Justice League – Untuk mendapatkan keadilan orang sering berpikir untuk kembali ke masa lalu. Dunia modern dianggap terlalu kejam dan anti kamanusiaan, semua diukur dengan financial, pekerjaan dan posisi-posisi penting dalam politik. Manusia tidak lagi dilihat dari cipta, rasa dan karsanya.
Ratu Adil, Superman, Robin Hood dan tokoh-tokoh yang selama ini bertarung dalam liga keadilan melawan tirani, kekuasaan dispotik, rezim otoriter dan fir’aun-fir’aun yang menumpuk kekuasaan di atas puing darah dan air mata, menjadi harapan penting memberikan rasa pelepas dahaga dari himpitan psikologis dan tekanan kejiwaan untuk sekedar menikmati kesyahduan keadilan.
Baik dan buruk seperti siang dan malam, panas dan hujan hadir dalam waktu yang tidak bersamaan. Kesadaran dan apologi kebenaran muncul setelah terjadinya kerusakan. Siang dengan teriknya matahari kadang juga hadir dalam bentuk mendung dan hujan. Tidak ada kehadirannya bersamaan, panas dan dingin dalam waktu bersamaan.
Ketika politisi mendengungkan kesejahteraan, anti otoriterisme, pemerintahan yang demokratis berbuat dari oleh dan untuk rakyat, tetap si pendengung semua itu yang sejahtera dan anti dengan persamaan dan keadilan. Hak privilege mereka sebagai politisi adalah hak objektif yang patut mereka nikmati. Tugas mereka hanya “bersorak” agar wajah kekuasaan tetap bening dan bersih.
Digitalisasi manusia menuntut agar manusia menjadi konsumen. Manusia tidak lagi berkarya untuk keberlangsungan peradaban, melainkan demi terjualnya secara masif peralatan-peralatan digital yang setiap hari, bulan dan tahun terus mengalami perubahan. Manusia dipaksa berubah mengikuti kehendak dan mekanisme digital. Manusia mengalami pertumbuhan tidak lagi secara alamiah namun bertumbuh sesuai dengan pakan teknologi digital.
Kejahatan virtual tumbuh berbarengan dengan perkembangan teknologi. Kecerdasan otak dikalahkan oleh kecerdasan teknologi. Manusia dianggap bukan lagi karena otaknya, otak hanya sebagai parameter mengukur ia berbeda dengan binatang. Binatang tidak mampu menggunakan teknologi. Sedikit perbedaan itulah kemudian menyatakan eksistensinya sebagai manusia yaitu karena mampu mengkonsumsi serba digital.
Baca juga: Pancasila dan Ideologi Generasi Milenial
Keadilan tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dan urgen. Keadilan merupakan sisa-sisa utopis dari sebuah optimisme human being. Justice league sebagai digitalisasi manusia dengan super humanity. Sebuah liga yang memberi ruang kepada khayalan dengan ketidakmungkinan menjadi sebuah mimpi.
Human dignity tidak dikenal dalam justice league, moralitas sebagai pengakuan kemanusiaan dengan nilai diri kemanusiaan ditempatkan sebagai standar respect dalam perspective human dignity, tidak serta merta membuat manusia menjadi istimewa dan berkeadaban. Sebab, kemanusiaan diukur melalui intensitasnya terhadap penggunaan teknologi atau seberapa banyak penguasaannya atas barang-barang digital.
“Manusia digital” menjadi frasa konotatif, berangkat dari ketergantungan manusia akan alat teknologi komunikasi dan internet di era digital saat ini. Era “media centric” kini berubah menjadi era “me-centric”. Jika di era “media centric” pola komunikasi dan distribusi berita oleh media sifatnya vertikal dan langsung “top-down” (unidirectional communication), masyarakat lebih pasif dengan media-media konvensional. Akan tetapi, di era “me-centric” ini, pola komunikasi bersifat horizontal dan multidireksional, disamping itu menjamurnya media digital (online) saat ini setiap orang dapat dengan mudah mengakses, mengumpulkan, membuat dan menyebarluaskan berita kata Rosental Calmon Alves dalam The Impact of Digital Technology on Journalism and Democracy in Latin America and The Caribbean, Texas, 2009, hlm.6.
Manusia digital meniscayakan keadilan yang individualistik. Manusia digital tidak lagi sekedar masalah penyebarluasan informasi, dan bukan pula sekedar kecepatan pembacaan atas berita-berita yang serba digital.
Digitalisasi sekarang diberlakukan atas seluruh kebutuhan hidup manusia. Mulai dari urusan rumah tangga sampai kepada lingkungan sosial pekerjaan, tempat hiburan, perjalanan, transportasi, politik, pendidikan dan keuangan.
Manusia digital, dengan tekanan besar atas penguasaan terhadap serba teknologi berdampak kepada ketergantungan, individualistik dan sikap anti sosial. Sikap empati tidak lagi diperlukan, kebutuhan yang tidak perlu lagi atas manusia lainnya, tercukupi oleh digitalisasi yang setiap hari masuk ke dalam rumah dan dijinjing oleh manusia. Kita lebih butuh kepada ketersedian digital daripada manusia.
Pembacaan atas keadilan dalam liga league tidak lagi murni sebagai suatu bentuk kesadaran untuk menciptakan “kesadaran kemanusiaan”, melainkan fokus kepada kesadaran teknologi sebagai “Tuhan” baru dalam menjawab seluruh kebutuhan manusia. Manusia tidak lagi berhadap-hadapan dengan manusia lainnya, tingkat kesalahan antar manusia dibuat sedemikian rupa menjadi minim dan zero.
Dalam liga keadilan, keadilan telah menjadi tropi yang diperebutkan sebagai simbol dan identitas manusia yang berkelas dan berkeadaban. Keadilan diperebutkan dan diperlombakan oleh kekuasaan yang dominan. Keadilan menjadi barang mewah dan sekaligus menjadi legitimasi kemanusiaan, yang hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang memiliki privelege khusus, kelebihan khusus dan kehebatan seperti cat women, superman, zorro, dan maupun robinhood.(*)
Penulis; Irwan,SHI., MH | Peneliti PORTAL BANGSA institute
Image by Jo_15_15 from Pixabay