Kabau Tasakang di Talihia – Senja cerah, langit barat merah jingga, secerah wajah Kari Taropong, demikian orang kampung mengenalnya. Sebenarnya gala lelaki paruh baya ini adalah Kari Bagindo tetapi barangkali akibat kurenahnya yang suka mangarawangi (menyelidiki sesuatu dengan amat sangat mendalam) segala urusan orang lain, akhirnya lekatlah gelar Taropong (teropong). Wajah tampan lelaki paruh baya itu senantiasa bersinar, cemerlang sebagaimana ota yang berketintam meluncur dari mulutnya.
“Pokokno, iko nan santiang no bana go tukang sarang ari nan surang ko, kalo lah bagabun asok pusuang no ko ah, ndak ado lih nu du, sah ditahan no langik, indak ka maribih agak sarinai juo doh”. Kari Taropong dengan jumawa mengobat-abitkan sebatang rokok dengan bagian pangkal rokok terlihat gemerlap keemasan.
“Iko a bulo go Wan Kari? Nan mangilap-ngilap di pangka pisok ko?”. Malin Garejoh menatap takjub sembari mengerjap-ngerjapkan kedua mata sipitnya.
“Eyayai, iko pinjaik kapalo ameh go, ndak kasampai tapuntuang bana pisok ko no go doh, aaaaa… tarang ari baliak go, lai takana pakan nan lapeh? Lah ranai sabalik, den salai pisok ko, tigo kali mairuk no, sah iyo jilah langik di no, iko labiah pisok nan pakan lapeh go, den andok an njik ka serap”. Kari Taropong dengan dada mengembang menceritakan betapa satia (sakti) nya Tukang Sarang Ari (pawang hujan) yang ia ceritakan ini.
Seekor kerbau dengan tubuh gempal dan tanduk panjang melengkung terlihat sedang menikmati rumput liar hijau dan segar yang tumbuh di ujung lembah. Ganto (genta/ lonceng kecil) kuningan yang diikatkan di leher kerbau itu berbunyi seirama kepala kerbau yang mengangguk-angguk merenggut rumput. Paga balero (pagar dari bilah bambu) membentang di sepanjang pematang sawah Mak Kuto. Pagar itu membatasi sawah Mak Kuto dengan padang pangimpauan (padang rumput tempat menggembalakan ternak). Sebenarnya lembah itu adalah gurun (lahan kering) milik Mak Kuto juga. Tetapi lelaki senja itu tak sanggup menggarap. Anak kemenakannya juga jauh di rantau, sehingga lembah itu terbengkalai dan dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan oleh orang kampung.
Kari Taropong agaknya telah lupa dengan kabau yang semula ia gembalakan. Berbagai kisah keberhasilan Nyiak Kudun sang Tukang Sarang Ari ia sampaikan dengan amat bangga, tentunya. Sepanjang sejarah, belum pernah Nyiak Kudun gagal manyarang ari, belum pernah ada urang bakandak yang kecewa.
Baca juga: Bantiang Ketek Gadang Languah
Semburat merah di langit senja perlahan menghitam. Langit yang semula tak berwarna mendadak kelam mencekam. Mendung berayun di kaki langit. Kari Taropong masih sibuk mancarah (membual). Beberapa kali langit kelam itu robek disengat kilek dan patuh tungga. Malin Garejoh mulai resah, ia mulai serupa baruak dipantak salimbado, tetapi Kari Taropong tetap saja indak pareha, tidak peduli. Kerbau Kari Taropong mulai gelisah. Rinai menderai. Kerbau itu kembali asyik marangguk (memakan rumput). Tubuh gempal kerbau mulai menyisi jajaran balero yang membentang membatas padang pangimpauan dengan sawah Mak Kuto. Lidah tebal kerbau Kari Garejoh menjulur meraih ujung rumput yang menjulai balero. Kabau gadang panjang tanduak tersebut mencoba menyorongkan moncongnya ke sela balero tetapi tanduknya yang panjang melengkung menjadi penghalang. Tak hilang akal kerbau ini, ia miringkan kepalanya. Salah satu ujung tanduk itu lolos, moncongnya mengiring di belakang tanduk. Patuh tungga kembali menyalak, kilek barapi mengoyak langit senja. Kerbau itu terlonjak, kedua tanduknya lolos menelusup sela balero, hujan mendadak turun serupa dicurahkan dari tempayan.
