
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) memantik huru-hara dunia politik Indonesia. Judul di atas terinspirasi oleh sebuah komik silat terkenal di ranah Minang berjudul “Huru-Hara di Ngalau Kamang,” yang saya baca saat sekolah dasar. Dalam komik silat ini, konon di ranah Minang saat itu muncul tokoh-tokoh silat berwatak jahat yang mengganggu kehidupan masyarakat. Situasi ini memaksa tokoh silat beraliran putih bersatu menghentikan kezaliman dan kerakusan mereka.
Mengapa UU Ciptaker ini memantik huru-hara? Jawabannya karena jurus omnibus law yang sejatinya baik, ternyata jatuh ke tangan tokoh berwatak liberal dan eksploitatif terhadap buruh dan sumber daya alam.
Tadi malam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan para intelektual beraliran putih berkumpul membahas UU ini. Diskusi langsung dipimpin oleh ‘Mahaguru Padepokan’ Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir dan ‘Mahapatih’ Abdul Mu’ti. Diskusi yang sangat mencerahkan, kritis, konstruktif dan kental pembelaan kepada “public interest” dan menjaga “kedaulatan negara” dalam arti sebenarnya. Bukan sebatas slogan kosong “NKRI harga mati” yang sering kita dengar.
Apa yang membuat UU Ciptaker ini memantik huru-hara? Berikut saya sampaikan beberapa rangkuman diskusi tadi malam. Pertama, proses pembentukan UU Ciptaker ini tidak transparan sejak awal. Draf NA dan RUU Ciptaker ini tidak pernah disampaikan kepada publik secara resmi dan terbuka. Yang beredar, adalah draf RUU yang dianggap oleh pemerintah sebagai hoax. Anehnya pemerintah sebagai pengusul tidak mau memberikan draf resminya. RUU itu akhir diperdebatkan di tengah berbagai spekulasi dan misteri. Pun, sampai UU itu disetujui oleh DPR dalam Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober lalu, sebagian anggota DPR tidak tahu draf mana yang sedang dibahas dan disetujui. Sebuah keanehan yang alang kepalang. Proses legislasi yang cacat prosedur sehingga melanggar prinsip keterbukaan dalam penyusunan UU.
Baca juga: Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law
Kedua, secara materi UU ini memunculkan banyak kontroversi dan reaksi karena lebih mengakomodasi keinginan pengusaha dengan mengabaikan hak-hak masyarakat dan prinsip-prinsip konstitusi. Misalnya, a). UU ini kembali memutar paradigma hubungan pusat – daerah dari penguatan otonomi (desentralisasi) menjadi “sentralisasi” kewenangan yang kuat di Pusat. Ini jelas berlawanan dengan semangat reformasi.
b). Contoh lain adalah adanya special treatment kepada pihak asing di kawasan ekonomi khusus (KEK) yang dikuatirkan akan mengancam kepentingan nasional bangsa sendiri.
c). UU ini mengurangi kesejahteraan kaum buruh, di mana banyak hak-hak buruh yang yang direduksi seperti memudahkan PHK, mengurangi pesangon, penghilangan penghargaan kerja dan lain-lain. Sementara di saat yang bersamaan, atas alasan mendorong investasi, Tenaga Kerja Asing (TKA) diberikan berbagai kemudahan.
d). Sektor energi dan mineral juga diatur tidak sesuai prinsip-prinsip. konstitusi di mana UU ini seakan mendorong keterlibatan swasta maupun asing dalam pengelolaan energi dan mineral secara lebih masif. Ini semakin menjauhkan arah kebijakan negara dari semangat pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan SDA harus dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
e). UU ini tetap menyisakan 1 pasal yang berpotensi digunakan untuk melakukan liberalisasi di sektor pendidikan dan kesehatan. Kebijakan ini berbahaya karena dilakukan saat sektor pendidikan Indonesia belum siap bersaing dengan hegemoni institusi pendidikan yang lebih mapan.
f). Pengaturan penyelesaian sengketa tanah sifatnya lebih represif dan menguntungkan pengusaha sehingga berpotensi mengancam kepentingan rakyat yang rentan. Ini rentan memicu konflik antara negara, pengusaha dan rakyat, yang saat ini saja sudah ribuan kasus konflik tanah.
g). UU ini juga mempermudah izin lingkungan dengan meringankan syarat izin lingkungan dan menghapus peran masyarakat dalam penentuan AMDAL. Di samping itu, tanggung jawab perusahaan juga direduksi dalam kerusakan lingkungan dan penghapusan ancaman pidana lingkungan.
Demikianlah rangkuman beberapa pandangan para pakar yang disampaikan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah malam tadi. Diskusi malam tadi baru pandangan awal para pakar terkait UU Ciptaker karena masih menunggu draf UU Cipta Kerja yang benar-benar final. Sampai tadi malam, tidak ada, satupun yang bisa memastikan Draf UU Cipta Kerja yang mereka baca adalah draf yang di tangan Presiden saat ini. Hanya Jokowi dan Tuhan yang tahu draf final yang sebenarnya. Ajaib ‘kan negara ini?
Singkat kata, saat ini diperlukan koalisi intelektual, politisi, aktifis beraliran putih yang masif dan sistematis dalam mengawal kiblat bangsa ini. Setidaknya dengan diskusi tadi malam, Muhammadiyah mengambil peran kebajikan dalam meluruskan kiblat bangsa ini agar pengelolaan negara benar-benar diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Wallahu a’lam.
Penulis, Peneliti Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan, UMY
Image by Gerd Altmann from Pixabay