Oleh sebab itu, kenyataan yang terjadi pada manusia adalah tidak ada satu jiwa pun yang lahir ke dunia ini, kecuali Allah telah mengambil perjanjian dan kesaksian mereka ketika di alam roh bahwa Allah adalah Rabb mereka.

Perjanjian Ketuhanan itu dilakukan agar Allah Ta’ala menguji manusia dalam kehidupan dunia agar pada hari akhirat nanti tidak ada satu pun manusia yang akan mengingkari tentang ke-Esaan Allah.

Tujuan lainnya adalah agar manusia tidak menjadikan keyakinan bapak dan nenek moyang mereka sebagai alasan yang membuat mereka hidup di dunia dengan menyekutukan Allah. Namun, karena manusia lupa atas perjanjian itu maka Allah Ta’ala mengutus para rasul untuk mengingatkan janji itu agar manusia tak bisa berhujjah dengan berbagai alasan untuk mengingkarinya.

Fitrah yang Suci

Selain pada ayat di atas, juga terdapat pada banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang mengisyaratkan bahwa puasa ramadhan itu menuntun roh orang-orang yang beriman kembali atau pulang kepada fitrah atau kesucian dirinya. Di antara sabda beliau: “Siapa yang berpuasa atas dasar iman dan ihtisab, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Dalam haditsnya yang lain, Rasul juga bersabda, Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman; Puasa adalah perisai, yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya (H.R. Ahmad). Keampunan yang diperoleh dengan puasa membuat roh dapat pulang kepada fitrahnya, fitrah yang suci tersebut.

Ketika roh dapat melakukan mudik atau pulang kepada fitrahnya, ketika itu kebahagiaan itu datang. Atas dasar ini pula bahwa barangkali hari raya Idul Fitri, selain disebut dengan makna hari kembali berbuka, juga secara filosofis sering dimaknai dengan hari kembalinya seseorang kepada fitrahnya, yaitu fitrah untuk tunduk dan patuh kepada Pencipta dirinya.*

*Penulis, Dr. Ismail Novel, Dosen Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi
**Gambar oleh Zaid ali dari Pixabay 

Next Post

John Kenedy Azis: Antisipasi Covid-19 Pasca Lebaran

"Upaya memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 harus terus dilakukan. Masyarakat diminta tetap mematuhi aturan yang telah ditetapkan Pemerintah agar tidak terpapar pandemi Covid-19," ujar John Kenedy.
John Kenedy Azis foto. ist

bakaba terkait