“Astagfirullah… Oyayai… mancoreh sen ujan ah, baa lih go Wan Kari, salai lah pisok Nyiak Kudun tun kioh, baa go, buncuh wak di no go ah”. Malin Garejoh berseru sembari menghalau kambingnya.
“Ambek cah, kabau den kama yo du ah, ndeeee… lah disarundangi no bulo balero Mak Kuto, sah iyo ka tabik simbabau bulo mamak tun bikoh du ah. Den elo cah luh”. Kari Taropong menghambur menjemput ke arah kerbaunya.
Malin Garejoh menghela tiga ekor kambingnya. Sembilan ekor anak kambing mengembik tiada henti. Hujan semakin deras, halilintar menggeram berkali-kali. Kambing sebagaimana jamaknya kambing, takut dengan hujan. Tiga ekor kambing yang talinya dipegang oleh Malin Garejoh mulai menghonjak-honjak, berlari berputaran. Beberapa kali hampir saja menyerimpung membelit kaki tuannya.
“Salai lah go pusuang Nyiak Kudun tun ah, njik a du Uwan salek an sen di talingo, ko ujan mancoroh juo ah, curu kambiang mbo bikoh lih aaaa… “ Malin Garejoh memberi pendapat.
Kari Taropong akhirnya tersadar, meraih kewe dari kantong. Dia berlindung pada tuduang karucuk (topi dari anyaman bambu yang biasa digunakan petani) rokok keramat dari tukang sarang ari terkenal itu ia nyalakan. Satu kali hirupan dan kepulan, asap tebal membubung tinggi menerjang curah hujan yang menghantam lembah. Dua kali, tiga kali asap putih membuntal langit, hujan semakin mencurah. Ujung runcing pinjaik kapalo ameh mulai mencuat di ujung rokok sakti itu, pipi Kari Taropong sudah semakin cekung mencukam. Kerbau gempal yang tersangkut di sela balero mulai gelisah, menghentak-hentakkan kakinya, kepalanya menggeleng-geleng, benar-benar bak kata orang saisuak “Kabau gadang tasakang di talihia, ka taruh badan lah gadang maampang, kasuruk tanduak lah panjang manyarandang, lah sapueh malasuh jo marantak, nan balero malayuak-layuak sajo, lihia tak lapeh dari kungkuangan”.
Hujan masih belum terlihat tanda-tanda akan berhenti. Kari Taropong mulai berpeluh dingin, rokok sakti itu telah tinggal puntung. Di kejauhan Malin Garejoh masih saja berteriak, melolong tinggi karena kakinya yang dibelit tali kambing. Petir kembali merobek langit, tiga ekor induk kambing kurus milik Malin Garejoh terlonjak lalu menghambur lari bertemperasan. Kari Taropong hanya ternganga melihat tubuh temannya babak bundas terseret di rerumputan, anak-anak kambingnya mengiringi di belakang. Suara lolongan Malin garejoh mulai terdengar ganjil karena ditingkahi suara kambing yang mengembek menghadirkan irama yang tak jamak.
“Ba a jao den lih Malin, pisok ko badesoan njik alek pakan nan lapeh, tantu ndak ngamuah kalo untuak manyarang ari an sasanjoko do ah” Kari Taropong masih mencoba bakelah-kelah. Malin Garejoh terdengar menggerung panjang lalu lenyap di ujung pendakian, telah bergelumang lelaki itu tentu. Kari Taropong tertegun nanar.
Puntung rokok sakti itu telah lama padam, Kari Taropong tanpa sadar menyelipkan kembali puntung dengan pinjaik kapalo ameh terhunus itu ke sela telinganya. Untuk serap barangkali, entah untuk jimat. Hujan semakin deras, badai menggila, limbubu memiuh lembah. Di kejauhan, Mak Kuto terlihat mengacung-acungkan tangannya yang memegang ladiang cingkuak, Kari Taropong ciut nyalinya, lari sipat kuping. Lapat-lapat masih ia dengar suara menggelegar Mak Kuto.
“Oiiiii… Taropong, anto diang kisai lari ang? Ko kabau ang baa go? Lah disarondang-sarondangi no paga den ah, ko lah leso padi den tigo rumpun go ah, japuklah kabau ang…”.
~ Juaro Gunuang Marapi
Penulis adalah seorang wartawan, aktivis sosial, relawan kebencanaan, penggiat seni tradisi dan budaya Minangkabau, Advokat di SAHATI Law Office, Bukittinggi.
~ Gambar oleh Pexels dari Pixabay