~ Delianur
SAYA termasuk orang yang setuju dengan seruan presiden, bahwa kita memang harus damai dan hidup berdampingan dengan virus Corona. Bukan hanya setuju, saya juga masih terus mencari format bagaimana caranya bisa berdampingan hidup dengan virus, sebelum presiden menyerukan hal itu.
Hanya saja saya melihat bahwa hal serupa bukan hanya sedang dipikirkan dan sudah saya jalan. Tapi juga sudah mulai dilaksanakan oleh masyarakat. Cara masyarakat beradaptasi dan berdamai dengan virus melebihi definisi hidup damai dengan Corona yang dikemukakan istana ketika meluruskan ucapan presiden.
Banyak masyarakat yang mencoba hidup damai berdampingan dengan virus Corona, melebihi cara yang dianjurkan Istana tentang perlunya memakai masker dan rajin mencuci tangan.
Misal…
Semenjak ada seruan Work From Home, angka orang yang melakukan meeting online terus menaik. Dalam beberapa meeting online yang saya alami, hampir 85 persen pesertanya tidak tahu caranya. Mulai dari yang tidak tahu langkah-langkahnya dari awal, sampai yang tidak tahu bahwa dalam meeting online, kita harus mute speaker supaya suara sekeliling kita tidak mengganggu. Bahkan ada yang mencoba melakukan gladi resik meeting online dahulu. Istri saya sendiri sebagai seorang guru, entah berapa kali mengadakan webinar dengan teman-temannya sesama guru dari seluruh Indonesia. Dan mereka melakukan itu dari yang tidak terbiasa, sampai menjadi terbiasa. Guru yang katanya gagap teknologi, karena pandemi ini mereka terus belajar menyesuaikan diri.
Sebelum presiden mengingatkan bahaya kekurangan pangan karena wabah, di beberapa Group WA yang saya ikut sudah mengingatkan untuk bersama-sama memanfaatkan lahan pekarangan untuk bercocok tanam.
Lembaga Amil Zakat seperti Baznas yang sebelumnya aktif melakukan membagikan bantuan sembako dan APD, sekarang sudah mempunyai program baru: mengedukasi masyarakat cara berternak lele di ember. Hal yang juga dilakukan oleh kelompok masyarakat lain.
Terakhir Ramadhan
Mengikuti seruan ibadah di rumah di bulan Ramadhan, itu bukan sesuatu yang mudah diikuti. Butuh adaptasi. Apalagi bagi bapak-bapak. Bayangkan saja, biasanya shalat tarawih di masjid dan meng “out sourcing” kan hafalan surat ke imam shalat. Sekarang bapak-bapak harus menjadi imam shalat langsung bagi anak-anak dan istrinya. Ada 11 rakaat shalat yang mengharuskan hafalan surat yang semestinya berbeda-beda. Lalu itu dilakukan dalam 30 hari berturut-turut. Bagaimana pendapat anak istri kalau ternyata hafalan surat bapaknya berputar antara qulhu dan annas saja?
Jadi meski belum seluruhnya, masyarakat sebetulnya sudah mulai beradaptasi dan belajar untuk hidup berdampingan dengan virus corona ini. Mencari cara supaya tetap bisa beraktivitas di tengah kondisi yang membatasi.
Berdamai seperti…
Hanya saja yang harus diingat, bahwa berdamai dengan virus Corona, itu berbeda dengan berdamai melihat cara pengambil kebijakan menghadapi virus corona.
Sulit berdamai ketika pemerintah menguatirkan kedatangan Tenaga Kerja Indonesia yang ada di luar negeri tapi dengan enteng memasukan Tenaga Kerja Asing dari Cina.
Bagaimana caranya bisa berdamai ketika pemerintah meminta pengorbanan masyarakat dalam menghadapi virus Corona, tetapi di sisi lain menghambur-hamburkan uang sampai Rp 5.6 triliun untuk video tutorial yang bisa kita peroleh secara gratis di Youtube.
Berdamai seperti apa ketika presiden meminta masyarakat disiplin dalam menghadapi virus, sementara pada saat bersamaan tidak disiplin dengan aturan yang diterapkannya.
Bagaimana bisa berdamai kalau di masa krisis seperti sekarang, keterangan pejabat publik bukan hanya berbeda-beda, tapi juga saling menyerang antara satu dengan lainnya.
~ Penulis, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
~ Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay