bakaba.co ~ Di alam terbuka beberapa orang perempuan, di bawah kelumun asap, sabar mengasapi daun kopi. Di bagian belakang, untuk menahan angin, terpasang tikar. Api untuk mengasapi dijaga besarannya agar daun kopi tidak hangus.
Rekaman suasana itu tergambar pada foto lama, hitam-putih, koleksi Tropen Museum. Tidak tertera jelas tahun dan tempat para perempuan itu mengasapi daun kopi. Dari penutup kepala para perempuan ada ciri-ciri bahwa momen itu direkam di pedalaman Minangkabau, di zaman kolonial.
Sekarang di jaringan internet, di situs dan media sosial, sangat banyak foto rekaman momen orang menikmati minuman ‘kawa daun’. Selain suasana kedai yang sederhana, yang ditonjolkan adalah alat minum ‘kawa daun‘ yang terbuat dari ‘sayak’, tempurung kelapa.
Daun Kopi
Beberapa tahun terakhir di Sumbar, khususnya di daerah Agam, Batusangkar dan 50 Koto, bermunculan kedai-kedai minuman yang menu utamanya ‘kawa daun’.
Kawa yang bahasa Arab-nya qahwah adalah kopi. Bahkan nama kedai dibuat identik dengan ‘kawa daun’. Cara menyajikan kawa daun, pemilik kedai menghidangkan dalam keadaan panas dan tawar. Pembeli memilih sendiri akan dicampur gula pasir, gula enau atau susu, yang sudah tersedia di atas meja. Makanan sebagai teman menikmati ‘kawa daun’ ada beberapa macam; goreng pisang, ubi, bika, juga ada kerupuk tempe dan tahu.
Melayu Kopi Daun
Di kawasan pedalaman Minangkabau, tanaman kopi sudah ada jauh sebelum Belanda datang. Biasanya masyarakat menanam kopi di ladang dalam jumlah terbatas. Juga tanaman kopi dijadikan pagar. Tahun 1840, Gubernur Jenderal Kolonial Van den Bosch mulai menerapkan tanaman paksa kopi di ranah Minang. Bosch terinspirasi dari keberhasilan melakukan tanaman paksa di Jawa.
Waktu itu, harga komoditi kopi sangat mahal di pasar Eropa. Belanda memaksa pribumi menyerahkan semua biji kopi ke koffiepakhuis, gudang kopi. Sebiji pun tidak boleh tercecer. Pribumi yang jadi pegawai di koffiepakhuis ikut kaya karena mengurus kopi dan mereka digelari ‘pakuih kopi’.
Baca juga: Kabau nan Tigo Kandang
Sejarah mencatat, daun kopi dijadikan bahan minuman berkaitan dengan perlakuan kolonial Belanda terhadap masyarakat di pedalaman Minangkabau.
Sejarawan Mestika Zed meneliti dan menulis tesis berjudul Melayu Kopi Daun menyatakan, adanya ‘kawa daun’ di masyarakat Minang bermula dari sikap monopoli Belanda atas komoditi kopi.
Kolonial Belanda kata Mestika Zed melakukan dan memaksa masyarakat menanam kopi dan memonopoli setiap komoditi kopi yang ada. Harga kopi begitu mahal. Masyarakat pribumi, bahkan yang punya pohon kopi sendiri maupun pekerja di kebun kopi, tidak dibolehkan menikmati kopi. Semua buah kopi harus dijual ke Belanda dengan harga yang ditetapkan Belanda secara sepihak.
Menghadapi perilaku Belanda tersebut, masyarakat melakukan perlawanan. Caranya, tidak lagi mengurus pohon-pohon kopi. Karena tidak bisa menikmati buah kopi, daun kopi yang begitu mudah didapat dan gratis dijadikan masyarakat sebagai bahan minuman.
Godverdomme!
Kolonial Belanda kehilangan impian mendapat untung besar dari tanaman kopi. Mereka menyaksikan masyarakat pribumi menikmati daun kopi, bukan biji kopi. Belanda menganggap pribumi bodoh, karena menelantarkan pohon kopi yang buahnya bisa dijual. Malah minum air rebusan daun kopi. Belanda melampiaskan rasa senewennya dengan ejekan; “Godverdomme! Dasar Melayu kopi daun zegg!”
Ada juga cerita lain, kesukaan masyarakat Minang, dulu, minum ‘kawa daun’ karena ‘sayang’ meminum buah kopi yang harganya mahal. Masyarakat di kawasan Kamang misalnya, tidak mau menjual hasil buah kopi ke Belanda yang memonopoli dan menentukan harga kopi dengan murah.
Justru mereka membawa dan menjual biji kopi ke pedagang di Selat Malaka, yang harganya jauh lebih tinggi. Perlawanan masyarakat terhadap Belanda, dan rasa sayang menikmati biji kopi yang bisa dijual mahal, akhirnya daun kopi dijadikan bahan minuman; kawa daun.
Perlakuan kompeni Belanda dalam sistem tanam paksa kopi di ranah Minang berlangsung cukup lama. Dari 1840 sampai 1908, di mana tanam paksa kopi diganti Belanda dengan menerapkan belasting atau pajak kepada masyarakat. Dan Perang Kamang meletus: 15-16 Juni 1908.
Masyarakat memerangi Belanda yang memaksa rakyat membayar pajak alias belasting. Perang Belasting yang diawali di Kamang yang dipelopori Syekh H. Abdul Manan, meluas ke Manggopoh, Buo dan daerah lain di Minangkabau.
»asra f. sabri