~ Muhammad Nasir
“Sebelum menerangkan adat memakaikan tertib sopan kepada orang semenda (sumando) dan menyatakan pergunanya lebih dahulu, wajiblah diterangkan apa-apa syaratnya menerima orang akan semenda” (Haji Rasul, 1918)
Sumando adalah bahasa Minangkabau untuk laki-laki yang bergabung dengan keluarga perempuan yang diikat dengan tali pernikahan. Statusnya di dalam keluarga istrinya adalah orang datang.
Dalam bahasa Indonesia kata sumando ini dikenal dengan istilah menantu. Sumando atau menantu dalam adat minang adalah tamu istimewa di keluarga besar istrinya.
A.A. Navis (1984) merilis empat jenis sumando, Pertama; Sumando Bapak Paja, yaitu sumando yang bertingkah sebagai pejantan semata, yang tidak menghiraukan kehidupan dan keadaan istrinya. Kedua; Sumando Kacang Miang yaitu sumando yang tingkah lakunya membuat onar dan pecah belah di rumah istrinya. Lazim pula disebut Sumando Langau Hijau (sumando lalat hijau) yang suka pada keadaan yang kotor atau busuk, Ketiga; Sumando Lapiak Buruak yaitu sumando yang tingkah lakunya menguras harta benda istrinya/harta kaum istrinya, Keempat; Sumando Niniak Mamak yaitu sumando yang menghiraukan suka-duka kehidupan rumah tangga istrinya.
Khusus tulisan ini akan membahas tentang tata cara mencari calon menantu yang akan jadi sumando di tengah kaumnya. Mudahan-mudahan tersua dengan calon Sumando Niniak Mamak sejenis sumando ideal, menantu idaman keluarga atau kaum istrinya. Punya wibawa dan disegani karena sifat-sifat dan prilakunya yang terpuji. Menjadi panutan di keluarga istrinya dan berguna pula di tengah kaumnya.
Kali ini, sumber yang akan digunakan adalah naskah tulisan Haji Rasul alias Dr. Abdul Karim Amrullah (1879-1945), ayah buya HAMKA. Naskah itu berjudul Pertimbangan Adat Alam Minangkabau (Fort de Kock: Agam, 1921). Naskah ini ditransliterasi oleh Yulfira Riza dan Siti Aisyah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang, Desember 2013.
Pada artikel nomor 123 (halaman 212-215) dalam naskah tersebut, Haji Rasul atau juga sering disapa Inyiak De-Er (Inyiak Dr atau Inyiak Doktor) menulis tentang 11 (sebelas) pertimbangan dalam mencari menantu yang akan dijadikan sumando. Berikut syarat-syarat yang beliau tawarkan:
Pertama; orang yang beriman dan Islam. Sepertinya ini syarat mutlak secara adat dan syara’. Apalagi orang Minangkabau sudah mendeklarasikan diri sebagai orang Islam. Tak heran bila dalam percakapan sehari-hari sering terdengar “Orang Minangkabau itu Islam, kalau tak Islam bukan orang Minangkabau.”
Kedua; orang yang baik laku perangainya. Haji Rasul tidak memberi penjelasan yang panjang tentang syarat ini. Mungkin sekira-kira sudah dipahami oleh orang Minangkabau. Sudah jelas, lah siang bak hari, lah tarang bak bulan.
Ketiga; orang yang berbangsa, merdeka, tidak anak zina, tidak pula anak syubhat, tak tentu halal haramnya. Orang berbangsa artinya jelas suku dan kaumnya (asal keluarga). Sementara frasa anak zina, anak syubhat, tak tentu halal haramnya menunjukkan kejelasan keturunan (nasab). Nasab penting dalam adat alam Minangkabau. Agar jelas jika beradat dapat menerima sako dan pusako dari kaumnya dan jika berbako, sebagai anak pisang siapa dia.
Keempat; orang empunya harta benda atau kuat berusaha. Artinya kalau tak mapan, punya modal dan dapat diandalkan untuk berusaha. Kata Inyiak Rasul, tujuannya agar ia dapat “memberi segala kewajiban istri dan anak-anaknya, seumpama membayar mas kawin, nafkah, pakaian dan kediaman dan segala yang bersangkut dengan dia.” Jika ada tampang seperti ini, bersiap-siaplah.
Kelima; orang yang tiada bakhil, kikir memberi hartanya kepada segala kewajiban anak istrinya. Sedikit penjelasan, bahwa sifat kikir atau bahasa minangnya ceke balapik bermakna spesifik dan mencerminkan suasana Minangkabau lama. Lazim pada zaman dahulu, seorang sumando kuat mencari untuk kemanakannya, namun kikir dan bakhil terhadap istri dan anak-anaknya serta keluarga istrinya. Ia hanya memadakan (menyerahkan) tanggungjawab nafkah istrinya kepada keluarga (mamak) istrinya.
Keenam; orang yang katuju rupanya oleh anak kemanakan kita yang akan memakai, biar ia putih ataupun hitam, tua ataupun muda dan lain-lain. Jelas, tak perlu ganteng, hitam, putih, tua atau muda. Asalkan keluarga luas (extended familiy) calon istri senang, maka harapan akan jadi sumando orang akan terbentang lebar.
Ketujuh; antara keduanya (calon istri dan calon suami) suka menyukai, cinta mencintai adanya. Maksudnya jelas. Suka sama suka menjadi syarat penting. Jangan serupa hubungan Datuak Maringgih dan Siti Nurbaya yang membangun rumah tangga di atas hutang piutang harta, bukan berlandasakan kasih sayang dan cinta.
Kedelapan; keduanya sekufu. Yaitu kesepadanan calon suami dan calon istri yang akan menikah dan membina rumah tangga. Sekufu ini menurut Haji Rasul, “Kalau perempuan cerdik jangan disuamikan dengan yang bingung, bertertib sopan dengan yang seumpamanya. Kalau tak dapat laki-laki yang sekufu, sedapat mungkin jangan jauh di bawah perempuan. “Jikalau laki-laki ada kelebihan, dan perempuannya ada kekurangan yaitu tidak mengapa, Cuma menyalahi yang terutama laki-laki (kurang dari perempuan), urainya. Istilah sekarang, jika tak dapat sekufu, sabaleh duo baleh dalam kebaikan, jadih juga-lah.
Kesembilan; tahu ia akan melarat dan manfaat. Tahu di aie gadang, tahu berbasa-basi tahu memulyakan orang tua, mengasihi orang tua, tahu mengajari anak istri ke jalan kebaikan, tahu di lai dan dengan tidak dan seterusnya.
Sepertinya yang dimaksud oleh Haji Rasul di sini adalah tahu dengan etika pergaulan dalam keluarga istrinya. Semua yang disebut di sini menunjukkan kemampuan berinteraksi di tengah keluarga/kaum calon istrinya.
Kesepuluh; tiada ia pahamun, pencangkung, pencerca jerih payahnya sendiri. Pahamun adalah bahasa Minangkabau lama yang berarti suka mendongkol bila disuruh bekerja. “Tadi den lah ka sawah, kini kaparak lo disuruah lai.” Suka menyebut yang sudah ia kerjakan untuk menghindari kerja yang baru. Pencangkung berasal dari kata cangkung artinya duduk jongkok. Biasanya digunakan untuk menyebut orang saat bekerja lebih banyak istirahat dari pada bekerja. Pencerca jerih payah sendiri artinya tidak bersyukur. Dalam situasi tertentu bisa diartikan dengan iri hati. “Baa kok untuak den saketek, untuak ang baa kok banyak? Ndak nio den doh!” (Mengapa saya dapat sedikit, engkau dapat banyak? Saya tak rela!)
Kesebelas; hendaklah sesuka-suka hati yang kan dipakai, sesenang-senang hati yang akan memakai, seiya sekata yang akan melepas, sesenang-senang hati yang akan memakai.
Baca juga: Nostalgia Sumando
Nah, sampai di sini jelas, calon sumando itu harus ikhlas dan suka diambil jadi minantu atau dijadikan sumando, keluarga yang menerima (perempuan/calon istri) harus senang hati, yang melepas (yaitu keluarga kaum laki-laki yang akan diambil menantu itu) harus seiya sekata, dan keluarga/kaum yang menerima harus senang hati.
Hal ini sesuai dengan pepatah perkawinan orang Minangkabau, yaitu “kawin jo mamak, nikah jo parampuan.” Artinya Perkawinan sebagai sebuah sistem merupakan ikatan yang saling menyenangkan antara keluarga besar kedua belah pihak. Beda halnya dengan nikah, yang semata ikatan syara’ antara laki-laki dan perempuan.
Sedemikian saja yang dapat dituliskan. Baliau Inyiak Rasua sudah mensyarahkan, utang kita mengamalkan. “Syahdan apabila tiada dimilikinya segala syarat-syarat yang sebelas itu tak dapat tidak tersua bencana dan tiadalah akan selamat pada adat pergaulan antara keduanya,” tegas beliau di akhir artikel tersebut. Wahai para jomblo, inap menungkanlah!
Terakhir, jika diqiyaskan (analogikan) sebelas syarat itu ke dalam dunia politik, bisa atau tidak ya? Wallahu A’lam. Kira-kira sajalah.
*Penulis, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol, Padang, muhammadnasir@uinib.ac.id
**Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay