Negarawan – Bangsa ini kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bangsa ini kaya dengan para cendekia dan ulama. Bangsa ini pun punya sejarah yang tersohor di penjuru dunia. Bangsa ini pun menjadi bangsa yang kaya akan budaya dan bahasa. Tercatat lebih dari 500 bahasa dari beragam suku di nusantara.
Namun, bangsa ini kini miskin negarawan yang baik, yang mampu membawa perubahan bangsa yang berkarakter dan beradab.
Bangsa ini sedang mengalami krisis negarawan pembela bangsa dan agama. Lalu, masihkah kita berdiam diri mendengar berita ini?
Bicara soal negara, tak luput dari perangkat negara yang saling berhubungan satu sama lain. Pemerintah membutuhkan rakyat untuk menyukseskan kebijakan, rakyat pun membutuhkan pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak demi kepentingan bersama, yakni kesejahteraan rakyat. Ya, semua orang pasti ingin sejahtera.
Dulu, sejarah telah mencatat bahwa para pemimpin negara rela mengisi umurnya untuk berbakti pada negeri. Mereka benar-benar mengemban amanah rakyat dengan penuh keikhlasan untuk berbuat kebajikan demi kepentingan bersama. Mereka tak ingin meraih popularitas, tak ingin pujian, tak ingin menjadi penguasa. Tapi, mereka memberikan yang terbaik sebagai abdi negara.
Sejarah Islam mencatat Khalid bin Walid merupakan sosok negarawan sekaligus panglima perang yang tawadu’ dan amanah dalam mengemban tugas mulia. Subhanallah…
Berbeda
Kini, bangsa ini sudah berbeda, tak seperti bangsa yang dulu. Kini, banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Banyak orang mengejar popularitas. Banyak orang berbuat karena ingin ini dan itu. Banyak orang berbuat dengan cara apapun untuk menduduki kursi “panas” di rumah wakil rakyat.
Suap sana, suap sini. Mereka tak sendiri, mereka bekerja sama. Berlomba mencari perhatian publik untuk mengejar jabatan, kemudian lupa akan janji yang dulu pernah terucap ketika kampanye. Jika saya menjadi “x”, saya akan memberikan bapak dan ibu, “ini dan itu”. Tak hanya itu, masih banyak janji lain yang tak akan pernah sempat untuk dibahas di sini (terlalu banyak).
- Baca juga: Inspirasi dari Atap Langit
Di manakah figur negarawan idaman rakyat. Di manakah figur negarawan yang mengayomi rakyat. Ya, kita sedang mencari figur pemimpin yang merakyat.
Pesta demokrasi tahun depan akan menjadi catatan sendiri, tahun yang penuh kompetisi dan konspirasi. Bahkan tahun ini kompetisi sedang berlangsung. Saling mencari keburukan satu sama lain. Senggol sini, senggol sana agar menang, tak peduli mana yang benar dan salah.
Bahkan ironisnya, orang jujur akan semakin sulit untuk bergerak dan bertindak. Benar, image politik kini kian menurun. Elektabilitas rakyat terhadap politik kian hari kian menurun. Meski sejatinya politik itu baik akan tetapi para pelaku politiklah yang belum menjalankan politik secara baik.
Negara ini butuh media yang mendidik anak bangsa untuk berkarya dan bermoral, bukan mendidik bangsa untuk menjadi negarawan yang tak terdidik. Bukan pula media untuk mengejar popularitas. Sayang, kaya intelektual tapi miskin teladan. Ya, amat disayangkan kemampuan yang mereka miliki. Sangat disayangkan pendidikan yang meraka dapatkan, jika semua itu hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sungguh terlalu disayangkan.
Sulit kita temukan media yang mempublikasikan prestasi karya anak bangsa (olimpiade sains, temuan riset, dll). Sulit ditemukan program TV yang mendidik anak bangsa untuk berani bermimpi demi kepentingan bersama. Sulit ditemukan produser yang membuat film mendidik kebaikan.
Meski ada, namun jumlahnya tak sebanding dengan program hiburan, gosip, program tak jelas tujuannya, film tak bermoral dan masih banyak yang lain. Benar, mereka memproduksi berdasarkan trend terkini dan permintaan pasar tanpa menghiraukan efek psikologi yang terbentuk dari seorang anak bangsa setelah melihat siaran/program tersebut. Benar, sulit mengontrol tindakan tersebut.
Kini, tak ada kata terlambat. Selama hayat masih dikandung badan, tak ada yang terlambat untuk berbuat baik bagi negeri. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri sebagai negarawan yang prorakyat untuk kemaslahatan umat bersama.
Tak perlu sibuk mengejar kedudukan, jika kita mampu maka orang lain yang akan memilih sendiri, tak perlu sibuk untuk tebar pesona agar dipilih. Tak perlu sibuk menghitung kebaikan, karena Allah lebih memiliki penghitungan yang akurat atas segala tindakan kita.
Sudah seharusnya guru mencintai siswa, siswapun menghormati guru. Sudah seharusnya seorang dosen mencintai mahasiswa, dan mahasiswa menghormati dosen. Sudah saatnya para ustadz/ustadzah mencintai santri, dan santri menghormati ustadz/ustazah.
Sudah saatnya para pemimpin ikhlas mencintai rakyat, dan rakyatpun mendukung dengan baik. Tut wuri handayani. Ya, cinta menyatukan kita untuk saling berbuat kebaikan dan saling nasehat manasehati. Bukan cinta yang berbuah keji. Namun cinta yang berbuah mencintai.
Sudah saatnya lahir para negarawan yang berkarakter, memiliki tujuan yang jelas untuk kebaikan umat, memiliki keimanan yang baik untuk melawan rayuan dunia, memiliki akhlak yang baik kepada kedua orang tuanya.
Kita bermimpi, dunia ini terisi dengan kebaikan dan keindahan akhlak manusia. Namun ingatlah, tanpa perbaikan diri kita sendiri mustahil impian tersebut akan tercapai.**
Penulis, Purbo Jadmiko, Dosen FEB Universitas Bung Hatta, Padang