bakaba.co | Payakumbuh | Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020, yang ditunda 3 bulan dari sebelumnya 23 September ke 9 Desember 2020, masih dibayang-bayangi masalah wabah virus Corona: Covid-19.
“Melihat kondisi Covid-19 sampai saat ini, yang mata rantainya belum putus, solusi yang realistis, logis dan manusiawi adalah penundaan Pilkada Serentak ke tahun depan.
Sebab, dalam memfasilitasi hak rakyat, kita tidak boleh membahayakan rakyat. Jika gagal, salah memilih pemimpin di masa krisis, kita akan menanggung resiko yang sangat berat.”
Demikian pemikiran dan opsi yang mengemuka dalam diskusi virtual Zoom Portal Bangsa Institute, Sesi-1; Selasa, 19 Mei 2020. Diskusi dengan tema: ‘Dilema dan Solusi Pilkada di Masa Pandemi Covid-19’, digelar Portal Bangsa Institute bersama bakaba.co, Sahati Law Office, LuHak Muhammadiyah, didukung Sumbartime.com.
Tampil tiga narasumber: Dr. Sulardi Wijaya, Dosen FH UMM Malang; Titi Anggraini, Direktur Eksekutif PERLUDEM dan Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H., dosen FH UMSB. Diskusi dimoderatori Irwan, SHI., M.H. Dimulai pukul 21.00 WIB, berlangsung 2,5 jam, diikuti 90 orang. Selain para aktivis demokrasi, akademi, LSM, diskusi diikuti anggota KPU, Bawaslu dari berbagai kota dan kabupaten dan propinsi di Indonesia.
Masyarakat Stres
Seperti diketahui, pada awalnya (perubahan kedua UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015) menetapkan Pemilihan Kepala Daerah, Pilkada Serentak 2020 di 270 wilayah: 9 propinsi, 224 kabupaten dan 37 kota akan dilaksanakan 23 September 2020. Munculnya wabah, pandemi Corona: Covid-19, Pilkada Serentak ditunda ke 9 Desember 2020 dengan payung hukum Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Narasumber Dr. Sulardi , Dosen FH UMM Malang memaparkan, Covid-19 sejak awal Maret telah membuat masyarakat jenuh, juga stres karena terpaksa di rumah, jam kerja dan penghasilan berkurang, pekerja sektor informal kena dampak Covid-19.
Masyarakat belum pulih, secara mental dan ekonomi terpuruk. Rakyat butuh waktu untuk memulihkan dan menata kehidupan kembali. Mereka bisa tidak begitu peduli dengan urusan politik, pilkada ini.
“Dengan kondisi demikian, apakah (masyarakat) bisa berpartisipasi dengan baik pada setiap proses Pilkada? Partisipasi politik masyarakat pemilih akan berkurang,” kata Sulardi
Selain persoalan masyarakat sebagai pemilih, Sulardi meragukan Pilkada Serentak bisa dilaksanakan secara optimal. Anggaran Pilkada juga bisa jadi masalah. Anggaran bisa lebih besar karena biaya tambahan. Di TPS akan disiapkan fasilitas cuci tangan, hand sanitizer, masker, alat pengukur suhu tubuh dan protokol Covid-19 lainnya.
“Anggaran tambahan yang bisa sangat besar, jika tidak bisa disiapkan pemerintah akan menganggu proses pilkada. Nah, di satu sisi masyarakat masih dalam masalah, penyelenggara pilkada terkendala anggaran, akhirnya pilkada tidak berjalan optimal. Berbagai masalah itu bisa terjadi dan akan menciderai demokrasi,” kata Sulardi.
Berdasarkan sikon terdebut Sulardi berpendapat, “Pilkada ditunda, sampai kondisi normal, agar masyarakat bisa menentukan pilihannya dengan baik,” ujar Sulardi, meski dosen UMM Malang itu bertanya, “Ditunda sampai kapan?”
Masih Perdebatan
Direktur Eksekutif PERLUDEM Titi Anggraini dalam paparan awalnya menjelaskan alasan pemerintah mengeluarkan Perppu terkait pandemi Covid-19. Perppu, pada pasal 201A menunda Pilkada menjadi Desember. KPU menerbitkan Keputusan KPU tentang Penundaan dan Penetapan Pemilihan Serentak Lanjutan, 21 Maret 2020. Pilkada ditetapkan KPU 9 Desember 2020.
