Kekecewaan Mahfud MD, mengkritik hukum Indonesia yang tunduk pada kepentingan politik. foto dok Gita Wirjawan YouTube channel

Mahfud MD Ungkap Kekecewaan Terhadap Dominasi Politik atas Hukum Indonesia

Jakarta, bakaba.co – Profesor Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan figur kunci di pemerintahan Indonesia, menyatakan kekecewaan terhadap sistem hukum nasional yang dinilai tunduk pada kepentingan politik. Dalam wawancara Podcast Kanal YouTube Gita Wirjawan, ia menegaskan bahwa hukum kerap menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan penegak keadilan. Pernyataan ini menyoroti kompleksitas hubungan hukum-politik di Indonesia, sekaligus mengkritik praktik demokrasi yang belum sepenuhnya berjalan ideal.

Hukum sebagai Produk Kekuasaan Politik

Mahfud MD menegaskan bahwa hukum tidak lahir secara netral. “Hukum adalah produk politik. Penguasa politik yang membentuknya,” ujarnya. Hal ini menjelaskan mengapa penegakan hukum seringkali lemah ketika berhadapan dengan kepentingan elite. Ia mencontohkan kasus korupsi dan perizinan usaha, di mana aturan dibuat untuk melayani agenda tertentu.

Baca juga: Kepuasan Publik terhadap 100 Hari Pertama Prabowo: Fokus Utama pada Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi

Demokrasi Tanpa Hukum: Ancaman Anarki

Tanpa hukum, demokrasi berpotensi menjadi liar dan anarkis. Namun, Mahfud mengingatkan bahwa hukum yang tidak dibangun secara demokratis juga berisiko menjadi alat tirani. “Kita butuh keseimbangan: demokrasi dikawal hukum, hukum dilahirkan dari proses demokratis,” tegasnya.

Perjalanan Karir Mahfud MD: Dari Dosen ke Pusaran Politik

Sebelum terjun ke politik, Mahfud bercita-cita menjadi dosen. Ia bahkan sempat mengajar di Fakultas Hukum UII Yogyakarta. “Saya ingin fokus pada ilmu hukum dan politik, tetapi takdir membawa saya ke dunia praktis,” kisahnya.

Prinsip “Kalau jujur, kamu akan mujur; kalau tidak, hancur” menjadi pedoman Mahfud. Motto ini tercermin dari kritiknya terhadap praktik korupsi dan manipulasi hukum di Indonesia.

Hambatan Demokrasi Indonesia

Mahfud menyoroti rendahnya IQ masyarakat Indonesia (rata-rata 78) sebagai penghambat demokrasi. “Demokrasi butuh rakyat cerdas. Jika tidak, yang terjadi adalah jual beli suara,” ujarnya. Ia mendorong peningkatan anggaran pendidikan dan kualitas guru untuk mengatasi hal ini.

Menurutnya, guru harus direkrut dari lulusan terbaik (seperti di Singapura atau Korea Selatan). Saat ini, hanya 7% guru Indonesia yang memenuhi standar kompetensi minimal.

Mahfud membedakan korupsi menjadi dua: “speed money” (uang pelicin untuk percepatan layanan) dan “grand theft” (pencurian besar-besaran APBN). Keduanya, menurutnya, merusak daya saing ekonomi Indonesia.

Hukum sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan

Ia mengkritik fenomena hukum instrumentalistik, di mana aturan dibuat untuk membenarkan kebijakan penguasa. Contohnya, revisi UU KPK dan kebijakan denda damai bagi pelaku kejahatan ekonomi.

Masa Depan Hukum Indonesia: Antara Harapan dan Realita

Mahfud mengingatkan kembali amanat konstitusi tentang keadilan dan pemerataan pendidikan. Namun, oligarki dan politik transaksional masih mendominasi. “Sirkulasi kekuasaan adalah kunci, tetapi kita butuh sistem yang transparan,” tegasnya.

Ia mendukung program gratis sekolah dan perguruan tinggi, seperti yang diwacanakan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Namun, kebijakan ini harus didukung dengan anggaran memadai dan pengawasan ketat.

rst | bkb
Foto dok. Gita Wirjawan YouTube channel