AGAMA kini mengalami rasionalisasi besar-besaran. Dalam konteks ajaran Islam, hal itu ditandai dengan terjadinya peninjauan kembali atas praktik beragama untuk dinilai salah dan benarnya. Kajian seperti ini sangat diminati, terutama di kalangan anak-anak muda yang haus dengan ilmu agama.
“Penghakiman sepihak” dengan pemberian label bid’ah oleh mereka yang memiliki pemahaman yang tak segaris dengan para penikmat rasa beragama tengah dipertontonkan di hadapan ummat. Bahkan, sering itu terjadi di ranah khilafiah (pertikaian) yang terjadi di kalangan ulama sekian lama.
Meskipun untuk menetapkan benar salahnya itu tetap menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai rujukan, namun tetap saja metode yang digunakan adalah metode berfikir rasional. Aspek dominan yang muncul adalah “rasio beragama” dibanding “rasa beragama” seperti yang berhasil diraih dan diresapi oleh para sufi. Kesibukan lebih ditujukan untuk menganalisis teks, membaca huruf demi huruf di atas kertas. Tetapi kering dari penghayatan mendalam atas ajaran Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wa Sallam dalam meresapi rasa beragama, rasa ber-Tuhan.
Kenapa itu terjadi? Seperti yang saya tulis di atas, sebab telah terjadi “penghakiman” sepihak atas praktik ritual yang dilakukan oleh mereka yang ingin menikmati lezatnya rasa beragama itu. Tak jarang para pencari rasa beragama itu dihakimi sebagai pelaku bid’ah yang sesat dan menyesatkan. Padahal para pencari rasa beragama itu tak ubahnya orang yang melakukan latihan untuk mengolah jiwanya agar kokoh dari hantaman virus-virus yang merusak jiwa.
Baca juga: Saatnya Menata Jiwa
Rasa Beragama Dzikir
Seperti halnya orang yang mengolah raganya dengan aneka latihan fisik, maka jiwa pun perlu dilatih agar pandangan mata hati semakin tajam dan menyaksikan adanya Allah Ta’ala. Latihan olah jiwa itu tetap berada dalam bingkai tauhid, sebab yang dituju adalah kelezatan dalam dzikrullaah dan menanggalkan atribut-atribut artifisial yang disandang manusia.
Dzikir lebih dari sekedar aktivitas “mengingat”. Namun kata ini sangat penting sebab sekaligus menjadi nama lain dari al-Qur’an itu sendiri (baca surah al-Hijr, 15:9). Di dalam al-Qur’an, kata dzikir terdapat dikurang lebih 56 surat.
Dzikir dapat dimaknai lebih lanjut dalam konteks perjuangan batin manusia untuk menghampiri dan dekat dengan Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, di dalam al-Qur’an kata dzikir selalu dikaitkan dengan Allah Ta’ala atau Dzikrullah. Artinya, Allah Ta’ala yang menjadi pusat arah dari perjuangan batin manusia itu.
Perjuangan batin itu menuntut kesabaran dan waktu yang lama agar menghantarkan manusia untuk sampai kepada Allah Ta’ala yang dalam terminologi tasawuf disebut liqo’ atau khowasul khowas sebagai puncak dan akhir dari kesadaran (the final consciousness).
Makna dzikir berikutnya adalah semacam pemandu bagi manusia dalam bertindak dan berinteraksi dengan sesama manusia. Semua tindakan manusia yang diikat dalam bingkai dzikrullah akan menghindarkan mereka dari langkah-langkah setan. Maka, setiap awal dari sebuah perbuatan dimulai dengan mengucapkan basmalah yang mengindikasikan bahwa kita mengikatkan hati dengan Allah Ta’ala dan mencari ridha-Nya semata.
Memulihkan rasa beragama adalah persoalan mendesak di era pasca industrialisasi ini. Usaha ini tentu tidak mudah dan terjadi begitu saja. Maka alangkah tidak bijak jika para pengusung “rasio beragama” mencap mereka kaum yang sesat. Padahal akal, seperti dikemukakan Al-Ghazali, adalah kompleksitas kemampuan yang memadukan rasio dan rasa beragama. Dalam al-Qur’an, makna dzikir kedua ini sering dikaitkan dengan manusia dalam kapasitas sebagai hamba yang beriman dan hamba yang dikarunia kelebihan akal (ulul albab).
Mereka yang telah mencicipi rasa beragama itu mengungkapkan: “Perbaikilah pandanganmu, maka engkau akan selalu dalam pandangan-Nya. Bila engkau bisa menikmati sinarnya matahari, mengapa engkau malah mengejar bayang-bayangnya? Mengapa engkau masih terus menghamba kepada sesuatu yang bisa rusak dan lenyap? Engkau buta bila engkau tak mengenal-Nya. “Sesungguhnya mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada”(Surah al-Hajj,22:46).
Wallaahu a’lam.
| Penulis, da’i dan Dosen IAIN Bukittinggi
| Gambar oleh Jörg Peter dari Pixabay