Pengurangan aktifitas ekonomi sebagai bagian dari pengurangan penyebaran Covid-19 akan sangat berpengaruh pada performa ekonomi nasional di tahun ini. Pengurangan aktifitas juga akan berimbas pada penurunan kapasitas produksi nasional di satu sisi dan melemahkan tingkat konsumsi (pengeluaran) di sisi lain. Jadi, saat menyikapi Covid-19, kalau tidak hati-hati akan langsung menghantam jantung ekonomi nasional dan daerah.
UMKM dan usaha mikro akan tercekik karena omset merosot, lalu modalnya akan ikut tergerus. Kemudian, kapasitas produksinya akan kian mengecil dari hari ke hari, sampai pada satu titik di mana tidak berproduksi lagi.
Usaha sedang pun akan meradang, produksi berkurang, otomatis penjualan berkurang, pendapatan akan menciut, dan ancaman PHK menanti.
Konglomerasi pun akan waspada, selain karena faktor produksinya berhenti atau melambat bergerak, utang luar negerinya akan membengkak karena pelemahan rupiah. Sehingga dunia perbankan mau tak mau akan ikut berada dalam posisi hati-hati.
Intervensi Sektor Riil
Perlambatan aktifitas ekonomi bisa berujung kontraksi. Lalu, kredit macet dan gagal bayar mulai mengancam. Memang tak mudah situasinya. Artinya ada prospek ekonomi yang akan memburuk sedang menanti di balik penyebaran virus corona.
Bayangan buruk demikian akan membuat pelaku pasar semakin yakin untuk hengkang dari pasar dalam negeri alias melepas dollar. Efek ketakutan semacam ini juga akan membuat rupiah bisa terseret jauh.
Pemerintah harus benar-benar berhati-hati tentang pelemahan rupiah ini di satu sisi dan perlambatan ekonomi di sisi lain. Untuk pemerintah pusat, jangan hanya fokus pada pengguyuran liquiditas di pasar keuangan sekunder. Pemerintah harus intervensi sektor riil. Tujuannya agar kapasitas produksi nasional tidak merosot terlalu dalam di satu sisi dan agar daya beli masyarakat tidak anjlok.
Pemerintah harus menjaga agar roda ekonomi di sektor riil tetap berjalan, sehingga tidak terjerumus ke dalam krisis dan terseret ke dalam resesi global.
Dilema Pemda
Bagaimana dengan pemerintah daerah? Posisi pemerintah daerah memang agak dilematis karena domain utama dalam menyikapi krisis kesehatan banyak yang berpindah ke pemerintah pusat, termasuk penetapan status darurat dan kebijakan-kebijakan yang boleh atau tak boleh diambil.
Namun demikian, karena aktifitas transaksi ekonomi menurun secara drastis, akan ada imbas sosial bagi masyarakat di daerah, termasuk di daerah saya, di Kabupaten Solok, misalnya.
Baca juga: Gubernur: 80 % Warga Sumbar Dapat Bantuan
Di Sumbar saja, sudah cukup banyak data PHK yang dirilis oleh dinas tenaga kerja provinsi. Data tersebut baru berupa base-line saja, data yang lahir dari pelaporan perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja. Secara faktual, boleh jadi angkanya akan jauh lebih banyak.
Ceritanya akan sedikit berbeda, jika struktur ekonomi daerah ditopang oleh pertanian, di mana mayoritas masyarakat bekerja di lahan pertanian, baik punya pemilik lahan maupun punya sendiri, yang hampir pasti tak ada ikatan kerja secara hukum. Artinya, buruh tani bergantung pada gaji harian dan pemilik lahan bergantung kepada hasil panen. Sebut saja misalnya di Kabupaten Solok, yang mayoritas mata pencarian masyarakatnya adalah bertani.
Penurunan aktifitas ekonomi akan berimbas kepada penurunan permintaan terhadap hasil pertanian hortikultura daerah. Muaranya bisa ditebak, hasil panen petani yang dipetik di situasi paceklik saat ini akan berlimpah, tak terserap oleh pasar, karena permintaan menurun.
Melihat kondisi demikian, rencana antisipasi dan intervensi yang dilakukan pemerintah pusat, selain harus didukung penuh, pemerintah daerah juga akan jauh lebih baik kalau mengedepankan inisiatif sendiri sebagai pelengkapnya.
Sudah lebih dari sebulan alarm Covid-19 berbunyi, gerakan pemerintah pusat baru belakangan terasa digencarkan. Itupun sifatnya inkremental, berkembang sedikit demi sedikit secara teratur. Bermula dari kebijakan antisipatif sektor kesehatan, yang lama-lama mulai melahirkan imbas ekonomi.
Setelah imbas ekonomi mulai terasa, baru pemerintah mulai melebarkan bentuk intervensi ekonominya, sampai pada kesediaan pusat untuk mengalokasikan anggaran bantuan langsung tunai, yang ditunggu-tunggu publik.
Tapi masalahnya, target pemerintah pusat adalah kalangan miskin dan rentan miskin, berdasarkan angka tertentu dari pendapatan masyarakat. Misalnya, jika yang dituju pertama adalah masyarakat miskin, sebagaimana data BPS, maka akan sangat sedikit yang ter-cover, karena metode penetapan garis kemiskinan kita yang terlalu longgar, yakni berpendapatan 1,9 USD per hari, versi dollar Bank Dunia, di mana konversinya tidak mengacu pada nilai dollar hari ini, tapi mengacu pada nilai Dollar yang sudah disesuaikan dengan rumus disparitas harga. Total akhir dari garis kemiskinan berkisar di antara Rp 400-500 ribu pendapatan per bulan.
Lalu yang dimaksud dengan kalangan rentan miskin adalah yang berpenghasilan sedikit di atas garis kemiskinan. Sehingga, akan ada cukup banyak masyarakat, yang sebenarnya sangat terimbas kehidupan ekonominya, tapi tidak terjangkau oleh kebijakan tersebut.
Begitu pula dengan penerima PKH (Program Keluarga Harapan), yang datanya memang sudah ada sedari dulu, karena PKH memang program lama. Di sinilah salah satu peran penting pemerintah daerah, yakni, pertama, memastikan bahwa yang ditarget oleh stimulus sosial ekonomi pemerintah daerah adalah kalangan yang benar-benar sesuai dengan kriteria kebijakan.
Kedua, karena kekuatan stimulus sangat terbatas, baik secara kuantitias maupun secara kualitas, maka pemerintah harus berani memgambil peran lebih, untuk memastikan bahwa semua masyarakat yang membutuhkan uluran bantuan melalui kebijakan yang boleh diambil oleh pemerintah daerah, juga mendapatkan haknya dari pemerintah daerah.
Antisipasi Daerah
Intinya di sini, pemerintah daerah pun harus mengambil peran lebih aktif dan antisipatif, untuk mengurangi dampak ekonomi di daerah, setelah memastikan semua protokol kesehatan dijalankan. Termasuk stimulus pertanian untuk petani-petani terdampak dari pemda, semisal penundaan cicilan kredit usaha rakyat, cicilan kendaraan petani, dll, hasil negosiasi pemda dengan perbankan lokal dan nasional yang ada di daerahnya.
Bahkan tidak menutup kemungkinan pemerintah daerah bekerja sama dengan dunia usaha atau Bulog, untuk menyerap hasil petani sebagai bagian dari penambahan cadangan komoditas pertanian daerah, agar hasil panen tidak terbuang begitu saja atau dijual dengan harga yang sangat merugikan petani.
Bagaimana pun, kita layak mengacungkan jempol kepada beberapa kepala daerah yang berani menanggung beban kebutuhan pokok masyarakatnya yang terdampak selama masa pembatasan sosial. Lalu kepala daerah yang berani menutup pasar tapi membuat mekanisme distribusi barang alternatif yang tidak merugikan para pedagang agar komoditas kebutuhan pokok tetap bisa mengalir ke tangan masyarakat.
Begitu pula dengan kepala daerah yang menginisiasi berbagai macam metode pengajaran sekolah jarak jauh, yang membuat anak-anak tetap bisa belajar sebagai mana mestinya.
Mengapa perlu diapresiasi, karena semuanya dilakukan dengan anggaran daerah. Kreasi kebijakan tidak saja pada ranah metode dan implementasi. Tetapi pada inisiasi relokasi anggaran dari yang dianggap kurang terlalu strategis dan insidental, kepada program-program penanggulangan penyebaran Covid-19 beserta imbas sosial ekonominya, yang jauh lebih urgen saat ini.
Sangat besar harapan kita ke depan, akan semakin banyak inisiatif-inisiatif positif dari pemerintah daerah yang dirasakan langsung oleh masyarakat manfaatnya, mengingat masa pembatasan sosial yang tidak pasti kapan akan selesainya. Semoga.**
~ Penulis, anggota DPD RI Periode 2014-2019. Bakal Calon Bupati Kabupaten Solok 2020-2025.
~ Gambar oleh Dean Moriarty dari Pixabay