Dalam Perppu, pasal 201A ada klausul; jika bencana non-alam Covid-19 belum berakhir, Pilkada Serentak dapat ditunda lagi. Artinya, terbuka ruang bagi KPU untuk menunda lagi pelaksanaan Pilkada Serentak.
“Perppu tersebut mengandung ketidakpastian. Patokan belum berakhirnya Covid-19 itu diukurnya kapan, sekarang atau pada hari pemilihan,” kata Titi Anggraini.
Tidak bisa Pilkada itu dipikir hanya hari pemilihan. Ada banyak tahapan sebelum sampai ke hari pemilihan dan penghitungan suara. Selain tidak adanya kepastian, Perppu Pilkada Nomor 2 Tahun 2020 juga luput memberi fleksibilitas kepada KPU untuk mengatur teknis Pilkada di tengah Covid-19. Juga tidak ada jaminan tambahan anggaran.
“Kita ingin KPU itu mampu menjalankan Pilkada yang kompatibel, selaras dengan penanganan Covid-19. Masalahnya, Perppu itu tidak membuat cantelan hukum baru bagi KPU untuk melakukan pengaturan, penyelarasan yang menyimpang dari UU Pilkada yang sudah ada agar sesuai kondisi Covid-19,” papar Titi Anggraini.
Perppu juga tidak memberikan kepastian anggaran ekstra atau bisa ditambah. Sementara kebutuhan KPU akan bertambah karena harus mengikuti protokol Covid-19. “Semua petugas KPU, misalnya harus memakai alat perlindungan diri agar tidak terpapar virus Covid-19,” ujar Titi.
Lebih jauh Titi Anggraini menyatakan, Pilkada Serentak menghadapi dilema dan tantangan dari berbagai sisi dan aspek. Dari sisi penyelenggara, setiap tahapan bisa bertentangan dengan protokol Covid-19. Pilkada membutuhkan partisipasi publik, sementara aturan Covid-19 harus menjaga jarak secara fisik dan sosial serta aturan lainnya.
Dari sisi peserta Pilkada, akan menghadapi tantangan terjadinya perubahan konstelasi politik lokal, politik biaya tinggi. Peserta Pilkada akan berhadapan dengan masyarakat yang pragmatis, cenderung permisif pada politik transaksional.
“Juga akan terjadi kompetisi yang tidak setara karena akan ada peserta Pilkada yang mempolitisasi bansos, kampanye terselubung,” kata Titi Anggraini.
Dari sisi masyarakat pemilih, ada sikap skeptis terhadap politik, muncul rasa takut dan cemas tidak terjaminnya kesehatan dan keselamatan. “Keadaan dan kondisi masa Covid-19 akan membuat kampanye tidak programatik, timbul ketidaksetaraan atau kesenjangan berhadap akses informasi,” kata Titi.
Berbagai masalah itu, kata Titi Anggraini, selama 2020 ini semua elemen bangsa fokus, bekerja keras mengatasi penyebaran Covid-19. Pilkada serentak ditunda ke tahun depan, tahun 2021.
“Penundaan ke tahun depan, paling lambat Pilkada harus dilaksanakan awal Juni 2021,” kata Titi.
Dalam analisis Titi, waktu Pilkada awal Juni 2021, kepala daerah terpilih dilantik awal Agustus. Hal itu relevan dengan siklus anggaran daerah. Kepala daerah baru punya ruang waktu menetapkan R-RAPB Perubahan 2021 dan menyusun APBD 2022.
Resiko Lebih Tinggi
Pembicara ketiga Dr. Wendra Yunaldi melihat, sampai saat ini wabah virus Covid-19 belum reda. Trennya masih terus bertambah. Pemerintah belum bisa memastikan, kapan penyebaran Covid-19 ini melandai. Tidak usah prediksi berhenti atau selesai. Lebaran ini, penyebaran Covid-19 potensial karena mobilitas masyarakat tinggi.
Perppu Pilkada dikeluarkan hanya sebagai jawaban sementara dan untuk menghindari pemerintah melanggar konstitusi. Akibatnya, Perppu tidak sempat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kedaruratan. Seakan semuanya masih normal, padahal kondisi sedang darurat non-alam.
Terkait masalah anggaran Pilkada, tidak hanya dana ekstra atau tambahan yang jadi masalah. Anggaran yang sudah dialokasi awal tahun pun, bisa tidak cukup. Sebab, Mendagri dan Menkeu mengeluarkan aturan, Pemda diminta memfokuskan anggaran daerah untuk penanggulangan Covid-19.
Pelaksana Pilkada Serentak 9 Desember 2020, berdasarkan Keputusan KPU, awal Juni sudah ada tahapan yang harus dimulai. Wendra meragukan kesiapan penyelenggara. “Saya kira penyelenggara pilkada di semua level, daerah akan meminta jaminan keselamatan. Penting belajar dari pemilu tahun lalu, ratusan petugas meninggal karena kelelahan. Menghadapi virus Covid-19 tentu resikonya lebih tinggi,” ujar Wendra.
Memilih pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember 2020, pada situasi belum putusnya mata rantai virus, patut diduga ada kepentingan politik partai besar yang memiliki kepala daerah petahana. Masa jabatan kepala daerah peserta Pilkada Serentak akan berakhir Februari 2021.
“Anggaran daerah dapat dimanfaatkan kepala daerah yang maju kembali atau petahana, untuk pencitraan diri. Petahana atau incumbent sangat diuntungkan dengan Pilkada Desember nanti,” kata Wendra.
Untuk bisa terbangunnya rasa keadilan dalam kompetisi kepala daerah, dan tidak harus menghadapi resiko besar virus Covid-19, Wendra Yunaldi juga menilai Pilkada Serentak dilaksanakan tahun 2021.
“Bulan pelaksanaan bisa Juni atau September 2021 dengan memperhitungkan juga Pilkada lima tahun mendatang. Bagaimana jabatan kepala daerah hasil Pilkada tahun depan tidak terpotong banyak atau harus mengangkat pelaksana tugas kepala daerah terlalu lama untuk menyesuaikan dengan waktu pemilu serentak daerah,” kata Wendra Yunaldi.
Alternatif tak Langsung
Dalam diskusi juga muncul alternatif kembali melakukan Pilkada secara tidak langsung. Dipilih melalui lembaga legislatif. Resiko menghadapi wabah Covid-19 lebih kecil. Pendapat ini disampaikan Dr. Sulardi dan Dr. Wendra Yunaldi.
Pilkada, kata Sulardi, intinya dilaksanakan secara demokratis. Alternatif kembali ke sistem pilkada tak langsung tidak melanggar konstitusi. Hal itu tercantum pada UUD Negara RI 1945, pasal 18 ayat 4: ”Gubernur, Bupati dan Walikota masing masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis.
Sistem tak langsung Pilkada walikota dan bupati oleh anggota DPRD dengan aklamasi atau pemungutan suara, dilaksanakan secara terbuka.
“Polanya diubah, pemilihan Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi, ditambah anggota DPRD kota dan kabupaten yang ada di wilayah provinsi bersangkutan. Pemilihan bupati dan walikota dilakukan DPRD kabupaten dan kota masing-masing. Untuk itu, diperlukan Perppu sebagai dasar hukumnya,” kata Sulardi.
Sementara Wendra Yunaldi mengatakan, pilkada melalui legislatif dapat dijadikan alternatif dengan mengubah pola. Di mana calon kepala daerah diseleksi melalui KPU sehingga calon perseorangan tetap bisa ikut. “Pilkada tak langsung, resiko money politics, penyogokan calon kepala daerah kepada anggota legislatif, ini yang sangat sulit menghambatnya,” kata Wendra Yunaldi.
Respon Peserta
Tanggapan peserta diskusi virtual cukup banyak. Secara umum, cenderung mendukung pemikiran dan argumen narasumber. Pilkada Serentak tidak dipaksakan diadakan dalam kondisi wabah Covid-19 masih menyebar. Pilkada Serentak diundur ke tahun 2021, dan tahun sekarang memastikan Covid-19 benar-benar sudah aman.
Meski demikian, salah seorang peserta Dr. Jawade Hafidz, S.H, mengingatkan, keseriusan para akademisi, aktivis dan lembaga demokrasi memikirkan jalan terbaik pelaksanaan Pilkada Serentak, akan berhadapan dengan kondisi sosiologis para pengambil kebijakan di eksekutif dan legislatif pusat.
“Penting dukungan yang luas dari banyak elemen masyarakat untuk meyakinkan pemerintahan pusat. Bagaimana agar Pilkada Serentak benar-benar dilaksanakan dengan baik, pada waktu yang mendukung untuk dilaksanakan aturan, prosedur yang benar sehingga tercapai hasil yang diinginkan,” kata Jawade, sambil mengutip pepatah sebagai sikap pengambil kebijakan yang sering membuat gagasan dan pemikiran konstruktif tidak berarti dan mengecewakan.
~ aFS/bakaba
Ikuti Diskusi lengkapnya di Youtube bakaba channel