KeliruMinangologi (2): Tiga Haji dan para Tuanku yang Dituduh Wahabi

redaksi bakaba

“Misi Belanda jelas, bagaimana adat dan agama Islam dipertentangkan dan bermusuhan. Belanda tahu bahwa kekuatan Minangkabau terletak pada prinsip adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,”

Haji Piobang Ilustrasi Perang Paderi - Wikimedia commons
Ilustrasi Perang Paderi – Wikimedia commons

bakaba.co | Pemutar-balikkan fakta dilakukan terhadap tiga tokoh ulama Minangkabau yakni Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang. Selain tiga haji tersebut, para ulama atau tuanku lain juga dituduh sebagai penganut ajaran Wahabiyah oleh penulis asing dan kolonial Belanda

“Sampai sekarang cap Wahabi terhadap ketiga ulama Minangkabau tersebut tidak mudah menghapusnya dari buku-buku dan ingatan kolektif masyarakat, termasuk di Minang. Sebab demikian gencarnya opini yang dibuat Belanda,” kata H. Asbir Dt. Rajo Mangkuto dalam wawancara dengan bakaba.co

Pada zaman Belanda, tahun 1850 diterbitkan majalah bernama Tijdschrif voor Nederlandsch Indie (Jurnal Hindia Timur). Majalah itu gencar menulis sejarah Indonesia dan Minangkabau.

Tulisan yang disebarkan majalah memutar-balikkan fakta dan sejarah Minangkabau, dan dijadikan bahan rujukan sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sejarah yang sama juga diajarkan di sekolah yang didirikan masyarakat di Minangkabau.

Majalah tersebut menulis bahwa pada tahun 1805 M, tiga ulama asal Minangkabau yang pulang dari Mekah menganut paham Wahabiyah.

Ketiga ulama tersebut Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang. Juga ditulis bahwa di Minangkabau aliran Wahabi dianut oleh golongan ulama yang bergelar tuanku.

 

Cap Wahabi itu semakin mendapat tempat pijakan ketika terjadi perang dahsyat di Minangkabau, antara kaum ulama dengan kaum adat antara tahun 1803 sampai 1822.

Kemudian dilanjutkan Perang Paderi, nama ciptaan Belanda, di mana Belanda mendukung kaum adat untuk menumpas kaum ulama.

Dalam buku dan tulisan yang tersebar sangat kuat tertanam dalam memori kolektif masyarakat bahwa kaum ulama beraliran Wahabi memerangi kaum adat yang di istilahkan sebagai ‘pemurnian Islam di Minangkabau’.

Dari pihak ulama, selain Haji Miskin, Sumaniak dan Haji Piobang, juga Tuanku nan Renceh dan ulama yang disebut ‘Harimau nan Salapan’ sampai Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Lintau, Tuanku Rao dicap Belanda penganut ajaran Wahabi.

Harus Diluruskan

Orang Minang, kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto, penting mengkritisi dan harus meluruskan sejarah yang dibuat Belanda, berkaitan dengan tiga ulama dan para tuanku di Minangkabau.

Sebab implikasinya luas, terbentuk stigma atau cap negatif bahwa kaum adat dan ulama di Minang tidak akur dan sejalan. 

“Misi Belanda jelas, bagaimana adat dan agama Islam dipertentangkan dan bermusuhan. Belanda tahu bahwa kekuatan Minangkabau terletak pada prinsip adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,” kata Dt. Rajo Mangkuto, yang menulis buku ‘Direktori Minangkabau‘.

Tuduhan sangat tidak masuk akal bahwa, Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang adalah Wahabi, kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto. Sebab, ketiga haji itu saat berada di Mekah antara tahun 1790 sampai 1805.

Mekah waktu itu termasuk wilayah yang dikuasai Turki Ottoman. Pada tahun 1760, Mekah dan Madinah diserang dan diduduki Ibnu Saud penganut paham Wahabi Ahlusunnah Hambali.

Ibnu Saud dan pasukannya hanya beberapa bulan menduduki Mekah dan Madinah, karena diserang balik pasukan Turki.

Ibnu Saud mundur ke Riyadh. Riyadh berhasil diduduki Turki. Pasukan Turki terus mendesak Ibnu Saud dan pasukannya jauh ke tengah padang pasir. Wahabi berhasil dikikis habis di jazirah Arab.

Asbir Dt. Rajo Mangkuto

Tahun 1795 Mesir diserang pasukan Napoleon. Terjadi perang besar-besaran antara pasukan Turki Ottoman dan pasukan Napoleon. Perang berlangsung sampai tahun 1803. Dalam pasukan Turki tersebutlah tiga haji; Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang bergabung sebagai pasukan Turki. Mereka menjadi komandan pasukan pada kompi (arteleri, kavaleri, infantri) yang berbeda.

