Jiwa-Jiwa yang Kembali

redaksi bakaba

Jiwa-jiwa yang kembali kepada Allah Ta’ala adalah jiwa-jiwa yang tak ingin berlarut-larut menjadi budak nafsu, hidup glamor, dan tak tentu arah.

al quran foto oleh Pexels dari Pixabay
Gambar oleh Pexels dari Pixabay
Buya Irwandi
Buya Irwandi

Jiwa yang kembali – PRIA itu berumur sekitar 40 tahun dan bekerja sebagai seorang pegawai negeri dengan jabatan yang cukup tinggi. Saat menghadiri rapat tiba-tiba matanya tak bisa melihat. Ia pun berobat ke beberapa dokter mata di dalam dan luar negeri, namun tak ada hasil. Dokter tak menemukan kelainan pada matanya. Empat tahun sudah ia menderita kebutaan. Laki-laki itu benar-benar putus asa.

Suatu hari, ditemani isterinya, dia pergi berkonsultasi kepada seorang psikolog muslim. Psikolog itu melakukan pengobatan dimulai dengan percakapan mendalam.

Pria itu diminta psikolog menceritakan perjalanan hidupnya sejak duduk di sekolah menengah hingga matanya buta. Dari hasil percakapan itu, ternyata ia seorang muslim yang tak pernah shalat, tak pandai membaca al-Qur’an, dan biasa dengan prilaku terlarang terutama dalam hubungan dengan wanita. Semua dilakukan tanpa pernah menyesal.

Puncak Ketenangan Jiwa

Itulah kisah nyata yang pernah diceritakan oleh ahli jiwa Prof. Zakiah Darajat, saat menyampaikan makalah tentang mukjizat al-Qur’an dan as-Sunnah untuk kesehatan jiwa di Bandung pada 1994 silam.

Psikolog yang ditemui pria itu tak lain adalah Prof. Zakiah Darajat sendiri. Pria itu disuruhnya untuk bertobat, shalat, dan belajar al-Qur’an. Untuk mengobati perasaan berdosanya, kepadanya dibacakan ayat Allah Ta’ala; ‘Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa’ (QS.3, Ali Imran:133).

Itulah ayat yang memberi harapan kepada mereka yang berdosa agar terlepas diri dari gangguan perasaan berdosa. Pria itu tak lagi menelan sebutir obat pun, kecuali hanya bersungguh-sungguh menjalankan ibadah. Setelah empat bulan sejak ia bertobat, matanya kembali melihat dan kesehatannya membaik.

Kisah itu menuturkan jika jiwa yang sakit ikut mempengaruhi tubuh. Karenanya, bertobat adalah pintu masuk untuk mengembalikan kondisi jiwa pada posisi semestinya. Jiwa yang bertobat adalah jiwa yang kembali ingat dengan Rabbnya sehingga ia meraih ketenangan (QS.3, Ali ‘Imran: 135; QS.13, ar-Ra’d:28). Sebaliknya, keterasingan dari Allah Ta’ala akan membuat jiwa sempit dan gelisah (QS.43, az-Zukhruf:36).

Baca juga: Nilai Fitrah untuk Peradaban

Puncak ketenangan jiwa ketika ia bertemu dengan Tuhan yang sebenarnya. Selama itu belum dicapainya, maka jiwa akan tetap gelisah. Jiwa akan terus memberontak, mendesak untuk terus mencari jalan kembali kepada-Nya setelah terasing dari-Nya. Sebab, ia telah diciptakan untuk berada di jalan tauhid. Jalan yang membawanya patuh mengabdi kepada Rabb yang Maha Pencipta, Rabb yang tidak ada Tuhan selain-Nya (QS.7, al-A’raf: 172-173).

Selama jalan tauhid itu belum ditemuinya ia akan tetap terasing, bagaikan jatuh dari langit, lalu disambar burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh (QS.22, al-Hajj: 31).

Jiwa-jiwa yang kembali kepada Allah Ta’ala adalah jiwa-jiwa yang tak ingin berlarut-larut menjadi budak nafsu, hidup glamor, dan tak tentu arah. Jiwa-jiwa itu mengikuti gugatan akal sehatnya untuk mencari Tuhan yang layak disembah. Jiwa-jiwa seperti itu yang saat ini menghiasi bumi Eropa.

Pasca peristiwa pemboman WTC pada 11 September 2001 yang sangat memburukkan citra Islam, justru terjadi pertumbuhan Islam paling cepat yang tak pernah terjadi sepanjang sejarah Amerika. Terdapat 8 juta orang muslim yang kini menetap di Amerika dan 20 ribuan orang Amerika memeluk Islam setiap tahun. Mereka mempelajari langsung Islam sehingga menemukan pemahaman tentang ajaran Islam yang sesungguhnya.

Selain angka 20 ribuan itu, ribuan orang dari negara-negara di luar benua Eropa juga mengambil keputusan yang sama. Terdapat keragaman alasan yang melatarbelakangi mereka memeluk Islam. Di antaranya didorong oleh daya tarik al-Qur’an yang memberikan arah hidup yang jelas. Lalu, didukung oleh ajaran Islam yang lebih masuk akal seperti tentang keesaan Tuhan, kemurnian kitab suci, hari kebangkitan, dan konsep dosa yang tak mengenal dosa warisan.

Saat jiwa telah kembali kepada-Nya, nafsu akan tetap selalu menguntitnya. Maka, pengenalan dan cinta kepada-Nya akan pudar jika nafsu masih kita manjakan. Kita simak pesan spiritual dari ulama sufi Ibnu ‘Athailah dalam kitabnya Al Hikam: “Keinginanmu terhadap kekalnya selain Allah menjadi bukti bahwa engkau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa engkau belum sampai kepada-Nya.”**

*Penulis, Dosen IAIN Bukittinggi, E-Mail: irwandimalin@gmail.com
**Gambar oleh Pexels dari Pixabay 

Next Post

Nagari Situjuah Batua: Kearifan Lokal Lawan Covid-19

"Kami menerapkan kearifan lokal dalam mengantisipasi, mencegah masuk dan penyebaran Covid-19. Cara ini sangat efektif," kata Wali Nagari Situjuah Batua DV. Dt.Tan Marajo
Ibadah sholat berjamaah terapkan physical distancing foto dok. Pemna Situjuah Batua

bakaba terkait