Pada 1918, pasukan Sekutu –Perang Dunia II– yang dikomandoi Inggris menyerang dan menguasai daerah yang dikuasai Turki Ottoman selama satu abad. Sekutu membentuk kerajaan-kerajaan kecil di kawasan bekas kekuasaan Ottoman. Tiga tahun kemudian, 1921, pasukan sekutu meninggalkan jazirah arab. Kesempatan itu dimanfaatkan kaum Ibnu Saud untuk kembali muncul dan menguasai Mekah dan Madinah.

“Keberadaan Haji Miskin, Sumaniak dan Haji Piobang waktu di Mekah tidak bersentuhan dengan ajaran Wahabi yang dianut kaum Ibnu Saud,” ujar Asbir.

Para Tuanku dan Syattariyah

Gerakan di Minangkabau antara tahun 1803 sampai 1821 yang disebut Belanda sebagai perang antara kaum ulama dan adat. Menurut Asbir, yang terjadi sebenarnya adalah Perang Tuak. Di zaman itu, orang Minangkabau yang sudah bersumpah melalui Sumpah Sati Marapalam, tahun 1403 M, menjadikan Islam sebagai agama dan sebagai prasyarat orang Minangkabau.

Sementara dalam keseharian di tengah-tengah masyarakat masih terlihat hal-hal yang bertentangan dengan syara’/syari’at seperti kebiasaan berjudi, minum tuak, mengisap candu dan perilaku lain yang tidak sejalan dengan Islam.

“Bagi kaum ulama di masa itu, orang Minang harus menjalankan Islam sesuai syari’at. Bagi yang tidak, akan diperangi,” ujar Asbir.

Salah seorang ulama, Tuanku nan Renceh, asal Kamang berdiri di depan untuk memerangi judi, tuak, candu. Bahkan dibentuk kelompok tuanku yang dikenal dengan ‘Harimau nan Salapan’ yang dipimpin Tuanku nan Renceh. Belanda juga menyebarkan opini bahwa para tuanku tersebut menganut paham Wahabi.

Baca juga : Harimau nan Salapan dari Agam Tuo, Kian Dikaburkan

“Para tuanku yang tergabung dalam Harimau nan Salapan, semuanya berasal dari Luhak Agam. Tidak benar para tuanku tersebut Wahabi karena mereka semua adalah murid ulama tarikat Satariyah yakni Tuanku nan Tuo, Koto Tuo, Ampek Angkek,” kata Asbir.

Tarekat Syattariyah, maupun Naqsabandi kata Asbir, lebih dekat ke paham imam Safi’i. Sementara paham Wahabiyah merupakan aliran yang dekat dengan paham imam Hambali.

Perangi Belanda

Para tuanku/ulama, niniak-mamak serta masyarakat Minangkabau, pada abad ke-19, melawan kolonial Belanda dalam masa yang sangat panjang. Belanda juga memakai taktik meng-adu kaum ulama dengan kaum adat. Belanda berpihak pada kaum adat dan menciptakan istilah Perang Paderi dengan pengertian ‘memerangi kaum ulama’.

Sementara bagi kaum ulama dan adat, perang dengan Belanda disebut sebagai Perang Tuak/Candu. Sebab, Tuak dan Candu adalah dua mata dagangan Belanda ke Minangkabau yang sangat menguntungkan. Belanda memakai toke-toke Cina sebagai agen besar, bahkan ada juga orang Minang yang menjadi perantara.

Dalam catatan sejarah yang ditulis, Perang Paderi (versi Belanda) dan Perang Tuak/Candu (versi orang Minang) terbagi atas beberapa periode. Periode pertama; 1803 sampai 1821 yang dicitrakan Belanda sebagai perang pembersihan atau pemurnian Islam oleh kaum ulama/Paderi terhadap golongan penghulu/adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at Islam.

Periode kedua: tahun 1821 sampai 1832 merupakan pertempuran antara kaum ulama/Paderi dan golongan penghulu adat dengan Belanda-Kristen.

Periode ketiga antara tahun 1832 – 1843 merupakan perjuangan seluruh rakyat Minangkabau, bersama kaum ulama, golongan penghulu adat barsatu melawan dan mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari wilayah Minangkabau.

» asra f. sabri

Next Post

Bank Nasional ; Jaya di Masa 'Bagolak', Runtuh di Zaman Merdeka

"Inilah salah satu 'dosa' Hasan Basri Durin, yang merestui pengambil-alihan Bank Nasional oleh Group Bakrie. Saya baca penilaian itu di sebuah surat pembaca di salah satu situs internet urang awak," tulis Suryadi Sunuri
Bank Nasional - Use Under CC BY 4.0

bakaba terkait